Legacy Satyawati: Politik Dinasti dari Masa ke Masa (+62)

 Dongeng SiBu Bayan (#001)

(Dewi Satyawati)

Sebelum dadu dilempar dan nasib satu kerajaan digadaikan kayak motor butut akhir bulan, dua pangeran beda aliran darah dan klaim warisan udah duluan baku sindir. Puntodewa, anak spiritual dari mantra dewa, dan Duryudana, anak biologis raja sah, saling adu mulut. Ini bukan cuma soal siapa lahir dari siapa, tapi siapa yang lebih layak duduk di singgasana. Dan seperti biasa: silsilah jadi senjata, dharma cuma jadi slogan.

Puntodewa, anak sulung Pandawa yang katanya anak dewa (tapi lahirnya lewat mantra), buka suara dengan tenang tapi menusuk:
“Bro, darah biru itu bukan soal siapa nyusuin, tapi siapa yang dijalanin dengan dharma.”

Sementara Duryudana, anak kandung raja sejati, lahir normal, tanpa mantra dan tanpa bintang tamu dari kahyangan, langsung nyolot:
“Yaelah, lo anak siapa juga masih tanda tanya, tau-tau muncul dari asap dupa ngaku pewaris.”

Nasab pun jadi bahan debat nasional, apakah anak hasil kolaborasi spiritual lebih sah daripada anak sah dari ibu yang sabar dan bapak nyata? Jawabannya? Yuk lanjut membaca.....

Tapi kalau mau tahu kenapa Hastina ribet banget soal garis keturunan, kita harus tarik mundur ke akar sejarahnya, jauh sebelum Puntodewa, sebelum Pandu, bahkan sebelum Bisma bersumpah jomblo nasional. Semua drama ini bermula dari satu nama: Satyawati, ratu pendobrak tatanan, legenda pasar ikan.

Dulu, dia cuma anak nelayan biasa. Lagi santai dayung di sungai, tiba-tiba disamperin Resi Parasa, resi dewa yang tiba-tiba naksir. Gak pake dinner dulu, langsung minta “kenalan spiritual.” Satyawati pasang syarat: anak lahir tanpa aib, dan aku tetap perawan setelah ini.

Boom! Lahir Bagawan Abiyasa, penulis Mahabharata sendiri. Plot ini kayak nulis dirinya sendiri, bro.

Belasan tahun kemudian, kariernya naik drastis. Satyawati berhasil bikin Raja Sentanu jatuh cinta. Tapi dia gak mau jadi istri kalau anaknya gak dijamin jadi raja. Raja Sentanu setuju demi cinta (atau napsu?), dan anaknya, Bisma, yang seharusnya jadi pewaris tahta, malah disumpahin jadi jomblo selamanya, demi ibu tiri!

Setelah Raja Sentanu meninggal, Satyawati jadi ratu janda penuh kuasa. Anak-anaknya mati muda, trus dia panggil anak rahasianya, Abiyasa, buat nambal dinasti. Versi kerajaan: kawin kontrak mistis. Hasilnya lahir tiga calon pewaris: Drestarastra (buta), Pandu (penyayang tapi gampang kambuh darah tinggi), dan Widura (anak pembantu/selir, tapi paling waras otaknya).

Tiga tokoh ini bikin jalur nasab jadi kayak benang kusut.

Jadi, lo mau nyalahin Pandawa-Kurawa ribut soal nasab? Coba lihat ke atas, neneknya siapa. Satyawati itu ibarat produser sinetron 1001 malam: semua orang diatur, semua lahir dari perjanjian, dan semua ujung-ujungnya rebutan kuasa.

Kalau zaman sekarang, dia udah punya podcast “Dari Perahu ke Singgasana” dan YouTube series “Queen Moves: Strategi Tahta dari Anak Nelayan.”

Setelah Satyawati narik garis keturunan dari mana-mana: nelayan, resi, kontrak spiritual tanpa notaris, kerajaan Hastina makin kayak grup WhatsApp keluarga besar: isinya ribut, saling sindir, gak ada yang mau left duluan.

Masalahnya, nasab itu multitafsir. Drestarastra anak sulung tapi buta. Pandu bukan anak kandung raja sebelumnya tapi sehat jasmani. Widura? Cerdas dan kalem, tapi lahir dari selir. Di sini aja udah kelihatan, kursi raja bakal diperebutkan kayak diskon sepatu saat Lebaran.

Satyawati, yang awalnya ingin memastikan anaknya punya tahta, malah nyusun jebakan nasab. Karena anak-anaknya gak cukup umur atau syarat, dia panggil anak dari masa lalu, Abiyasa, buat jadi “bapak darurat” bagi istri-istri anaknya yang sudah meninggal. Akhirnya lahirlah generasi berikut: Duryudana dan 99 adiknya dari Drestarastra, serta Pandawa Lima dari Pandu yang sebenarnya mandul tapi “minta tolong” sama para dewa lewat mantra Kunti.

Muncul pertanyaan sakral: “Siapa yang sah jadi raja?”

Duryudana: “Gue lahir dari pasangan sah, anak kandung raja, dari garis lurus tanpa mantra-mantra. Gue pewaris yang jelas!”

