Dongeng SiBu Bayan (#001)
Sebelum dadu dilempar dan nasib satu
kerajaan digadaikan kayak motor butut akhir bulan, dua pangeran beda aliran
darah dan klaim warisan udah duluan baku sindir. Puntodewa, anak spiritual dari
mantra dewa, dan Duryudana, anak biologis raja sah, saling adu mulut. Ini bukan
cuma soal siapa lahir dari siapa, tapi siapa yang lebih layak duduk di
singgasana. Dan seperti biasa: silsilah jadi senjata, dharma cuma jadi slogan.
Nasab pun jadi bahan debat nasional, apakah anak hasil kolaborasi spiritual lebih sah daripada anak sah dari ibu yang sabar dan bapak nyata? Jawabannya? Yuk lanjut membaca.....
Tapi kalau mau tahu kenapa Hastina ribet
banget soal garis keturunan, kita harus tarik mundur ke akar sejarahnya, jauh
sebelum Puntodewa, sebelum Pandu, bahkan sebelum Bisma bersumpah jomblo
nasional. Semua drama ini bermula dari satu nama: Satyawati, ratu
pendobrak tatanan, legenda pasar ikan.
Dulu, dia cuma anak nelayan biasa. Lagi
santai dayung di sungai, tiba-tiba disamperin Resi Parasa, resi dewa yang
tiba-tiba naksir. Gak pake dinner dulu, langsung minta “kenalan spiritual.”
Satyawati pasang syarat: anak lahir tanpa aib, dan aku tetap perawan setelah
ini.
Boom! Lahir Bagawan Abiyasa, penulis
Mahabharata sendiri. Plot ini kayak nulis dirinya sendiri, bro.
Belasan tahun kemudian, kariernya naik
drastis. Satyawati berhasil bikin Raja Sentanu jatuh cinta. Tapi dia gak mau
jadi istri kalau anaknya gak dijamin jadi raja. Raja Sentanu setuju demi cinta
(atau napsu?), dan anaknya, Bisma, yang seharusnya jadi pewaris tahta, malah
disumpahin jadi jomblo selamanya, demi ibu tiri!
Setelah Raja Sentanu meninggal, Satyawati
jadi ratu janda penuh kuasa. Anak-anaknya mati muda, trus dia panggil anak
rahasianya, Abiyasa, buat nambal dinasti. Versi kerajaan: kawin kontrak mistis.
Hasilnya lahir tiga calon pewaris: Drestarastra (buta), Pandu (penyayang tapi
gampang kambuh darah tinggi), dan Widura (anak pembantu/selir, tapi paling waras
otaknya).
Tiga tokoh ini bikin jalur nasab jadi kayak
benang kusut.
Jadi, lo mau nyalahin Pandawa-Kurawa ribut
soal nasab? Coba lihat ke atas, neneknya siapa. Satyawati itu ibarat produser
sinetron 1001 malam: semua orang diatur, semua lahir dari perjanjian, dan semua
ujung-ujungnya rebutan kuasa.
Kalau zaman sekarang, dia udah punya
podcast “Dari Perahu ke Singgasana” dan YouTube series “Queen Moves: Strategi
Tahta dari Anak Nelayan.”
Setelah Satyawati narik garis keturunan
dari mana-mana: nelayan, resi, kontrak spiritual tanpa notaris, kerajaan
Hastina makin kayak grup WhatsApp keluarga besar: isinya ribut, saling sindir,
gak ada yang mau left duluan.
Masalahnya, nasab itu multitafsir.
Drestarastra anak sulung tapi buta. Pandu bukan anak kandung raja sebelumnya
tapi sehat jasmani. Widura? Cerdas dan kalem, tapi lahir dari selir. Di sini
aja udah kelihatan, kursi raja bakal diperebutkan kayak diskon sepatu saat
Lebaran.
Satyawati, yang awalnya ingin memastikan
anaknya punya tahta, malah nyusun jebakan nasab. Karena anak-anaknya gak cukup
umur atau syarat, dia panggil anak dari masa lalu, Abiyasa, buat jadi “bapak
darurat” bagi istri-istri anaknya yang sudah meninggal. Akhirnya lahirlah
generasi berikut: Duryudana dan 99 adiknya dari Drestarastra, serta Pandawa
Lima dari Pandu yang sebenarnya mandul tapi “minta tolong” sama para dewa lewat
mantra Kunti.
Muncul pertanyaan sakral: “Siapa yang sah
jadi raja?”
Duryudana: “Gue lahir dari pasangan sah,
anak kandung raja, dari garis lurus tanpa mantra-mantra. Gue pewaris yang
jelas!”
Puntodewa: “Gue lebih dulu lahir, hasil doa
ibuku ke dewa. Hidup gue untuk dharma, bukan buat rebutan warisan.”
Widura (ngomong pelan): “Gue bikin sistem
meritokrasi...”
