Dongeng Sibu Bayan #034 (Diceritakan oleh Ekalaya pada penulis di tepi Alas Gumitir")
Curah Damar, gerbang sunyi di perbatasan Banyuwangi, di tepian Alas Gumitir. Kabut turun seperti tirai, menutupi jejak-jejak kisah lama yang bercampur antara sejarah dan mitologi. Tapi tulisan ini tidak mengisahkan legenda Alas Gumitir. Kisah ini lahir dari bibir seorang lelaki sederhana yang dijumpai penulis di warung kopi: Ekalaya. Bukan bangsawan, bukan Pandawa, bukan pula Kurawa. Lahir di hutan Nishada, jauh dari hiruk pikuk istana, kejujuran, kecerdasan dan kesaktiannya pernah membuat para ksatria biru Pandawa dan Kurawa pucat pasi. Dari hutan ia datang, ke hutan ia kembali, dan kini ia berdiam di tepian Gumitir, menyeruput kopi pekat Curah Damar.
Di sela embusan asap kopi dan aroma kretek, ia menuturkan sebuah cerita, kisah getir ketika para elit memelintir kepercayaan rakyat, menunggu krisis meledak demi agenda mereka sendiri. “Rajasuya,” kata Ekalaya pelan, “bukan sekadar upacara suci. Ia pernah menjadi jebakan pajak rakyat.”
Di balairung Istana, persiapan upacara Rajasuya sedang berlangsung. Arjuna berdandan rapi, Werkudoro sudah sibuk mengatur pasukan keamanan, Puntodewo menghitung daftar sesaji, dan Nakula–Sadewa memeriksa data hasil panen untuk memastikan semuanya cukup.
“Lho, ini angka surplus beras kok naik tiga kali lipat dari laporan kemarin?” tanya Sadewa.
“Itu laporan resmi dari kementerian pangan,” jawab Nakula sambil mengangkat bahu. “Kalau ada yang tidak sesuai, berarti rakyat yang salah menghitung.”
Semar masuk, wajahnya penuh kerut. “Ndoro, surplus kok harga malah naik, rakyat pada ndadak miskin. Jangan-jangan ini bukan surplus beneran, tapi surplus kertas.”
Puntodewo tersenyum datar. “Surplus itu soal narasi, Ki Semar. Kalau narasi kuat, rakyat akan merasa aman walau perut kosong.”
“Saat itulah aku masuk”, kata Ekalaya pada penulis. “Aku bukan tamu resmi, hanya pengantar sesaji dari hutan Nishada.” lanjutnya. “Ndoro-ndoro Pandawa,” suaranya dalam, “Rajasuya ini sesaji untuk Dewa atau jebakan untuk rakyat? Kenapa aku melihat hasil bumi dikuras dari desa, sementara lumbung istana penuh tapi pintunya digembok?”
Werkudoro menyahut, “Ekalaya, ini tradisi! Semua kadipaten bawahan harus memberi upeti, supaya kami bisa mengayomi mereka.”
Ekalaya menatap tajam. “Mengayomi atau menguasai? Dulu guru Durna melarangku belajar memanah karena aku bukan bangsawan. Sekarang kalian melarang rakyat mengenyam kenyang karena mereka bukan penguasa.”
Sunyi. Hanya suara para abdi yang sibuk mengatur keranjang sesaji.
Tiba-tiba Batara Narada turun dari langit, membawa gulungan titah dewa. “Ohoho… Semua kadipaten wajib menyetor tiga kali lipat dari biasa. Kata Dewa-Dewa, ini demi keseimbangan kosmis dan pembangunan candi di kahyangan.”
Ekalaya tertawa getir. “Keseimbangan kosmis apanya? Ini keseimbangan dompet para dewa!”
Ekalaya menunduk, lalu berkata, “Kalau sesaji ini memang untuk menjaga dunia, kenapa rakyat tidak ikut merasakan manfaatnya? Jangan biarkan Rajasuya jadi pesta para elit yang dibayar dengan lapar orang desa.”
