Dongeng Sibu Bayan #032
Sampailah penulis di Tanggul, nama kota kecil di sebelah Barat Jember. Kota ini mengingatkan penulis pada kuliah sosiologi pedesaan saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi pertanian terbesar di negeri +62. Kisah Tanggul - Semboro bukan hanya penting dalam sejarah irigasi dan pertanian Jember, tapi juga jadi cermin bagaimana kolonialisme memanfaatkan tanah subur dan keringat rakyat untuk menciptakan mesin pangan yang mengubah struktur sosial, jejaknya masih membekas hingga kini, meski jarang masuk buku pelajaran. Namun tulisan ini bukan hendak bercerita tentang masa lalu itu, melainkan tentang sebuah siang yang terik, di tepi jalan raya yang membelah persawahan yang sedang musim panen, ketika penulis tak sengaja bertemu dengan seorang emak-emak hebat operator combine harvester, yang ternyata bukan orang sembarangan, Srikandi, istri Arjuna.
Pertemuan itu
terjadi di bawah pohon asam tua, penulis dan emak Srikandi sama-sama melepas
lelah sambil menyeruput dawet beras. Penjual dawetnya? Tak kalah mengejutkan, Bagong,
lengkap dengan celetukan khasnya.
“Mas, aku ini
istri Arjuna, juga adiknya Drupadi,” ujar mbok Srikandi, membuka percakapan
sambil nyruput manisnya dawet. “Tapi hari ini aku nggak mau cerita kisah cintaku
yang katanya bikin iri para prameswari itu. Aku mau cerita tentang masa Pandawa
nyamar di Wiratha, dan bagaimana topeng mereka jatuh… gara-gara pupuk palsu,”
lanjutnya sambil tersenyum tipis.
“Lha! Gara-gara
pupuk palsu tho, Mbok?” sela Bagong cepat, nyaris nyembur dawetnya sendiri.
“Iyo, Gong, sabar,
aku ceritain,” kata Srikandi
Semua berawal dari meja dadu sialan yang bikin Pandawa jatuh miskin dalam semalam. Puntadewa, kakang iparku paling tua, raja yang katanya bijak tapi kadang polos, tergoda promo dadu bareng Kurawa. Tentu saja yang ngocok Sengkuni, licin kayak belut kena oli. Hasilnya? Amarta raib, rakyat bubar, istana amblas kayak saldo rekening habis auto debet. Pandawa diusir kayak spam grup WA yang bikin admin jengkel. Pandawa harus ngumbara dua belas tahun di alas, lalu setahun lagi tepa kutha: nyamar di negeri orang, tak boleh ketahuan. Kalau ketahuan? Denda moral plus cicilan karma. (baca juga: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62)
Bagong nyeletuk
sambil ngelap keringat, “Nek dipikir-pikir, Mbok, pejabat negeri kita juga
doyan main dadu, tapi taruhannya sawah dan perut petani. Mereka senyum di atas
meja rapat ber-AC, sementara petani di lapangan cuma kebagian angin kosong dan
harga pupuk palsu.”
Akhirnya Pandawa
ngungsi ke Wiratha. Tapi bukan jadi penasihat istana, apalagi komisaris BUMN
pupuk. Puntodewo buka les judi supaya Raja Wiratha lupa anggaran bocor; Werkudoro kerja di dapur nguleg sambel level kiamat kecil; Nakula ngurus kuda sambil
nyari gosip prameswari; Sadewa ngitung sapi meski sering keliru antara induk
dan pedet; dan Arjuna, si paling lentik, nyamar jadi guru tari Wrahatnala, suaranya
merdu kayak janji kampanye. Drupadi? Jadi pelayan ratu; tugasnya paling berat, pura-pura
senyum tiap dengar prameswari ngeluh soal harga bedak naik.
Bagong nyeletuk
sambil ngipas-ngipas dawet, “Nek dipikir-pikir, Mbok, wong cilik kayak petani
itu nasibnya paling gampang dipermainkan. Eling-eling, Pandawa aja sampai
nyamar demi melanjutkan hidup, lha pejabat sekarang nyamar demi kursi, yang
tumbal tetep petani.”
