Kata Sengkuni, Negara Rusak Bukan Karena Saya Saja

 Dongeng Sibu Bayan (#003)

(Ki Sengkuni)

Alih-alih ketemu Bhisma yang bijak bestari bak dosen pembimbing skripsi (betulkah?), eh malah nyasar ketemu Sengkuni, makhluk paling toxic se-Hastinapura. Tukang adu domba, biang gosip, dan spesialis bikin grup WhatsApp keluarga bubar jalan. Semua gara-gara ban mobil kempes di tengah jalanan yang sepi di Pracimantoro, Wonogiri, dan si kakek berjanggut abu-abu ini muncul entah dari mana, langsung ngasih bantuin ganti ban sambil nyodorin bantalan kayu buat dongkrak. Dalam hati, wah kacau nih…kyai Yamawidura ngeprank (baca: Ngopi Bareng Kyai Yamawidura: Curhat Kutukan dan Kekuasaan)

"Capek juga, Mas bro," katanya, "mampir ngopi yuk, warung saya deket sini kok, warung Kopi Karma."

Penulis sempat curiga. Ini orang udah terkenal reputasinya di epik Mahabharata sebagai dedengkot keonaran, eh sekarang malah ngasih kopi gratis? Tapi rasa penasaran mengalahkan kewaspadaan. Ternyata setelah dibantai Bima di padang Kurusetra, dia “dikasih kesempatan hidup kedua,” katanya buat tobat, jadi barista, dan berbagi kisah hidup yang katanya "lebih dari sekadar dosa."

Sambil nyeruput robusta panas yang agak gosong, Sengkuni mulai buka kartu. Katanya, kisah kelahiran Kurawa itu bukan cuma tragedi sejarah, tapi horor level tayangan larut malam. “Ceritanya sih kerajaan,” bisiknya, “tapi isinya kayak sinetron mistis, lengkap dengan toples daging dan bayi dari lempengan besi.”

“Jadi begini,” katanya, “Kurawa itu bukan lahir kayak anak orang normal. Gak ada proses hamil sembilan bulan, gak ada foto USG, apalagi gender reveal party pake balon warna biru. Enggak.”

Katanya, ibu para Kurawa, Dewi Gandari, awalnya sih ngarep banget punya anak sehebat Pandawa. Doa, tirakat, meditasi, bahkan puasa sosmed. Tapi pas akhirnya hamil, bukan anak yang lahir, malah keluar semacam gumpalan daging seukuran karung beras. “Kayak pesanan Shopee COD yang salah alamat,” kata Sengkuni sambil nyengir.

“Nah, bukannya dibuang atau dikembalikan ke gudang pusat," lanjutnya, "Gandari malah simpan tuh daging di toples raksasa. Pakai teknologi rendaman ramuan mistis. Hasilnya? Lahirlah 99 anak lelaki dan 1 perempuan. Ya, dari situ lah Kurawa muncul. Anak toples semua.”

Penulis melongo. Mencoba memahami logika biologi versi Mahabharata yang lebih cocok ditayangin di channel YouTube horor dibanding buku sejarah.

“Dan yang lucu,” tambah Sengkuni sambil mengelap kumisnya dengan serbet robek, “waktu bayi-bayi itu lahir, gak ada yang nangis. Mereka langsung rebutan pusaka dan hak waris. Emang dari sononya udah toxic.”

Penulis mengangguk-ngangguk, antara kagum dan bingung. Ini cerita epik atau plot sinetron jam prime time?

“Makanya, Mas,” katanya menutup cerita, “jangan gampang nilai orang dari reputasi. Termasuk saya. Toh, yang bikin kerajaan porak-poranda bukan cuma saya, tapi sistem dan ego yang udah bobrok sejak awal. Saya cuma... katalis.”

Kopi saya tinggal setengah. Tapi rasanya, baru saja masuk ke dunia baru. Penulis mulai curiga, kenapa sih Sengkuni bisa tahu semua ini? Dia bukan bidan kerajaan, apalagi admin akun gosip istana. Melihat raut wajah saya yang penuh tanda tanya, Sengkuni langsung menjawab sebelum ditanya.

“Lha saya ini iparnya Destarata, Mas. Kakak Gandari,” katanya sambil menepuk dadanya. “Gandari itu putri Raja Gandhara, kampung halaman saya. Dan Destarata? Suaminya, raja Hastina yang buta tapi nekat nyetir kerajaan.”

Saya tercekat. Ternyata ini cerita keluarga. Bukan sekadar gosip antar kerajaan, tapi drama rumah tangga tingkat dewa.

