Srikandi Mbarang Jantur: Antara Cinta dan Asuransi Iklim Tani

 Dongeng Sibu Bayan #033

(Srikandi dan Arjuna)

Di bawah teduh pohon asam di jalan antara Tanggul–Semboro, penulis masih terdiam merenungkan cerita absurd Srikandi tentang penyamaran Pandawa. “Kok bisa ya… terbongkar cuma gara-gara pupuk palsu,” batin penulis. Memang nasib petani selalu jadi barang taruhan, bahkan di jagad pewayangan. (baca: Pandawa Tepa Kutha: Pupuk Palsu dan Panen Pupus di Negeri Wiratha)

“Mbok… katanya tadi mau cerita kisah cinta dengan Arjuna,” tiba-tiba Bagong memecah kebekuan obrolan.

Srikandi menarik napas, senyumnya tipis, seolah menertawakan luka sendiri. “Iya, Gong… cinta juga kadang seabsurd panen yang gagal gara-gara data palsu. Dengar saja…”

Pagi itu, di negerinya Srikandi, Campala, langit masih malu-malu, dan kabut tipis menyembunyikan retak lumpur di tepi jantur, saluran air tradisional yang dulu mengalirkan harapan dari sumber ke petak sawah, kini hanya menyalurkan endapan lumpur dan janji-janji tak sampai. Di sana, Arjuna datang bukan membawa panah sakti, melainkan map tebal berlogo program perlindungan petani berbasis iklim: asuransi yang katanya sakti mandraguna, cukup ditebus premi murah, sawah konon jadi kebal bencana. Rombongan Arjuna tampak konyol dan meriah: Bagong menyeret tripod, Bilung sibuk siaran live dengan ponsel retak, dan Togog bergumam menghafal jargon subsidi. “Dik Srikandi,” kata Arjuna, suaranya serak tapi tetap merdu, “sekarang petani tak perlu takut gagal panen. Premi murah, klaim cepat. Kalau sawahmu kena banjir, kering, atau wereng, langsung cair enam juta per hektar!”

Pandawa Tepa Kutha: Pupuk Palsu dan Panen Pupus di Negeri Wiratha

 Dongeng Sibu Bayan #032

(mbok Srikandi)

Sampailah penulis di Tanggul, nama kota kecil di sebelah Barat Jember. Kota ini mengingatkan penulis pada kuliah sosiologi pedesaan saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi pertanian terbesar di negeri +62. Kisah Tanggul - Semboro bukan hanya penting dalam sejarah irigasi dan pertanian Jember, tapi juga jadi cermin bagaimana kolonialisme memanfaatkan tanah subur dan keringat rakyat untuk menciptakan mesin pangan yang mengubah struktur sosial, jejaknya masih membekas hingga kini, meski jarang masuk buku pelajaran. Namun tulisan ini bukan hendak bercerita tentang masa lalu itu, melainkan tentang sebuah siang yang terik, di tepi jalan raya yang membelah persawahan yang sedang musim panen, ketika penulis tak sengaja bertemu dengan seorang emak-emak hebat operator combine harvester, yang ternyata bukan orang sembarangan, Srikandi, istri Arjuna.