Srikandi tertawa
kecil, “Iya, Gong. Sawah boleh kelihatan hijau di foto drone, tapi hati petani
sering kelabu gara-gara kebijakan setengah matang.”
Bagong
manggut-manggut, “Soale sawah butuh pupuk, tapi pejabat butuh panggung.”
Musibah besar
bukan datang dari dewa, tapi dari karung pupuk. Sapi mencret massal, padi
kuning kayak kena bleaching gagal, petani Wiratha panen keluhan lebih banyak
daripada panen gabah. Lahan yang dulu subur mendadak seperti disiram kutukan,
dan langit pun rasanya ikut mengerutkan dahi. Penyebabnya? Pupuk baru merek Kicaka
Corp – Pupuk Kilat Murah & Dahsyat! Dahsyat di brosur, tapi di sawah
bikin tanah mati rasa, dahsyat di poster iklan, tapi bikin petani tekor sampai
tulang. Sadewa pertama kali curiga, baunya mirip kapur barus dicampur janji
pejabat, wangi palsu yang cepat hilang. Werkudoro nggrundel sambil ngunyah
lombok, “Ini pupuk palsu!”
Petani Wiratha
cuma bisa ngelus dada, harga pupuk makin naik, brosur subsidi tebal, tapi panen mereka tipis. Dan di layar kaca, pejabat
berdasi masih tersenyum seolah tanah retak ini cuma soal statistik.
Yang bikin naik darah, pemerintah Wiratha nongol di TV sambil ngumbar senyum, bilang,
“Distribusi aman!” lengkap dengan pose selfie di depan tumpukan karung
pupuk seperti influencer dadakan. Nyatanya? Petani cuma panen kerugian
dan utang menahun. Mirip kabar nyata, lima perusahaan nakal jual pupuk palsu,
petani buntung sampai Rp 3,2 triliun. Menteri pertanian Wiratha tampil di
kamera, suaranya halus kayak MC kondangan, bilang “pejabat nakal sudah
dinonaktifkan.” Tapi rakyat tetap geleng-geleng kepala, “Lho kok kejadian lagi?
Wong tanahnya masih sama, bos-nya juga masih itu-itu aja.”
Bagong nyeletuk
sambil ngelap keringat, “Pejabat dinonaktifkan kok kayak promo diskon aplikasi,
Mbok…bentar balik lagi, malah kadang dapet voucher jabatan baru. Yang
rugi ya tetep petani, sawahnya meranggas, brosurnya tambah tebal. Lha wong
pupuknya palsu, statement-nya palsu, senyumnya juga sering palsu. Tapi anehnya,
kamera TV selalu asli ya Mbok…nyorotnya pas pejabat lagi potong pita!”
Siapa dalangnya?
Kicaka, bos mafia pupuk sekaligus panglima kerajaan Wiratha. Duitnya tebal,
brosurnya licin, giginya putih kayak stiker subsidi. Tak cukup nipu petani, dia
juga nawarin “cinta” plus kontainer “pupuk asli” ke Drupadi. Malamnya, Drupadi
muntab, nangis ke Werkudoro. Saat jelata, kakak iparku yang satu itu kesabarannya
setipis kantong petani.
“Ya… kalau rakyat
jelata sudah bergerak, pasti celaka si Kicaka…,” celutuk Bagong
Malam itu juga, Werkudoro,
masih berkeringat habis nguleg sambel, langsung nyusup ke gudang gelap di
pinggir istana. Senter cuma satu, tapi niatnya seterang amarah petani. Werkudoro
nggak banyak pidato, cukup sekali gebrak, karung palsu beterbangan, tikus panik
lari, dan tulang belulang Kicaka langsung gemeter. “Ini yang kau sebar?!”
gertak Werkudoro, suaranya berat kayak tanah basah habis hujan.
