Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62

 Dongeng Sibu Bayan (#027)

(Pandawa)

Setelah bertemu dengan Wisanggeni, kini penulis sedikit dapat mengerti mengapa Pandawa sampai terjebak pada peristiwa dadu yang mempermalukan seluruh generasi Pandawa. Pedalangan wayang versi Jawa menampilkan peristiwa ini dengan judul ‘Pandawa Dadu’. Lakon yang mengkisahkan kekalahan telak Pandawa dari Kurawa, sehingga mereka harus hidup dalam pengasingan selama 13 tahun. Pandawa kehilangan segalanya.

Versi India maupun versi Jawa sama-sama menceritakan Raja Amarta, Sulung Pendawa, yaitu Puntodewa yang diajak bermain dadu oleh putra mahkota Hastina, Duryudana, atas undangan Prabu Drestarastra raja Hastina sekaligus ayah Duryudana. Pandawa dijebak oleh Sengkuni, paman Duryudana yang licik, yang menggunakan dadu curang. Dengan segala kenaifannya, Puntodewo mempertaruhkan kerajaannya, saudara-saudaranya, dirinya sendiri, bahkan Dewi Drupadi, istrinya. Semua berakhir dengan tragis.

Apakah benar demikian? Cerita Wisanggeni dan kisah yang penulis dapatkan saat di Lumajang sedinkit banyak dapat menguak tabir-tabir lain dalam kisah itu.

Ya, Penulis tiba di Kota Lumajang, nama yang tercatat di Prasasti Mula Malurung (1255 M) sebagai wilayah penting Singhasari; markas Patih Nambi saat membangkang Majapahit (1316 M); dan kelak jadi ladang transmigrasi Madura‑Mataram era kolonial. Sejarahnya tebal, jalan rayanya tipis.

Baru melintasi gerbang barat, ponsel bergetar, “Sy tgu di wrg pecel telo Mbok Waginah, ada yg blm kami ceritakan (Sengkuni dan rekan).” Pesan WA dari nomor +62xxx, aneh.

-0-

Warungnya lima belas langkah dari gapura Barat kota Lumajang.

Sengkuni menepuk meja bekas sambal pecel, mengusir tiga ekor lalat hijau.

“Sebelum kita bongkar aib Pandawa, tolong dicatat, Mas Penulis: di negeri ini hoaks dan kemustahilan bukan dosa, asal ditweet sebelum subuh.”
“Orang-orang bilang aku biang kerok. Padahal aku hanya menyusun strategi. Yang jalanin? Puntodewa. Yang nyengir waktu Drupadi diseret? Ya itu... pejabat moral, duduk bareng tapi diem semua.” (baca: Kata Sengkuni, Negara Rusak Bukan KarenaSaya Saja)

Bhisma mengangguk lirih, kumisnya mengambang di uap wedang kopi. “Aku bersumpah menegakkan dharma, tapi tiap kali bicara di DPR, maksudku, Bale Kuru, mikrofon mendadak mati. Sakral betul sensor itu.”

Destarata mencondongkan telinga. “Kata rakyat, aku buta hati. Padahal mataku cuma minus lima belas, tetap cukup untuk membaca press‑release istana.”

Gandari menepuk perban matanya. “Kalau aku, sengaja gelap mata biar sabar. Tapi sabarku habis tiap lihat pejabat pamer derma di TikTok.”

Lalu sebuah motor matic ngebut, parkir serampangan. Pengendaranya, berhelm ojol, membuka masker, ternyata Ibu Kunti, penjual nasi Lodho (baca: Nasi Lodho Ibu Kunti di Negeri +62

“Maaf telat. Ada siaran langsung curhatan influencer soal bansos. FYP banget,” ujarnya, duduk tanpa pesan apa‑apa karena sudah di‑endorse mbok Waginah.

Sengkuni menepuk tangan, “Nah, kru inti lengkap. Mari kita audit ulang tragedi dadu itu, versi korban, pelaku, penonton, dan buzzer‑nya!”

-0-

Sengkuni menarik napas dalam-dalam, menatap panci bumbu pecel telo seakan di sanalah kebenaran tersembunyi. Kemudian dia mulai bicara.

Bhisma mengangkat telunjuk, seperti hendak ceramah atau bersumpah lagi. Tapi jari itu cuma dipakai buat mengusir nyamuk.“Kalau bicara dharma, memang benar Pandawa dijebak. Tapi jujur saja, Puntodewa itu...” Ia memandang penulis, serius. “...terlalu percaya pada ‘sistem’. Katanya, kalau aturan kerajaan membolehkan, ya ikut saja. Kayak orang sekarang yang bilang: ‘Saya cuma jalankan regulasi, kok.’”

