Dongeng
Sibu Bayan #36
(Diceritakan
oleh Kyai Sanjaya di Curah Jati, Banyuwangi kepada Penulis. Lakon ini adalah
prolog perang Baratayudha)
Perjalanan penulis sudah mulai dekat dengan Alas Purwo. Penulis
merasakan angin malam dari arah Alas Purwo yang bercampur dengan aroma kopi
robusta. Malam itu, di beranda sebuah rumah kayu yang jadi kedai kopi di Curah
Jati, penulis mendengarkan kisah dari orang tua bernama Kyai Sanjaya, yang saat
ini menjadi barista. Dulu, di jaman pewayangan beliau adalah mata bagi Destarata
yang buta, ayah para kesatria Kurawa. Beliau adalah murid terkasih Begawan Abiyasa
dan bukan keturunan bangsawan Kuru atau Bharata.
Sanjaya duduk bersila di depan penulis, matanya tajam, suara beratnya
serupa gemuruh yang diserap tanah. “Nak Penulis,” ucapnya lirih, “orang-orang
selalu bilang aku hanya tukang catat. Tapi ingatlah, mencatat juga berarti ikut
menanggung luka. Aku pernah melihat sendiri bagaimana darah dan tanah jadi
rebutan, dari Kurawa sampai Pandawa. Dan kini, entah kenapa, kisah itu hidup
lagi di tanahmu.”
“Begini, Nak Penulis,” katanya pelan, “Perundingan sebelum Perang Bharatayudha itu bukan sekadar kisah diplomasi. Itu soal tanah, kekuasaan, dan siapa yang boleh hidup di atas bumi. Sama seperti di negeri ini, tanah untuk rakyat katanya, tapi yang kenyang selalu para raja dan kesatria.”