Kicaka sempat
ngeles pakai brosur subsidi dan kata “strategi distribusi”, tapi Werkudoro
nggak tertarik dengar seminar tengah malam. Tangan Werkudoro cuma perlu satu
tekuk, Prang! Kicaka dilipat tulangnya kayak brosur subsidi, mukanya pucat
kayak label “premium” yang dia tempel sendiri. Gudang bergetar, bau abu gosok
campur ketakutan.
Besok paginya,
kabar sudah nyebar ke sawah-sawah, “Bos pupuk palsu disambel Werkudoro.” Petani
Wiratha manggut-manggut sambil ngelus dada, akhirnya ada yang berani marah
bukan demi panggung, tapi demi tanah.
Tapi kabar ini
juga bikin panas telinga para Kurawa di Hastina. Duit setoran dari Kicaka yang
selama ini mengalir deras mendadak macet, brosur subsidi gagal cetak ulang, dan
pejabat yang biasa dapat “logistik koordinasi” kelabakan. Mereka ngamuk, sok-sokan
pasang wajah peduli, katanya mau “kawal distribusi pupuk nasional” demi
stabilitas pangan. Padahal niatnya cuma satu, jaga dompet dan muka di hadapan
Raja Wiratha. Maka berangkatlah mereka bawa pasukan lengkap, spanduk “Ketahanan
Pangan Wiratha”, plus fotografer kerajaan.
Raja Wiratha
gemetar, pejabat rebutan spot kamera. Arjuna, masih berkostum guru tari,
nyeletuk pelan, “Tenang, tuanku, saya yang menghadapi.” Di medan perang, Arjuna
mencabut topeng, menghunus senjata pusaka dari balik pohon Sami, lalu berseru
lantang,
“Aku Arjuna! Ini
balasanmu nyebar pupuk palsu! Rakyat rugi triliunan, pejabat hanya rame pas
potong pita!”
Panah Arjuna
melesat, brosur palsu robek, pasukan Kurawa kocar-kacir, gimmick pejabat
terbongkar. Raja Wiratha melongo, “Loe Pandawa? Pantes wibawa loe lebih wangi
tinimbang brosur subsidi.” Dan Arjuna pun menjawab, “Sawah rusak bukan sekadar
angka di rilis pers. Petani itu hidup, bukan statistik. Pemerintah mestinya
jaga rakyat, bukan cuma jaga citra.”
Sawah Wiratha pun
hijau lagi, sapi sembuh, dan petani bisa senyum meski tipis. Tapi rakyat jadi
paham, musuh terbesar bukan cuma pupuk palsu, melainkan juga pejabat yang hanya
muncul saat viral, bikin statement sambil pegang mic, lalu lenyap
ketika rakyat benar-benar butuh pengawasan. Penulis pun sadar, di tanah ini,
yang subur bukan cuma padi, tapi juga tipu daya, brosur subsidi, dan janji
manis yang tumbuh liar… tak perlu dipupuk sekalipun.
Srikandi menarik
napas panjang, menatap sawah yang baru selesai dipanen. “Mas penulis,” katanya
pelan, “kelak aku juga harus menuntaskan takdirku, menebas Bhisma di
Baratayudha. Tapi sebelum itu, lain kali aku janji akan cerita tentang cintaku
pada Arjuna, pujaan banyak wanita, yang ternyata juga sering bikin hatiku
remuk. Karena perang tak selalu di medan Kurusetra, kadang ia tumbuh diam-diam,
di hati para istri yang harus tegar menanggung sumpah, luka, dan sejarah.”
Ia menoleh pada
penulis sambil nyruput sisa dawet yang tinggal seperempat, “Tunggu saja, Mas
penulis. Kisahku masih panjang. Dan tak kalah getir dari ladang yang pernah
disiram pupuk palsu.”
(SiBu Bayan)
Cerita selanjutnya: Srikandi Mbarang Jantur: Antara Cinta dan Asuransi Iklim Tani
No comments:
Post a Comment