“Awalnya kami gak ada niat buat menikahkan Gandari dengan pangeran Hastina,” lanjut Sengkuni. “Tapi waktu tahu Destarata itu pangeran, langsung deh dinikahin. Emang dasar keluarga Gandhara suka silau jabatan. Gak mikir, itu calon suaminya buta dan udah ada karma kolektif nempel.”

Saya mencoba menyimak, tapi setiap kalimat Sengkuni terasa kayak sindiran halus ke netizen +62 yang suka nikah karena gelar dan gaji tetap.

“Dan saya?” Sengkuni meneguk kopinya dulu. “Saya ikut ke Hastina karena... ya masa adik cewek saya dikasih ke raja trus saya gak dikasih proyek? Ya ikut dong! Jadi penasehat istana. Pura-pura bijak, padahal ya... tukang hasut. Tapi jujur, kadang saya juga bingung, saya ini jahat atau cuma jenuh.”

Penulis menatapnya lebih dalam. Antara pengen ngakak dan kasihan.

Sengkuni, yang selama ini digambarkan sebagai tukang adu domba, ternyata punya latar belakang yang relatable. Kakak yang overprotektif, terjebak dalam sistem feodal, terus dipaksa akting jadi bijaksana di tengah kerusakan moral kerajaan. Kurang lebih kayak dosen senior yang disuruh ngajar TikTok marketing.

Penulis menyeruput kopi yang sudah dingin, mencoba mencerna cerita absurd tadi, tapi Sengkuni belum selesai. Dia menyender, menatap langit-langit warung yang dipenuhi sarang laba-laba dan kutipan motivasi dari koran bekas.

“Mas, kadang saya mikir ya... kerajaan Hastina itu sebenarnya gak jauh beda sama negeri +62, tempat kita tinggal,” katanya pelan. “Penuh drama, nepotisme, dan orang-orang pinter yang sibuk ngerjain yang bukan bidangnya.”

Saya mengangkat alis. Ini mulai menarik.

“Dulu saya ditunjuk jadi penasehat, padahal skill utama saya itu cuman manipulasi dan bikin narasi bombastis,” katanya sambil tertawa getir. “Tapi diangkat karena saya keluarga. Kayak sekarang, banyak jabatan yang diisi bukan karena kompetensi, tapi karena koneksi. Habis itu, ya kita tahu sendiri: proyek mangkrak, kebijakan plin-plan, rakyat bingung.”

Penulis hanya bisa manggut-manggut. Rasanya seperti diceramahi oleh gabungan dosen filsafat dan admin akun satire politik.

“Dan rakyat?” lanjutnya, “Dulu ya gitu-gitu juga. Tiap ada pengumuman dari istana langsung percaya. Padahal kadang saya yang bikin, ngawur aja asal viral. Kayak sekarang, asal ada yang ngomong di TV atau pakai jas, langsung dianggap kebenaran ilahiah. Padahal... ya belum tentu.”

Dia menatap saya tajam, seperti sedang menguji, sejauh mana penulis kuat mendengar kenyataan.

“Ekonominya pun,” katanya lagi, “jangan ditanya. Di Hastina, yang kaya makin kaya, yang miskin disuruh bersabar dan disuruh ikut pelatihan motivasi. Di sini juga kan? Ada bansos, tapi juga ada bancakan. Ada subsidi, tapi juga ada mark-up anggaran. Semua serba ‘untuk rakyat’, tapi rakyatnya mana, gak pernah diajak rapat.”

Berdua kita tertawa kecil. Lucu, pahit, dan familiar.

“Budayanya juga, Mas,” ujar Sengkuni, “dulu orang masih punya rasa malu. Sekarang, asal viral, semua jadi konten. Waktu anak-anak Gandari lahir dari toples, kami jaga rahasia kerajaan. Kalau itu kejadian sekarang, pasti udah jadi series di Netflix: ‘Born from Jar: The Kurawa Origin’.”

Penulis terbahak. Sengkuni tertawa juga, tapi matanya tampak sendu.

“Saya ini korban, Mas. Korban sistem. Tapi ya tetep salah juga sih, karena saya menikmati peran saya. Sampai akhirnya saya sadar: negara rusak bukan karena satu orang, tapi karena semua orang main peran yang salah terlalu lama.”

Warung Kopi Karma jadi sunyi sejenak. Cuma suara jangkrik dan kipas angin tua yang berderit pelan.

Penulis menatap kopi yang tinggal ampas. Di depan saya bukan sekadar tokoh antagonis pewayangan. Tapi refleksi dari banyak wajah, penguasa, pengamat, penggiring opini, bahkan mungkin... penulis sendiri.

(Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya: Dursasana, Memoar Salah Asuhan



No comments:

Post a Comment