Bambang Irawan, Footnote Jurnal Scopus Prof. Arjuna

 Dongeng Sibu Bayan (#031)

(ditulis atas ide sahabat penulis, Choirul Muna yang sehari-hari menjadi tempat curhat petani)

(Bambang Irawan)

Setelah ngobrol semalaman dengan Togog dan Bilung tentang Pandawa Dadu hingga Kresna yang ditolak Hastina, penulis disarankan untuk mengunjungi desa Tancak di lereng Gunung Argopuro. “Kalau mau tahu kenapa Pandawa sekarang sibuk bikin webinar dan bukan menanam padi, ke sanalah,” kata Bilung sambil menghembuskan asap rokok. Togog hanya mengangguk dengan senyum penuh misteri. “Kamu akan menemui realita Pandawa yang selama ini dianggap golongan putih,” katanya, seolah Pandawa adalah spesies langka yang butuh klarifikasi. (baca: Dadu Pangan, Werkudoro Muntab dan Petani Ter'Nerf' dan Food Estate Hastina Menolak Kresna dan Rakyat)

“Kalau kamu beruntung,” kata Togog sambil ngupil, “kamu bisa melihat petani yang lahir dari footnote jurnal scopus.”

“Kalau kamu apes,” timpal Bilung, “dia bisa nyangka kamu mau wawancara buat akreditasi kampus.”

Rasa penasaran membuat penulis menuruti saran tersebut. Desa Tancak tampak seperti brosur yang lupa dilipat: padi menguning, anak-anak bermain lumpur, dan hutan di kejauhan dikelilingi kabut pagi. Semuanya tampak ‘autentik’ seperti yang sering digambarkan dalam laporan penelitian ketahanan pangan berbasis lokal. Di sudut-sudut desa ada papan kayu bertuliskan ekowisata, mengarahkan pengunjung pada air terjun, situs batu, atau tempat mandi kerbau.

Di sinilah, di antara lanskap yang sudah lama dijadikan bahan tayangan dokumenter dan jurnal ilmiah bertema “desa lestari”, Togog mengarahkan penulis untuk menemui seorang petani muda yang katanya pernah jadi bahan seminar nasional tanpa pernah diundang. Namanya Bambang Irawan.

“Sampeyan wartawan? Peneliti? Youtuber? Atau sekadar nyari footage buat project tugas akhir?” tanyanya curiga, sambil menanam bibit cabai seperti sedang menanam kecurigaan.

“Saya penulis bebas,” jawabku.

“Wah, lebih bahaya,” katanya cepat. “Biasanya yang bebas itu bebas nilai dan bebas tanggung jawab.”

Penulis tertawa kikuk, “Pak Togog minta saya menemui Mas Bambang Irawan”. Setelah mendengar nama ‘Togog’, dia senyum sumringah dan jauh lebih ramah.

-0-

Kami duduk di gubuk reot sambil menyeruput teh tanpa gula. Angin sore berembus pelan, membawa bau jerami dan sedikit kelelahan yang tak bisa disebutkan.

Irawan mendadak diam lama. Lalu berkata, “Mas, sampeyan mau saya ceritain kenapa saya ini anak paling absurd dari Pandawa?”

Loh…penulis tercenung, namun siap mendengar apa saja, bahkan kalau dia ngaku anak hasil persilangan antara proposal penelitian dan kebijakan lokal.

“Ibu saya dulu dipanggil Raksasi,” katanya. “Bukan karena galak, tapi karena besar hati. Tinggal di dusun paling atas, hidup dari jamu dan jagung. Aman-aman saja, sampai suatu hari datang laki-laki berjubah lapangan dan membawa formulir persetujuan penelitian.”

Aku nyaris tersedak kopi robusta yang disuguhkan.

“Namanya Arjuna. Tapi dia lebih sering memperkenalkan diri sebagai Visiting Researcher dari Pandawa Institute. Dia datang bukan bawa cinta, tapi bawa kuesioner.”

