Dongeng Sibu Bayan #033
Di bawah teduh
pohon asam di jalan antara Tanggul–Semboro, penulis masih terdiam merenungkan
cerita absurd Srikandi tentang penyamaran Pandawa. “Kok bisa ya… terbongkar
cuma gara-gara pupuk palsu,” batin penulis. Memang nasib petani selalu jadi
barang taruhan, bahkan di jagad pewayangan. (baca: Pandawa
Tepa Kutha: Pupuk Palsu dan Panen Pupus di Negeri Wiratha)
“Mbok… katanya
tadi mau cerita kisah cinta dengan Arjuna,” tiba-tiba Bagong memecah kebekuan obrolan.
Srikandi menarik
napas, senyumnya tipis, seolah menertawakan luka sendiri. “Iya, Gong… cinta
juga kadang seabsurd panen yang gagal gara-gara data palsu. Dengar saja…”
Pagi itu, di negerinya Srikandi, Campala, langit masih malu-malu, dan kabut tipis menyembunyikan retak lumpur di tepi jantur, saluran air tradisional yang dulu mengalirkan harapan dari sumber ke petak sawah, kini hanya menyalurkan endapan lumpur dan janji-janji tak sampai. Di sana, Arjuna datang bukan membawa panah sakti, melainkan map tebal berlogo program perlindungan petani berbasis iklim: asuransi yang katanya sakti mandraguna, cukup ditebus premi murah, sawah konon jadi kebal bencana. Rombongan Arjuna tampak konyol dan meriah: Bagong menyeret tripod, Bilung sibuk siaran live dengan ponsel retak, dan Togog bergumam menghafal jargon subsidi. “Dik Srikandi,” kata Arjuna, suaranya serak tapi tetap merdu, “sekarang petani tak perlu takut gagal panen. Premi murah, klaim cepat. Kalau sawahmu kena banjir, kering, atau wereng, langsung cair enam juta per hektar!”
Srikandi hanya
diam, menatap lelaki yang ia dengar sebagai ksatria tampan penakluk hati
bidadari, kini berdiri kikuk di lumpur sambil memegang kertas bergambar tabel
dan flowchart. Tatapan Srikandi tajam, namun ada getar aneh di dadanya, getar
yang tak sama dengan marah atau geli. “Kakang,” gumamnya, setengah sinis
setengah penasaran, “cintamu semanis spanduk itu, ya?”
Togog nyeletuk
pelan sambil menahan asap rokok, “Sawahnya petani boleh banjir setinggi dada,
tapi kalau data pusat bilang cuaca normal, ya normal.” Bilung ikut menimpali
sambil merekam, “Tenang… kalau sawah gagal panen karena kekeringan, banjir, dan
wereng datang beruntun, data masih bisa tetap bilang: ‘tidak terdampak
signifikan’.” Bagong tertawa pendek, “Istilahnya: sawah boleh kebanjiran, gagal
panen boleh beruntun, tapi data tetap surplus. Rakyat yang tekor, negara yang
bangga.”
Namun Srikandi
bukan hanya putri kerajaan Campala, ia adalah titisan Dewi Amba, perempuan yang
pernah dihina dan dikhianati, yang hidupnya dikejar dendam, dan yang kelak
sudah ditakdirkan menjadi panah kematian bagi Resi Bhisma di perang
Baratayudha. Bhisma sendiri bukan sembarang lawan, ia kakek Arjuna, seorang
resi yang disanjung karena kebijaksanaan, tapi kerap linglung saat harus
menegakkan kebenaran; suaranya keras di mimbar istana, tapi bisu di depan
tangis petani yang sawahnya kering, terendam banjir, atau diserbu wereng.
Konon, justru Bhisma pula yang pertama kali menggagas asuransi petani berbasis
iklim, program megah penuh angka dan jargon: premi murah, klaim cepat, rakyat
terlindungi. Sayangnya, seperti jantur yang dulu deras tapi kini hanya
menyalurkan lumpur, janji itu sering hanyut di rapat, terjebak di tabel curah
hujan, atau gagal cair hanya karena data pusat bilang “cuaca normal.”
