Dongeng Sibu Bayan #035
(Diceritakan oleh Baladewa pada Penulis di tepi Alas Gumitir)
Perbincangan di Curah
Damar makin gayeng setelah kedatangan Baladewa. Dia adalah kakak dari Krisna,
tindak tanduknya tegas tanpa basa-basi.
“Gong, bikin kopi ya…yang
kental, gulanya seujung sendok saja!”
Tiba-tiba saja ia
langsung minta Bagong bikin kopi
Bagong bengong sebentar,
lalu nyeletuk, “Wah, sampeyan ini kayak pejabat lagi sidak, langsung minta kopi
tanpa tanya tuan rumah. Oke siap, Kangmas! Tapi hati-hati, kalau kopinya
kemanisan, jangan-jangan nanti dianggap gratifikasi.”
Tawa kecil terdengar,
tapi Baladewa tetap serius. Ia menatap Penulis sambil berujar lantang:
“Oh…ini si Penulis yang
diceritakan adikku Krisna. Sedang gosip apa sama Ekalaya?”
“Ngopi dulu kangmas
Baladewa,” sela Ekalaya menenangkan, “ini sedang cerita-cerita ngalor ngidul menjelang
geger Baratayudha dulu. Rakyat makin bingung, penguasa makin lihai bikin
aturan. Semua katanya demi
ketertiban. Tapi kok yang tertib justru cuma isi pidato, bukan isi perut.” (baca juga:
Baladewa mengangguk pendek. “Adikku Krisna sering bilang, kadang yang manis di mulut penguasa justru pahit di hati rakyat.”
“Mas Penulis…, catat
ceritaku tentang Sabha Agung Jana Nagari, mirip dengan sidang Majelis Negeri
di tempatmu. Ini sidang tahunan gabungan negeri Amarta dan Hastinapura”, kata
Baladewa dengan tatapan tajamnya pada Penulis. Kemudian dia melanjutkan, “dalam
sidang itu, Puntodewo pidato panjang… panjangnya kayak kain mori, tapi isinya
ya itu-itu saja. Rakyat disuruh sabar, tanah katanya milik negara, rekening
dorman diblokir, hakim disuruh ingat gaji bukan nurani… semua dibungkus indah
dengan bahasa adiku Krisna”
Dan mulailah kisah itu
bergulir .........
---0---
Hari itu balairung
Istana penuh sesak. Para bangsawan, resi, prajurit, bahkan rakyat jelata duduk
berdesakan di lantai marmer yang dingin. Sabha Agung Jana Nagari dibuka
dengan bunyi gong tiga kali, pertanda sang raja Puntodewo akan membacakan
pidato kebesarannya.
Puntodewo, yang dikenal
berhati suci dan njelimet dalam urusan dharma, berdiri tegak dengan suara
bergetar:
“Rakyat Amarta dan
Hastinapura, Pandawa telah berhasil menyejahterakan kalian. Cadangan gabah
mencapai empat juta karung, sesaji gizi gratis mulai digulirkan, rekening
dorman berhasil diselamatkan, bahkan hakim kini bergaji besar agar tidak
tergoda suap. Inilah bukti kita sedang berada di jalur kebangkitan.”
Tepuk tangan bergema
panjang. Namun di sudut ruangan, wajah-wajah rakyat desa menunduk bingung. Di
rumah, mereka masih merebus nasi aking dengan lauk garam.
Duryudana dan Sengkuni
saling pandang. Senyum mereka bukan tanda setuju, melainkan siasat.
“Ha, Puntodewo makin
asyik beromong kosong,” bisik Duryudana. “Inilah yang kuharapkan, Dur,” sahut
Sengkuni lirih. “Jika rakyat tahu pidato ini pepesan kosong, kemarahan akan
meledak. Tanpa mengangkat senjata, Pandawa kalah oleh wacana mereka sendiri.”
Di luar aula, para
punakawan mendengar sambil gelisah.
Bagong, perutnya
keroncongan, nyeletuk, “Cadangan gabah empat juta karung? Di desaku malah gabah
nggak ada yang bisa dibeli, wong semua sudah jadi beras oplosan. Makan sesaji
gratis? Halah….”
Togog menimpali dengan
tawa pahit, “rekening dorman tiga bulan diblokir? Tabungan rakyat ketahan,
kerajaan ngakunya kas bertambah. Stempel- stempel Pandawa, ini mah!”