Penulis mendengarkan dengan cermat.

“Awalnya ibu saya disuruh cerita soal waktu tanam, lalu soal mimpi-mimpi petani, lalu soal filosofi daun singkong. Katanya semua ini penting buat ‘pendekatan holistik’. Ya sudah, ibu saya percaya. Wong diajak jalan-jalan ke hutan, makan bareng di ladang, bahkan sempat diajak tidur di saung riset.”

“Ibu saya juga ditanya-tanyain soal ritual tanam jagung. Katanya mau dilestarikan. Tapi setelah ditulis, nama ritualnya diganti jadi ‘Pesta Lumbung’ biar enak didengar di konferensi,” tambah Irawan sambil nyengir. “Padahal itu cuma syukuran sederhana, sama makan singkong dan minum air kelapa.”

Irawan tertawa. Getir.

“Sembilan bulan kemudian, lahirlah saya. Ayah saya? Sudah balik ke entah kemana, bawa jurnal ilmiah dan gelar profesor doktor. Judul jurnalnya panjang: ‘Potensi Genetik Lokal dalam Ketahanan Agraris Sub-Tropis Lereng Selatan Argopuro’. Ibu saya disebut sebagai ‘Subjek R’. Saya? Nggak disebut. Mungkin saya cuma lampiran yang nggak dimuat karena keterbatasan halaman.”

Ia menyodorkan fotokopi lusuh. Sebuah artikel jurnal, berbahasa Inggris yang berat seperti pupuk bersubsidi yang tidak kunjung datang.

“Itu satu-satunya warisan ayah saya,” katanya. “Bukan tanah, bukan nama, tapi impact factor dan indeks scopus.”

“Jadi kalau nanti ada yang tanya saya anak siapa,” kata Irawan sambil berdiri, “jawab saja, anak dari kutipan jurnal scopus yang tak pernah dikonfirmasi.”

-0-

Kami menyusuri pematang. Di kanan, sawah penuh ilalang. Di kiri, kebun cabai yang hidup segan mati tak diajak rembukan.

“Lha ini, kenapa sawahnya nggak ditanami?” tanyaku.

“Eksperimen juga,” jawabnya. “Saya pengen tahu seberapa lama petani bisa bertahan hidup dengan pujian tanpa bantuan.”

Kami berhenti di sebuah gubuk. Ada papan kecil tergantung di dinding: “Zona Observasi Ketahanan Pangan Mandiri.”

“Itu siapa yang pasang?”

“Mahasiswa magang,” jawabnya datar. “Tahun lalu. Bikin vlog, minta wawancara, terus menghilang seperti ayah saya.”

Penulis mulai paham: di desa ini, dokumentasi lebih sering datang daripada pupuk, dan kamera lebih rajin mampir ketimbang petugas penyuluh.

“Saya pernah dapat penghargaan lho,” lanjut Irawan. “Katanya saya petani muda inspiratif. Dapat piagam. Tapi waktu saya tanya, bisa ditukar pupuk subsidi nggak? Mereka bilang, ‘ini simbolik’. Ya sudah, saya pakai buat ngusir tikus.”

Tiba-tiba suara dengung terdengar dari langit. Sebuah drone melintas, berputar-putar seperti nyamuk digital.

“Itu dari siapa?” tanya penulis.

“Entahlah. Mungkin dari kementerian. Atau kampus. Atau anak SMA yang tugasnya kebanyakan gaya.”

“Sampeyan nggak marah dijadikan objek pengamatan?”

Irawan menatap langit. “Marah capek, Mas. Kami ini bukan petani. Kami ini dataset hidup. Hidup di desa, dicatat di kota, dimanfaatkan di atas, dibuang di bawah.”

“Lalu kenapa tetap bertani?”

“Karena nggak bisa jadi dosen. Gelar saya cuma: SD lulus nyaris.”