Ada luka lama Dewi
Amba di jiwa Srikandi, luka yang tak pernah sembuh meski tubuhnya berganti
rupa. Namun pagi itu, di pinggir jantur tua, luka dendam itu bersisian
dengan getar hati, getar jatuh cinta pada Arjuna, ksatria tampan yang selalu
menang di gelanggang, tapi tampak kikuk saat bicara soal asuransi kakeknya
sendiri. Di matanya, cinta dan dendam berdiri berdampingan, satu ingin memeluk,
satunya ingin menuntaskan janji Amba yang pernah dihina oleh istana yang sama,
istana tempat Bhisma duduk terhormat, diam di balik kata “bijak,” meski
rakyatnya tercekik.
Arjuna gugup,
jemarinya meremas brosur lecek. Mereka berdiri di pinggir jantur, tempat
air dulunya mengalir deras, tempat cerita sawah dan panen pernah jadi nyanyian
desa. Jantur, kata orang tua, adalah nadi batu dan tanah, kalau ia
kering, kering pula doa petani. Airnya kini tinggal kubangan kecil, lumpurnya
retak seperti bibir janji kampanye. Arjuna melanjutkan hafalannya, “Premi cuma
tiga puluh enam ribu, sisanya disubsidi. Bukti nyata keberpihakan Pandawa!”
Srikandi menahan tawa, atau mungkin tangis yang tak jadi tumpah. “Tapi kalau
panen gagal, klaimnya harus bawa surat kelompok tani, berita acara penyuluh,
rekomendasi dinas, dan data curah hujan pusat yang sering tak cocok. Kalau data
bilang cuaca normal, selesai sudah.”
Bagong mengangkat
alis sambil nyeletuk, “Kalau sawahnya tenggelam, bilangnya ‘kelembapan cukup’.
Kalau kekeringan, bilangnya ‘curah hujan sesuai’. Kalau diserbu wereng,
bilangnya ‘hama dalam ambang wajar’. Hebat tenan!” Togog ikut nyindir,
“Sawahnya gosong, tapi laporan tetap hijau. Banjirnya petani, yang panen malah
angka di Excel.” Bilung menambahkan, “Tenang… di Instagram, sawahmu selalu
panen.”
Dan di tengah
retak lumpur dan canggungnya dua hati, muncul Batara Narada, turunnya seperti
angin lembut yang membawa bau dupa dan serbuk cendana. “Wahai Srikandi,”
katanya pelan, “kau lihat ksatria di hadapanmu. Dulu ia memanah bidadari, kini
ia memanah hatimu, meski hanya dengan brosur lusuh. Jangan hanya kau lihat
janji programnya, lihat juga gelisahnya. Kadang cinta lahir di tempat paling
retak. Dan ingatlah, meski takdirmu kelak berat, cinta bukan selalu lawan dari
dendam.” Srikandi tertegun, matanya menelusuri sorot mata Arjuna. Dan Arjuna
pun menatap balik, ada canggung, ada malu, ada gentar: gentar karena jatuh
cinta, atau gentar karena tahu cinta ini tumbuh di antara janji yang separuhnya
dusta.
Bagong membuka
catatan setebal kitab, “Sejak program ini jalan, premi terkumpul triliunan,
klaim yang cair cuma secuil. Sisanya jadi surplus.” Srikandi bergumam, “Jadi
cinta pun harus kita hitung seperti surplus?” Arjuna tak menjawab, hanya
memandangi wajah Srikandi yang terciprat lumpur dan cahaya pagi, dan di detik
itu ia sadar: ia jatuh cinta, bukan pada statistik, tapi pada perempuan yang
berdiri di atas tanah kering dan tak pernah menyerah.
Malamnya, mereka
duduk di pinggir jantur, berbagi diam. Srikandi menggenggam lumpur kering,
Arjuna memegang brosur lecek. “Dik… dulu aku hanya memanah bidadari, sekarang
aku memanah rasa malu sendiri,” bisik Arjuna. Srikandi menoleh, senyumnya
tipis, “Cinta pun harus diuji lapangan, Kakang. Bukan cuma tercetak di brosur.”