“Wahai para kesatria Pandawa,” katanya, “bukankah upeti itu keringat rakyat? Naiknya dua kali lipat tanpa perhitungan akan memiskinkan desa-desa. Apa Rajasuya ini harus dibayar dengan perut lapar?”
Puntodewo mencoba menutup pembicaraan. “Upacara harus tetap jalan. Kalau kita melawan titah dewa, Istana akan kehilangan restu langit.”
"Aku langsung keluar balairung", ujar Ekalaya pada penulis, “Ya…kalau langit berpihak pada kelaparan, mungkin saatnya kita membangun langit yang baru.”
Setelah menghisap kreteknya dengan seksama, Ekalaya melanjutkan kisahnya.
Di balairung Istana yang mirip kura-kura, para bangsawan berdebat tentang siapa yang paling pantas memegang kuasa. Di ujung utara alun-alun, rakyat berdesakan, bukan untuk menyaksikan sidang, melainkan untuk mengeluh harga beras yang melambung dan upeti yang kian mencekik.
Bupati-bupati daerah bawahan, yang biasanya sibuk memamerkan keris pusaka dan kuda pacu, kini datang beriringan dengan wajah pucat. “Yang mulia, kstaria Pandawa dan Kurawa” kata seorang bupati pada petinggi Istana, “Upeti yang diperintahkan naik itu… rakyat mulai menggerutu. Pasar sepi, lumbung kosong.”
Tetapi para darah biru ksatria Pandawa dan Kurawa berpura-pura tidak mendengar, karena suara yang terlalu lurus hanya mengganggu jalannya rencana. Mereka yang seharusnya membela rakyat, justru sibuk memainkan siasat masing-masing. Kata-katanya tenggelam seperti bisikan di tengah badai. Baik Pandawa maupun Kurawa.
Di lingkungan darah biru, kabar tentang kekosongan kas negara menjadi santapan empuk. Pandawa dan Kurawa berseteru di depan rakyat, pura-pura berdebat tentang cara menutup defisit. Pajak dinaikkan, tarif baru diumumkan, dan rakyat dibuat sibuk menghitung beras yang tersisa. Namun di balik tirai, obrolan mereka jauh berbeda.
“Kalau rakyat sibuk mengutuk pajak,” bisik Sengkuni pada Duryudana, “mereka tak akan sadar kita sedang menyusupkan pasal baru: pilkada langsung dihapus, semua kembali ke penunjukan istana.”
Pandawa pura-pura keberatan, Kurawa pura-pura setuju setengah hati, dua-duanya hanya bermain peran di panggung yang sama. Rakyat hanyalah penonton yang tiket masuknya dibayar dengan keringat dan beras.
Kurawa berbisik di antara mereka, “Biarkan saja. Kalau krisis makin parah, rakyat akan muak. Saat itulah kita tawarkan perbaikan… dengan syarat bupati dipilih langsung oleh Istana, bukan oleh rakyat. Semua akan kembali ke tangan kita.”
Sementara itu, Pandawa tak kalah licik. Yudhistira, yang kini mempersiapkan Sesaji Rajasuya, upacara megah untuk mengukuhkan dirinya sebagai raja tertinggi, melihat peluang emas.
“Krisis ini menguntungkan. Saat semua bupati sibuk memungut upeti, aku bisa meminta persembahan khusus untuk Rajasuya. Rakyat akan mengira itu demi kesucian negara. Padahal… ya, demi kejayaan Pandawa.”
Upacara Rajasuya pun berlangsung megah. Singgasana bertabur emas, kain sutra dari negeri seberang bergelantungan di balairung. Piring-piring perak berisi daging asap dan anggur merah disajikan untuk para bangsawan. Di luar gerbang, rakyat menunggu giliran membayar pajak dengan beras yang makin sedikit, sambil memandangi asap dari dapur istana yang baunya lebih kenyang daripada isi perut mereka.