Penulis ingin tertawa, tapi yang keluar hanya angin dari napas. Di desa ini, ironi tumbuh subur. Seperti rumput yang tak pernah diminta, tapi selalu datang.

“Oh ya mas penulis, malam ini nginap saja disini, ini pesan Pak Dhe Togog”, lanjut dia sambil berharap

Malam ini penulis putuskan untuk menginap di gubuk anak Arjuna ini.

-0-

Keesokan paginya, suasana desa Tancak mendadak ramai. Ada mobil minibus berwarna silver parkir di depan balai desa. Stiker di kacanya: “Program Inovasi Pangan Berbasis Lokal – Fase IV.” Dari dalam keluar lima orang: dua pakai rompi berlogo lembaga riset, satu bawa tripod, dua lainnya sibuk mengatur posisi kamera.

“Itu mereka,” kata Irawan tenang, sambil menyeruput kopi pahit dari batok kelapa. “Tim yang datang tiap semester. Ganti nama program, tapi wajahnya itu-itu juga.”

Penulis berdiri canggung. Satu dari mereka menghampiri kami.

“Mas! Wah, ini dia! Petani muda inspiratif. Boleh ya, kita ambil footage panen?”

Irawan menunjuk sawah ilalang. “Silakan, panennya bebas. Yang ada cuma rumput dan harapan.”

“Wah, lucu ya! Natural banget. Ini yang disebut ketahanan adaptif. Bisa kami wawancara sebentar?”

Irawan tersenyum. “Tentu. Tapi saya juga mau wawancara balik.”

“Eh?”

“Apa kabar ayah saya? Namanya Arjuna. Gelarnya panjang. Waktu kecil saya pikir itu alamat.”

Para peneliti saling pandang. Satu dari mereka buru-buru membuka tablet, pura-pura baca data.

“Dulu ibu saya bagian dari riset Fase I. Mungkin ada di laporan baseline kalian. Judulnya ‘Subjek R’. Dulu tempat ini dianggap ‘situs potensial’. Tapi yang potensial hilang semua. Tinggal kami yang jadi bahan tayangan dokumenter.”

Salah satu dari mereka tertawa gugup. “Hehe, ini bagian dari pemberdayaan, Mas. Kita ingin narasi dari bawah…”

“Bawah apanya? Kalian datang bawa drone, bukan cangkul.”

Irawan lalu mengeluarkan piagam penghargaan dari kantong plastik, dilaminating seadanya, dan menggantungnya di tali jemuran.

“Silakan syuting. Saya mau kasih visual, ini simbol ketahanan pangan berbasis pujian.”

“Boleh kita ambil angle lain?” tanya si kameramen.

“Boleh. Tapi jangan lupa ambil footage saya ngusir tikus pakai ini,” katanya sambil mengibas-ngibaskan piagam itu seperti bendera kecil di tengah bencana.

Peneliti terdiam. Beberapa mundur perlahan. Satu tetap rekam diam-diam.

“Kami pamit dulu, Mas,” kata yang paling senior. “Semoga bisa bersinergi lain waktu.”

“Semoga,” kata Irawan. “Dan semoga kalian dapat indeks sitasi yang memuaskan. Jangan lupa tulis, responden tersenyum karena sudah pasrah.”

Setelah mereka pergi, Irawan kembali ke sawah. Ia menyebar benih jagung, pelan-pelan, seperti menanam ulang harga diri.

“Sampeyan mau bantu?” tanyanya padaku.

Penulis mengangguk, lalu mengambil cangkul. Di tempat ini, mungkin bantuan paling jujur bukan wawancara, tapi ikut mencangkul sepetak tanah, dan berhenti mengutip sebelum benar-benar mendengarkan.

(Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya : Pandawa Tepa Kutha: Pupuk Palsu dan Panen Pupus di Negeri Wiratha



No comments:

Post a Comment