Puntodewa: “Gue lebih dulu lahir, hasil doa ibuku ke dewa. Hidup gue untuk dharma, bukan buat rebutan warisan.”

Widura (ngomong pelan): “Gue bikin sistem meritokrasi...”

Semua: “SSSTTT, lu anak selir, diem dulu!”

Semua ini karena satu keputusan Satyawati: mengutamakan pewarisan darah ketimbang kejelasan hukum dan nilai kepemimpinan. Kayak ngisi formulir Kartu Keluarga tapi datanya hasil tebak-tebakan.

Jadilah Hastina bukan kerajaan dharma lagi, tapi arena debat keluarga besar. Kasta, garis keturunan, status ibu, hingga “siapa yang paling disayang dewa” jadi senjata argumen. Dan akhirnya, pertarungan Mahabharata bukan cuma soal kebaikan vs kejahatan, tapi juga drama warisan dan wasiat yang gak tuntas.

Kalau dipikir-pikir, Hastinapura itu trailer politik dinasti versi zaman purba. Apa yang dimulai Satyawati dengan niat “menjaga garis keturunan” malah jadi bibit drama kolosal. Anak, cucu, cicitnya ribut soal siapa paling layak duduk di singgasana, bukan karena kapasitas tapi merasa “lahir lebih berhak.”

Geser ke abad 21, kita lihat fenomena serupa di negeri +62: politik dinasti modern. Gak usah sebut nama, tapi kita sering dengar wali kota diganti anaknya, gubernur diganti istrinya, adik ipar nyalon, keponakan nyusul, semua dengan dalih “melanjutkan perjuangan.”

Perjuangan siapa? Rakyat? Kadang yang diperjuangin malah nama keluarga dan dinasti.

Sama kayak Duryudana yang bilang: “Gue anak raja, gue pangeran asli, lo cuma titipan dewa!” — banyak tokoh politik yang merasa tahta itu warisan, bukan amanah. Mereka pikir kalau bapaknya berhasil, anaknya pasti bisa. Padahal jadi pemimpin bukan skill turun temurun kayak warisan bakat menyanyi.

Lalu muncul pertanyaan eksistensial: kalau semua jabatan publik diisi ordal, gimana rakyat lain bisa ikut nyalon? Di sinilah konflik kayak Mahabharata meledak. Warga jadi Puntodewa yang sabar, jujur, kerja keras... tapi akhirnya dicurangi permainan dadu sistem.

Di era Satyawati, kekuasaan diwariskan lewat perjanjian spiritual dan kelahiran ajaib. Di era sekarang? Lewat surat keputusan partai, logistik kampanye, dan kadang endorsement dari “ayahanda” yang masih nonton dari balik layar.

Kira-kira cerita kayak gitu cuma mitos? Yuk, buka berita. Realita di negeri +62 kadang lebih mitologis daripada Mahabharata.

Di satu sisi, kita kampanye soal meritokrasi, pemimpin muda, suara rakyat… tapi di sisi lain, tahu-tahu ada anak jadi wakil presiden bukan karena prestasi panjang, tapi karena nama dibelakangnya jadi kode cheat politik.

Ini kayak Puntodewa yang sudah latihan meditasi, tirakat, dharma 20 tahun…eh, Duryudana tinggal ngacung: “Bro, gue anaknya raja!” langsung dikasih golden ticket ke panggung utama.

Sama kayak hari ini. Ribuan aktivis, birokrat muda, anak kampus idealis sibuk pelatihan kepemimpinan, tapi saat panggung besar datang... boom! Muncul anak sultan politik, nyelon langsung dapat karpet merah.

Narasi dilempar: “Biar ada regenerasi.” Padahal regenerasi itu kalau benihnya dari rakyat, bukan meja makan keluarga.

Lucunya, ini semua diselimuti baju keren: “Melanjutkan legacy,” “Menginspirasi anak muda,” atau “Wakil rakyat masa depan.” Padahal rakyatnya gak pernah diajak musyawarah... kayak para Pandawa waktu tanahnya diundi kayak doorprize.

Kalau Satyawati masih hidup hari ini, dia pasti senyum:
“Tuh kan, cucu-cucuku nurun juga akhirnya. Politik itu soal strategi garis keturunan, bukan cuma etika atau kompetensi.”

Di Hastinapura zaman now, Duryudana menang polling internal, Puntodewa menang moral, Widura diem-diem bikin podcast edukasi, dan rakyat? Masih jadi penonton yang harus milih siapa paling mending di drama keluarga ini. Kalau kekuasaan cuma dijaga dalam pagar dinasti, rakyat akan terus jadi figuran dalam cerita yang mereka biayai sendiri.

Pada akhirnya, baik Hastinapura maupun negeri +62, sama-sama menyimpan satu luka lama: ketika kekuasaan diwariskan, bukan karena layak, tapi karena lahir dari kamar yang “tepat.” Dan seperti Puntodewa yang kalah dadu, rakyat hari ini kadang cuma bisa berharap keajaiban... atau minimal, perubahan dari luar lingkaran dinasti.

(SiBu Bayan)

Cerita selanjutnya: Ngopi Bareng Kyai Yamawidura: Curhat Kutukan dan Kekuasaan




No comments:

Post a Comment