Dongeng Sibu Bayan (#027)
Setelah bertemu
dengan Wisanggeni, kini penulis sedikit dapat mengerti mengapa Pandawa sampai
terjebak pada peristiwa dadu yang mempermalukan seluruh generasi Pandawa. Pedalangan
wayang versi Jawa menampilkan peristiwa ini dengan judul ‘Pandawa Dadu’. Lakon
yang mengkisahkan kekalahan telak Pandawa dari Kurawa, sehingga mereka harus hidup
dalam pengasingan selama 13 tahun. Pandawa kehilangan segalanya.
Versi India maupun
versi Jawa sama-sama menceritakan Raja Amarta, Sulung Pendawa, yaitu Puntodewa yang
diajak bermain dadu oleh putra mahkota Hastina, Duryudana, atas undangan Prabu
Drestarastra raja Hastina sekaligus ayah Duryudana. Pandawa dijebak oleh Sengkuni,
paman Duryudana yang licik, yang menggunakan dadu curang. Dengan segala
kenaifannya, Puntodewo mempertaruhkan kerajaannya, saudara-saudaranya, dirinya
sendiri, bahkan Dewi Drupadi, istrinya. Semua berakhir dengan tragis.
Apakah benar
demikian? Cerita Wisanggeni dan kisah yang penulis dapatkan saat di Lumajang
sedinkit banyak dapat menguak tabir-tabir lain dalam kisah itu.
Ya, Penulis tiba
di Kota Lumajang, nama yang tercatat di Prasasti Mula Malurung (1255 M) sebagai
wilayah penting Singhasari; markas Patih Nambi saat membangkang Majapahit
(1316 M); dan kelak jadi ladang transmigrasi Madura‑Mataram era kolonial.
Sejarahnya tebal, jalan rayanya tipis.
Baru melintasi gerbang barat, ponsel bergetar, “Sy tgu di wrg pecel telo Mbok Waginah, ada yg blm kami ceritakan (Sengkuni dan rekan).” Pesan WA dari nomor +62xxx, aneh.
-0-
Warungnya lima belas langkah dari gapura Barat kota Lumajang.
Sengkuni menepuk
meja bekas sambal pecel, mengusir tiga ekor lalat hijau.
“Sebelum kita bongkar aib Pandawa, tolong dicatat, Mas Penulis: di negeri ini hoaks dan kemustahilan bukan dosa, asal ditweet sebelum subuh.”
“Orang-orang bilang aku biang kerok. Padahal aku hanya menyusun strategi. Yang jalanin? Puntodewa. Yang nyengir waktu Drupadi diseret? Ya itu... pejabat moral, duduk bareng tapi diem semua.” (baca: Kata Sengkuni, Negara Rusak Bukan KarenaSaya Saja)
Bhisma mengangguk
lirih, kumisnya mengambang di uap wedang kopi. “Aku bersumpah menegakkan
dharma, tapi tiap kali bicara di DPR, maksudku, Bale Kuru, mikrofon mendadak
mati. Sakral betul sensor itu.”
Destarata
mencondongkan telinga. “Kata rakyat, aku buta hati. Padahal mataku cuma minus
lima belas, tetap cukup untuk membaca press‑release istana.”
Gandari menepuk
perban matanya. “Kalau aku, sengaja gelap mata biar sabar. Tapi sabarku habis
tiap lihat pejabat pamer derma di TikTok.”
Lalu sebuah motor
matic ngebut, parkir serampangan. Pengendaranya, berhelm ojol, membuka masker, ternyata
Ibu Kunti, penjual nasi Lodho (baca: Nasi
Lodho Ibu Kunti di Negeri +62
“Maaf telat. Ada
siaran langsung curhatan influencer soal bansos. FYP banget,” ujarnya,
duduk tanpa pesan apa‑apa karena sudah di‑endorse mbok Waginah.
Sengkuni menepuk
tangan, “Nah, kru inti lengkap. Mari kita audit ulang tragedi dadu itu, versi
korban, pelaku, penonton, dan buzzer‑nya!”
-0-
Sengkuni menarik
napas dalam-dalam, menatap panci bumbu pecel telo seakan di sanalah kebenaran
tersembunyi. Kemudian dia mulai bicara.
Bhisma mengangkat
telunjuk, seperti hendak ceramah atau bersumpah lagi. Tapi jari itu cuma
dipakai buat mengusir nyamuk.“Kalau bicara dharma, memang benar Pandawa
dijebak. Tapi jujur saja, Puntodewa itu...” Ia memandang penulis, serius. “...terlalu
percaya pada ‘sistem’. Katanya, kalau aturan kerajaan membolehkan, ya ikut
saja. Kayak orang sekarang yang bilang: ‘Saya cuma jalankan regulasi, kok.’”