Dan langit pun diam, seolah menahan tawa dan iba.
Di ujung pematang,
Narada tersenyum tipis, “Kadang cinta tumbuh bukan karena janji besar, tapi
karena dua hati sama-sama tahu rasanya lumpur, retak, dan gagal panen. Dan kau,
Srikandi… meski kelak harus memenuhi dendammu pada Bhisma, hatimu masih boleh jatuh
cinta.”
Bilung masih
merekam diam-diam, Bagong nyeletuk, “Tenang, Lung… nanti kalau sawah gagal
panen karena kemarau panjang, datanya tetap bilang ‘cuaca normal’. Kalau banjir
bandang datang, bilangnya ‘hujan merata’. Kalau wereng menyerbu, bilangnya
‘hama terkendali’. Jadi gagal panennya rakyat, surplusnya data.” Togog menimpali,
“Dan kalau ada hama baru, cukup tambahkan satu kolom: ‘belum tercatat’. Problem
selesai!”
Bilung menghela
napas, matanya sayu: “Lagian, Gong… kalau rakyat lapar, tinggal bikin program
baru: ‘Paket Pangan Harapan’. Isinya brosur, bukan beras.” Bagong menukas
sambil tertawa pahit, “Atau cetak spanduk ‘Petani Sejahtera, Meski Sawahnya
Tak Ada’ toh yang penting ada
dokumentasi.”
Tawa mereka
terdengar serak, seperti menertawakan luka sendiri. Bilung menambahkan,
suaranya setengah bercanda setengah getir, “Kalau sawahnya tenggelam, bisa juga
bikin tur wisata banjir. Kalau kering kerontang, jadi lokasi syuting dokumenter
perubahan iklim. Tetap ada pendapatan, Gong… walau petaninya tetap puasa nasi.”
Togog mengangguk,
“Atau kirim pejabat studi banding ke luar negeri. Pulangnya bawa oleh-oleh, foto
selfie di sawah subur, bukan solusi. Yang penting bahan presentasi lengkap.”
Bagong menimpali,
“Dan kalau rakyat nanya hasilnya mana, tinggal bilang: ‘Masih proses kajian
kebijakan’ biar terdengar ilmiah.”
Tawa mereka hanyut
di lumpur yang mulai menghitam, jadi ironi yang lebih keras dari teriakan
demonstrasi, karena sawahnya petani boleh hancur, tapi polis asuransi iklim
tetap rapi tercetak, dan datanya tetap cantik di layar.
Di akhir cerita
pertemuan itu, hanya tertinggal catatan kaki asuransi iklim yang tak pernah
dicetak di laporan resmi, “Total lahan retak: tak terhitung. Total klaim cair:
nihil, karena data bilang cuaca normal. Total janji: terus bertambah setiap
rapat. Total cinta Arjuna–Srikandi: tak tercatat, tak pernah dicairkan.”
Dan di atas lumpur
negerinya Srikandi, hanya tersisa sepasang mata saling pandang, brosur lecek,
dan cinta yang mulai tumbuh, meski mereka tahu, bahkan di musim paling kering,
cinta itu pun mungkin akan tetap gagal diklaim. Sementara di layar presentasi,
grafik selalu naik, surplus asuransi iklim selalu diumumkan, dan rakyat… tetap
disuruh bersyukur.
Di ujung catatan,
penulis mencatat dengan tangan gemetar: “Lucunya, di negeri ini, polis
asuransi iklim bisa lebih panjang umurnya daripada sawah; lebih kokoh daripada
tanggul; dan lebih setia tercetak daripada janji.”
Dan kalau kelak
cinta Arjuna–Srikandi pun gagal panen, tak apa sebab di laporan resmi, cinta
tak pernah jadi variabel, gagal panen tak pernah jadi masalah, dan data… selalu
panen angka yang tak pernah busuk.
(Sibu Bayan)
No comments:
Post a Comment