Bilung ngakak sambil
nepuk paha:
“Hakim digaji besar
supaya jujur? Hahaha… kalau yang diadili rakyat kecil tetap aja kalah. Gajinya
cuma bikin perut hakim tambah buncit, bukan tambah adil.”
Togog nyeletuk sambil
melotot, “Iyo, lha piye. Wong hakim saiki masalahnya bukan lagi soal gaji, tapi
nurani. Gaji bisa naik, tunjangan bisa deras, tapi nek nurani diparkir, ya sama
wae kayak rekening dorman, dibekukan, gak bisa dipakai!”
Semar, biasanya sabar,
kali ini menunduk dalam. Suaranya lirih namun menggetarkan:
“Tuan Puntodewo, dharma
yang Anda kumandangkan sudah jadi mantra kosong. Rakyat lapar itu mesiu tak
kasatmata. Jangan salah, pidato ini malah mempercepat Baratayudha, bukan
mencegahnya.”
Sementara Puntodewo
terus membaca angka-angka indah, Duryudana terus memberi aba-aba tepuk tangan.
Kurawa bertepuk tangan makin keras, pura-pura memuja. Sorak sorai menggema,
tapi semua itu hanya jebakan. Puntodewo merasa dipuja, padahal digiring ke
jurang.
Usai pidato ditutup,
seorang menteri berdiri. Dialah Patih Karna, Menteri Agraria dan Pertanahan
Hastinapura. Dengan suara berat ia berseru:
“Tanah untuk negara,
Prabu! Sawah, ladang, hutan, bahkan tanah kosong tempat anak-anak main
layangan, semuanya milik kerajaan. Rakyat hanya numpang hidup. Tanah negara
harus dikuasai untuk kepentingan nasional. Semua yang tak bersertifikat kita
masukkan program legalisasi aset! Pagar laut kita perkuat dengan blue
economy!. Semua ini demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”
Togog langsung nyeletuk
keras, “Lha, maksudnya tanah rakyat jadi milik siapa, to, Patih? Kalau semua
disebut tanah negara, rakyat mau tinggal di awan? Jangan-jangan nanti pun sawah
Semar disebut kawasan strategis nasional!”
Semar tersenyum getir,
“Nak, kalau benar keadilan itu dijalankan, rakyat tak perlu menunggu sidang.
Cukup dengan nurani yang jernih, keadilan sudah sampai.”
Kurawa kembali bertepuk
tangan riuh sambil berdiri, hingga akhirnya suara Togog dan Semar pun hanya
menjadi desis angin saja.
----0---
Baladewa menghela nafas
panjang, ”ya…itulah sepenggal kisah suasana pidato kebesaran Puntodewo di Sabha
Agung Jana Nagari”
Bagong menaruh cangkir
kopi di meja, “Lha, kalau begini, kopi kental tanpa gula masih lebih jujur
daripada pidato manis penuh angka. Setidaknya pahitnya nyata!”
Suasana Curah Damar
pecah, antara tawa getir dan keprihatinan. Ekalaya menunduk, lirih berkata,
“Aku rakyat biasa, Kangmas. Aku tahu bagaimana rasa ditolak di medan perang
hanya karena aku bukan bangsawan. Tapi rakyat jelata selalu diajak maju kalau
sudah saatnya korban. Itulah Baratayudha sebenarnya, perang bukan karena
kebenaran, tapi karena nurani yang disingkirkan.”
Baladewa menarik napas
panjang, matanya tajam menatap horizon seakan melihat bayangan perang di
kejauhan. “Kalau begitu, Baratayudha bukan hanya pertempuran Pandawa dan
Kurawa. Ia adalah panggung besar di mana nurani diuji. Dan sayangnya, banyak
yang memilih menyingkirkan nurani sebelum perang benar-benar dimulai.”
Ekalaya menutup dengan
senyum getir, “Wayang ini cermin. Kalau nurani yang digusur, rakyat bakal jadi
korban. Sekarang kita ketawa, tapi sejatinya hati ini hancur.”
Di Curah Damar, kopi
tinggal ampas. Tapi cerita tentang nurani yang dibekukan tetap berputar,
seperti gong yang tak pernah selesai dipukul.
(Sibu Bayan)
Cerita berikutnya: Udyoga Parwa: Tanah untuk Siapa ?
No comments:
Post a Comment