Destarata tertawa getir,
“Kau pikir aku tak tahu anakku, si Duryud itu licik? Tapi waktu itu, suara
rakyat bilang Pandawa sombong. Dibilang ‘sok bersih’, ‘kelompok elit moral’.
Makanya, biar adil, aku bilang: ayo main dadu. Rakyat senang, konten naik.
Demokrasi jalan.”Ia menyeka mata dengan ujung jariknya yang keriput. “Aku buta,
iya. Tapi aku tak tuli dari polling.”
Gandari bersuara
pelan, “Dulu kupikir menutup mata akan menghentikan semua konflik. Tapi
sekarang aku sadar... banyak yang menutup mata bukan karena ingin damai, tapi
karena takut kehilangan view.”
Kunti menimpali,
dengan gaya emak selebgram, “Duh, sayah tuh bingung yaaa... Puntodewa tuh anak
baik. Tapi dia itu kayak aktivis kampus yang percaya semua orang akan main
bersih di pilpres. Lugu. Gampang dikasih harapan palsu. Udah jelas di meja itu,
yang dia lawan bukan cuma dadu curang. Tapi algoritma.”
Sengkuni tertawa, “Itu
dia! Dadu bukan masalah. Dadu itu hanya alat. Yang lebih bahaya tuh narasi. Kau
tahu nggak, Mas Penulis? Setelah kejadian itu, banyak rakyat Hastina bilang
Pandawa kalah karena ‘kurang bersyukur’. Ada juga yang bilang: ‘Itu karma!
Mereka kurang sedekah online!’ Hahaha!”
Bhisma mengangkat
cangkir, sekarang isinya tinggal ampas kopi. “Zaman dulu, aku pikir sumpah
adalah senjata. Ternyata, di zaman sekarang, sumpah itu konten. Kalau viral,
baru dianggap suci.”
Destarata
tersenyum getir, “Semua orang sekarang main peran. Di atas panggung, semua
ngaku suci. Di belakang layar, semua pegang skrip yang sama ‘jangan sampai
malu’. Bahkan kalau harus curang.”
Penulis mencatat
semua, lalu menatap wajah-wajah sepuh di depannya. Warung pecel telo itu
seperti meja pengadilan terbuka, di mana yang diadili bukan pelaku, tapi kenaifan
kolektif.
Di luar, truk
angkutan tebu melintas. Klakson panjang.
Kunti membuka
ponsel, scrolling, “Ada livestream Kresna barusan. Dia bilang semua ini
bagian dari rencana besar Tuhan.”
Gandari mendengus,
“Kalau rencana besar Tuhan bentuknya kayak ini, mungkin Dia butuh manajer
komunikasi baru.”
Sengkuni berdiri,
melipat lengan jubahnya, “Sudah cukup. Malam nanti, aku harus tampil di podcast
'Politik Kita Gitu Loh' bahas ‘Kenapa Puntodewa Gagal Branding’.
Tapi ingat ya, Mas Penulis... jangan tulis ini seolah kami jahat. Kami cuma...
lebih dulu paham bahwa kejujuran tidak bisa monetisasi.”
-0-
Sengkuni
menyalakan proyektor mini dari bawah meja. Di tembok warung, bayangan Puntodewa
duduk di meja dadu. Di depannya: Duryudana, Sengkuni, dan dua makhluk anonim
berkostum mirip warganet nyinyir, bertopeng QR Code dan baju "follower
loyal".
“Selamat datang di
Sidang Terbuka Judi Dadu Kerajaan. Sumpah tidak berlaku. Akal sehat
dicadangkan. Yang boleh bicara hanya framing,” ucap Sengkuni sambil menunjuk
pointer laser ke papan skenario.
Bhisma mengetuk
botol kecap seperti palu sidang. “Silakan saksi bicara.”
Muncul sosok
Puntodewa digital, tapi versinya aneh: berkumis rapi, mengenakan jas, dan
menyapa: "Salam sejahtera netizen semua, mari kita jaga ruang publik
dengan bijak."
Semua tertawa.
Gandari sampai tersedak rempeyek.
Destarata yang
hanya bisa mendengarpun juga turut berkomentar. “Itu anak Pandu atau duta
kampanye toleransi abal-abal?”
-0-
Tiba‑tiba listrik
padam. Proyektor mati. Semua hening, hanya terdengar suara cengkerik dan kipas
warung berderit pelan.
Dari arah dapur
muncul cahaya senter kecil. Seorang lelaki gempal, pendek berperut buncit
melangkah santai, menenteng centong sayur lodeh seperti tongkat komando.