Destarata tertawa getir, “Kau pikir aku tak tahu anakku, si Duryud itu licik? Tapi waktu itu, suara rakyat bilang Pandawa sombong. Dibilang ‘sok bersih’, ‘kelompok elit moral’. Makanya, biar adil, aku bilang: ayo main dadu. Rakyat senang, konten naik. Demokrasi jalan.”Ia menyeka mata dengan ujung jariknya yang keriput. “Aku buta, iya. Tapi aku tak tuli dari polling.”

Gandari bersuara pelan, “Dulu kupikir menutup mata akan menghentikan semua konflik. Tapi sekarang aku sadar... banyak yang menutup mata bukan karena ingin damai, tapi karena takut kehilangan view.”

Kunti menimpali, dengan gaya emak selebgram, “Duh, sayah tuh bingung yaaa... Puntodewa tuh anak baik. Tapi dia itu kayak aktivis kampus yang percaya semua orang akan main bersih di pilpres. Lugu. Gampang dikasih harapan palsu. Udah jelas di meja itu, yang dia lawan bukan cuma dadu curang. Tapi algoritma.”

Sengkuni tertawa, “Itu dia! Dadu bukan masalah. Dadu itu hanya alat. Yang lebih bahaya tuh narasi. Kau tahu nggak, Mas Penulis? Setelah kejadian itu, banyak rakyat Hastina bilang Pandawa kalah karena ‘kurang bersyukur’. Ada juga yang bilang: ‘Itu karma! Mereka kurang sedekah online!’ Hahaha!”

Bhisma mengangkat cangkir, sekarang isinya tinggal ampas kopi. “Zaman dulu, aku pikir sumpah adalah senjata. Ternyata, di zaman sekarang, sumpah itu konten. Kalau viral, baru dianggap suci.”

Destarata tersenyum getir, “Semua orang sekarang main peran. Di atas panggung, semua ngaku suci. Di belakang layar, semua pegang skrip yang sama ‘jangan sampai malu’. Bahkan kalau harus curang.”

Penulis mencatat semua, lalu menatap wajah-wajah sepuh di depannya. Warung pecel telo itu seperti meja pengadilan terbuka, di mana yang diadili bukan pelaku, tapi kenaifan kolektif.

Di luar, truk angkutan tebu melintas. Klakson panjang.

Kunti membuka ponsel, scrolling, “Ada livestream Kresna barusan. Dia bilang semua ini bagian dari rencana besar Tuhan.”

Gandari mendengus, “Kalau rencana besar Tuhan bentuknya kayak ini, mungkin Dia butuh manajer komunikasi baru.”

Sengkuni berdiri, melipat lengan jubahnya, “Sudah cukup. Malam nanti, aku harus tampil di podcast 'Politik Kita Gitu Loh' bahas ‘Kenapa Puntodewa Gagal Branding’. Tapi ingat ya, Mas Penulis... jangan tulis ini seolah kami jahat. Kami cuma... lebih dulu paham bahwa kejujuran tidak bisa monetisasi.”

-0-

Sengkuni menyalakan proyektor mini dari bawah meja. Di tembok warung, bayangan Puntodewa duduk di meja dadu. Di depannya: Duryudana, Sengkuni, dan dua makhluk anonim berkostum mirip warganet nyinyir, bertopeng QR Code dan baju "follower loyal".

“Selamat datang di Sidang Terbuka Judi Dadu Kerajaan. Sumpah tidak berlaku. Akal sehat dicadangkan. Yang boleh bicara hanya framing,” ucap Sengkuni sambil menunjuk pointer laser ke papan skenario.

Bhisma mengetuk botol kecap seperti palu sidang. “Silakan saksi bicara.”

Muncul sosok Puntodewa digital, tapi versinya aneh: berkumis rapi, mengenakan jas, dan menyapa: "Salam sejahtera netizen semua, mari kita jaga ruang publik dengan bijak."

Semua tertawa. Gandari sampai tersedak rempeyek.

Destarata yang hanya bisa mendengarpun juga turut berkomentar. “Itu anak Pandu atau duta kampanye toleransi abal-abal?”

-0-

Tiba‑tiba listrik padam. Proyektor mati. Semua hening, hanya terdengar suara cengkerik dan kipas warung berderit pelan.