Di balik layar, Pandawa dan Kurawa tersenyum tipis. Mereka tahu, setelah upacara ini, ketegangan akan meledak. Itulah yang mereka tunggu, alasan sempurna untuk memulai perang besar, yang kelak dikenal sebagai Bharatayudha.
“Saat itu, aku sudah di luar balairung, melihat rakyat mengantre bubur tipis di bawah hujan,” gumam Ekalaya. “Kenaikan pajak hanyalah pancingan. Di balik meja perundingan, ada agenda yang lebih licik daripada sekadar menguras lumbung rakyat.”
“Krisis pajak dan rajasuya ini ibarat asap tebal di medan perang yang membuat rakyat sibuk batuk, tak sempat melihat siapa yang menggeser bendera. Mereka dibuat pusing tujuh keliling memikirkan nasib tabungan, gaji, dan warung kreditnya. Sementara itu, para elit merapatkan barisan menghapus pilkada langsung. Ellit Pandawa dan Kurawa membungkusnya dengan dalih efisiensi, hemat biaya, dan stabilitas nasional. Saat rakyat sibuk protes pajak, mereka tak sadar hak memilih pemimpinnya sudah diambil.”
Kami berdua termenung.
Tiba-tiba saja kami dikagetkan dengan tiga serangkai yang selalu menguntit perjalanan penulis. Rupanya sedari tadi mereka serius mendengarkan cerita Ekalaya. Bagong yang saat ini jadi penjual singkong, langsung berkata dengan keras “Jadi, semua ini cuma permainan?” tanya Bagong.
“Iya, Gong,” jawab Ekalaya. “Pajak naik, rakyat menderita, tapi para ksatria itu cuma menunggu kita marah supaya mereka bisa rebut kuasa.”
Togog yang sedang sibuk menyantap pecel menimpali, “Namanya juga politik kerajaan. Kalau rakyat kenyang, mereka nggak punya alasan untuk ganti sistem. Kalau rakyat lapar, mereka bisa jadi pahlawan dadakan.”
Bilung mengangguk sambil menggigit ketela, “Pahlawan, tapi ongkosnya dibayar kita.”
“Kalau perang dimulai gara-gara pajak, berarti kita ini cuma kambing yang disuruh bayar karcis masuk rumah jagal.” ujar Bagong lirih
Bagong matanya menyipit. “Jadi gini mas Penulis… kisruh pajak ini sebenernya cuma pancingan. Pandawa sama Kurawa lagi adu akal buat satu tujuan: ngegulung Pilkada langsung. Biar balik lagi ke sistem titipan istana.”
Togog nyeletuk, “Lho, kalau gitu rakyat kalah sebelum nyalon, gong.”
Bilung ketawa miris. “Iya. Yang bayar pesta rakyat, yang duduk di kursi mereka. Dan rakyat? Dapat apa? Undangan buat ngibarin bendera pas acara syukuran.”
Penulis baru mau nyaut, tapi Ekalaya sudah bicara. Tatapannya menusuk, seperti memanah tanpa busur. “Tulis ini,” katanya pelan tapi tajam. “Tulis biar mereka ingat: pajak yang kau bayar itu nasi di piring anakmu. Suara yang kau punya bukan hadiah, tapi hak yang lahir dari keberanian. Kalau kau diam, mereka akan menghapusnya sambil tersenyum. Kalau kau bersuara, langit yang mereka pakai untuk menekanmu bisa kau guncang dari bumi.”
Bagong manggut-manggut sambil nyruput teh, pura-pura nggak paham. “Nah, kalau langitnya bocor, kita jual payung, ya?”
Togog dan Bilung tertawa hambar. Tawa yang nggak nyampe ke mata.
(Sibu Bayan)
Baca cerita selanjutnya (Sabha Agung Jana Nagari)

No comments:
Post a Comment