Semua: “SSSTTT, lu anak selir, diem dulu!”
Semua ini karena satu keputusan Satyawati:
mengutamakan pewarisan darah ketimbang kejelasan hukum dan nilai kepemimpinan.
Kayak ngisi formulir Kartu Keluarga tapi datanya hasil tebak-tebakan.
Jadilah Hastina bukan kerajaan dharma lagi,
tapi arena debat keluarga besar. Kasta, garis keturunan, status ibu, hingga
“siapa yang paling disayang dewa” jadi senjata argumen. Dan akhirnya,
pertarungan Mahabharata bukan cuma soal kebaikan vs kejahatan, tapi juga drama
warisan dan wasiat yang gak tuntas.
Kalau dipikir-pikir, Hastinapura itu
trailer politik dinasti versi zaman purba. Apa yang dimulai Satyawati dengan
niat “menjaga garis keturunan” malah jadi bibit drama kolosal. Anak, cucu,
cicitnya ribut soal siapa paling layak duduk di singgasana, bukan karena
kapasitas tapi merasa “lahir lebih berhak.”
Geser ke abad 21, kita lihat fenomena
serupa di negeri +62: politik dinasti modern. Gak usah sebut nama, tapi kita
sering dengar wali kota diganti anaknya, gubernur diganti istrinya, adik ipar
nyalon, keponakan nyusul, semua dengan dalih “melanjutkan perjuangan.”
Perjuangan siapa? Rakyat? Kadang yang
diperjuangin malah nama keluarga dan dinasti.
Sama kayak Duryudana yang bilang: “Gue anak
raja, gue pangeran asli, lo cuma titipan dewa!” — banyak tokoh politik yang
merasa tahta itu warisan, bukan amanah. Mereka pikir kalau bapaknya berhasil,
anaknya pasti bisa. Padahal jadi pemimpin bukan skill turun temurun kayak
warisan bakat menyanyi.
Lalu muncul pertanyaan eksistensial: kalau
semua jabatan publik diisi ordal, gimana rakyat lain bisa ikut
nyalon? Di sinilah konflik kayak Mahabharata meledak. Warga jadi Puntodewa yang
sabar, jujur, kerja keras... tapi akhirnya dicurangi permainan dadu sistem.
Di era Satyawati, kekuasaan diwariskan
lewat perjanjian spiritual dan kelahiran ajaib. Di era sekarang? Lewat surat
keputusan partai, logistik kampanye, dan kadang endorsement dari “ayahanda”
yang masih nonton dari balik layar.
Kira-kira cerita kayak gitu cuma mitos? Yuk, buka berita. Realita di negeri +62 kadang lebih mitologis daripada
Mahabharata.
Di satu sisi, kita kampanye soal
meritokrasi, pemimpin muda, suara rakyat… tapi di sisi lain, tahu-tahu ada anak
jadi wakil presiden bukan karena prestasi panjang, tapi karena nama dibelakangnya
jadi kode cheat politik.
Ini kayak Puntodewa yang sudah latihan
meditasi, tirakat, dharma 20 tahun…eh, Duryudana tinggal ngacung: “Bro, gue
anaknya raja!” langsung dikasih golden ticket ke panggung utama.
Sama kayak hari ini. Ribuan aktivis,
birokrat muda, anak kampus idealis sibuk pelatihan kepemimpinan, tapi saat
panggung besar datang... boom! Muncul anak sultan politik, nyelon langsung
dapat karpet merah.
Narasi dilempar: “Biar ada regenerasi.”
Padahal regenerasi itu kalau benihnya dari rakyat, bukan meja makan keluarga.
Lucunya, ini semua diselimuti baju keren:
“Melanjutkan legacy,” “Menginspirasi anak muda,” atau “Wakil rakyat masa
depan.” Padahal rakyatnya gak pernah diajak musyawarah... kayak para Pandawa
waktu tanahnya diundi kayak doorprize.
Di Hastinapura zaman now, Duryudana menang
polling internal, Puntodewa menang moral, Widura diem-diem bikin podcast
edukasi, dan rakyat? Masih jadi penonton yang harus milih siapa paling mending
di drama keluarga ini. Kalau kekuasaan cuma dijaga dalam pagar dinasti, rakyat
akan terus jadi figuran dalam cerita yang mereka biayai sendiri.
Pada akhirnya, baik Hastinapura maupun
negeri +62, sama-sama menyimpan satu luka lama: ketika kekuasaan diwariskan,
bukan karena layak, tapi karena lahir dari kamar yang “tepat.” Dan seperti
Puntodewa yang kalah dadu, rakyat hari ini kadang cuma bisa berharap
keajaiban... atau minimal, perubahan dari luar lingkaran dinasti.
(SiBu Bayan)
Cerita selanjutnya: Ngopi Bareng Kyai Yamawidura: Curhat Kutukan dan Kekuasaan
No comments:
Post a Comment