Dari arah dapur muncul cahaya senter kecil. Seorang lelaki gempal, pendek berperut buncit melangkah santai, menenteng centong sayur lodeh seperti tongkat komando. Wajahnya lugu, matanya sipit setengah ngantuk, tapi sinarnya tajam, ya Bagong lagi…., yang seperti biasa langsung komen.

“Lho, lho… ngumpul kok gelap‑gelapan? Ini warung pecel atau markas tim sukses gagal?” ucapnya sambil menyeruput kuah lodeh dari centong.

Ia berdiri di tengah warung, lalu menatap ke arah layar proyektor yang mati.

“Kalian duduk enak, ketawa sambil ngunyah kerupuk, nonton sejarah kayak sinetron rerun. Tapi nggak ada satu pun yang bertanya, kenapa Puntodewa mau main dadu?”

Bagong berdiri, masih menggenggam centong seperti tongkat komando. Matanya menyipit, bukan karena marah, tapi karena muak.

“Apa karena dia bodoh? Nggak. Puntodewa itu pinter. Terlalu pinter sampai lupa, bahwa orang jahat itu nggak main di aturan, mereka bikin aturan.”

Ia berhenti sebentar, menatap ke luar warung, ke jalanan Lumajang yang lengang.

“Apa karena dia serakah? Juga bukan. Puntodewa malah paling alim, paling kalem. Tapi itu dia... dia terlalu yakin bahwa sistem bakal adil sama orang baik. Kayak orang bersih yang ikut lelang proyek, terus heran kenapa yang menang malah perusahaan pinjol.”

Ia meletakkan centong ke meja. Suara logam beradu dengan kayu memecah hening. Bhisma menunduk. Destarata menarik napas. Gandari pura-pura memeriksa perban mata. Sengkuni? Tersenyum kecut sambil mengaduk sambal.

“Kalian pikir Puntodewa korban? Bisa jadi. Tapi sebelum dia jadi korban, dia juga sepakat ikut main. Dia pikir, kalau nggak melawan, akan dibilang pengecut. Kalau ikut, siapa tahu bisa menang dan benahi dari dalam. Naif bin hipokrit…..’”

Bagong tertawa pelan, seperti mengejek harapan yang kelewat polos.

“Benahi dari dalam? Yang bener aja…. kalau mainnya aja di meja penuh tipu-tipu, yang masuk malah ikut ketarik ke dasar. Puntodewa itu bukan kalah... dia tenggelam. Dan kalian semua… diem aja. Bahkan mungkin, kalian tepuk tangan.”

Ia memandang Bhisma, “Kakek, kau bersumpah demi dharma. Tapi waktu Drupadi dipermalukan, kau bilang: ‘Saya netral.’ Netral dari akal sehat?”

Ia berpaling ke Gandari, “Tante, kau tutup mata demi cinta. Tapi akhirnya kau juga tutup mulut demi kenyamanan.”

Dan kau Destarata, “Bapak... kau bilang ingin adil, tapi adil versi siapa? Adil yang penting anak sendiri tetap duduk di singgasana?”

Lalu Bagong menatap Kunti, dengan nada paling pelan, seperti anak menegur ibunya. “Ibu... anak-anakmu dihancurkan dengan alasan ‘aturan main’, dan kau malah sibuk ngurus citra keluarga.”

Hening…., tiba-tiba Bagong menepuk meja dengan keras. Semua yang hadir sampai terkejut.

“Puntodewa masuk ke meja dadu karena dia pikir, kalau sistemnya berjalan, pasti kebenaran menang. Tapi dia lupa... di dunia yang dipenuhi sandiwara, yang menang bukan yang benar, tapi yang pintar mengatur panggung.”

Lalu ia menatap Penulis.

“Kau yang paling bahaya. Karena kau masih bisa milih, mau nulis ini buat lucu-lucuan, atau mau nulis buat ngasih cermin. Jangan cuma bikin narasi satir yang bikin ngakak. Karena kadang, di balik tawa itu, ada luka yang belum bisa disembuhkan.”

Bagong bergegas mengambil helm, memasangnya pelan.

“Tulis ini. Kalau nggak berani, ya nggak apa-apa. Tapi jangan pura-pura nggak tahu.”

Bagong melangkah keluar warung. Suara klakson truk tebu menggema. Di kejauhan, langit Lumajang perlahan gelap, tapi tidak sepenuhnya pekat, masih ada sisa cahaya dari barat, seperti bekas matahari yang enggan padam.

Penulis menunduk. Untuk pertama kalinya, tak ada yang perlu dicatat, selain rasa malu.

(Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya: Memoar Penyesalan Puntodewo, Jalan Tol Menuju Karma

No comments:

Post a Comment