Wajahnya lugu, matanya sipit setengah ngantuk, tapi sinarnya tajam, ya Bagong
lagi…., yang seperti biasa langsung komen.
“Lho, lho… ngumpul
kok gelap‑gelapan? Ini warung pecel atau markas tim sukses gagal?” ucapnya
sambil menyeruput kuah lodeh dari centong.
Ia berdiri di
tengah warung, lalu menatap ke arah layar proyektor yang mati.
“Kalian duduk
enak, ketawa sambil ngunyah kerupuk, nonton sejarah kayak sinetron rerun. Tapi
nggak ada satu pun yang bertanya, kenapa Puntodewa mau main dadu?”
Bagong berdiri,
masih menggenggam centong seperti tongkat komando. Matanya menyipit, bukan
karena marah, tapi karena muak.
“Apa karena dia
bodoh? Nggak. Puntodewa itu pinter. Terlalu pinter sampai lupa, bahwa orang
jahat itu nggak main di aturan, mereka bikin aturan.”
Ia berhenti
sebentar, menatap ke luar warung, ke jalanan Lumajang yang lengang.
“Apa karena dia
serakah? Juga bukan. Puntodewa malah paling alim, paling kalem. Tapi itu dia...
dia terlalu yakin bahwa sistem bakal adil sama orang baik. Kayak orang bersih
yang ikut lelang proyek, terus heran kenapa yang menang malah perusahaan
pinjol.”
Ia meletakkan
centong ke meja. Suara logam beradu dengan kayu memecah hening. Bhisma
menunduk. Destarata menarik napas. Gandari pura-pura memeriksa perban mata.
Sengkuni? Tersenyum kecut sambil mengaduk sambal.
“Kalian pikir
Puntodewa korban? Bisa jadi. Tapi sebelum dia jadi korban, dia juga sepakat
ikut main. Dia pikir, kalau nggak melawan, akan dibilang pengecut. Kalau ikut,
siapa tahu bisa menang dan benahi dari dalam. Naif bin hipokrit…..’”
Bagong tertawa
pelan, seperti mengejek harapan yang kelewat polos.
“Benahi dari
dalam? Yang bener aja…. kalau mainnya aja di meja penuh tipu-tipu, yang masuk
malah ikut ketarik ke dasar. Puntodewa itu bukan kalah... dia tenggelam. Dan
kalian semua… diem aja. Bahkan mungkin, kalian tepuk tangan.”
Ia memandang
Bhisma, “Kakek, kau bersumpah demi dharma. Tapi waktu Drupadi dipermalukan, kau
bilang: ‘Saya netral.’ Netral dari akal sehat?”
Ia berpaling ke
Gandari, “Tante, kau tutup mata demi cinta. Tapi akhirnya kau juga tutup mulut
demi kenyamanan.”
Dan kau Destarata,
“Bapak... kau bilang ingin adil, tapi adil versi siapa? Adil yang penting anak
sendiri tetap duduk di singgasana?”
Lalu Bagong menatap
Kunti, dengan nada paling pelan, seperti anak menegur ibunya. “Ibu...
anak-anakmu dihancurkan dengan alasan ‘aturan main’, dan kau malah sibuk ngurus
citra keluarga.”
Hening…., tiba-tiba
Bagong menepuk meja dengan keras. Semua yang hadir sampai terkejut.
“Puntodewa masuk
ke meja dadu karena dia pikir, kalau sistemnya berjalan, pasti kebenaran menang.
Tapi dia lupa... di dunia yang dipenuhi sandiwara, yang menang bukan yang
benar, tapi yang pintar mengatur panggung.”
Lalu ia menatap
Penulis.
“Kau yang paling
bahaya. Karena kau masih bisa milih, mau nulis ini buat lucu-lucuan, atau mau
nulis buat ngasih cermin. Jangan cuma bikin narasi satir yang bikin ngakak.
Karena kadang, di balik tawa itu, ada luka yang belum bisa disembuhkan.”
Bagong bergegas
mengambil helm, memasangnya pelan.
“Tulis ini. Kalau
nggak berani, ya nggak apa-apa. Tapi jangan pura-pura nggak tahu.”
Bagong melangkah
keluar warung. Suara klakson truk tebu menggema. Di kejauhan, langit Lumajang
perlahan gelap, tapi tidak sepenuhnya pekat, masih ada sisa cahaya dari barat,
seperti bekas matahari yang enggan padam.
Penulis menunduk. Untuk pertama kalinya, tak ada yang perlu dicatat, selain rasa malu.
(Sibu Bayan)
Cerita selanjutnya: Memoar Penyesalan Puntodewo, Jalan Tol Menuju Karma
No comments:
Post a Comment