Dongeng Sibu Bayan (#006)
Bangun pagi ini terasa segar karena udara sejuk Pacitan. Penulis berkemas hendak meninggalkan losmen untuk melanjutkan perjalanan. Banyuwangi masih jauh, kalau jalanan lancar, mungkin malam nanti baru sampai. Penulis memutuskan akan menyusuri jalur selatan agar bisa singgah di Dongko, Trenggalek sesuai pesan dari Kyai Yamawidura. Sebelum berpisah di perbatasan Wonosari dan Wonogiri, beliau sempat menitipkan surat untuk Resi Bhisma yang tidak bisa penulis tolak, meski ini akan menghambat perjalanan penulis. (baca: Ngopi Bareng Kyai Yamawidura: Curhat Kutukan dan Kekuasaan)
Di Dongko, penulis menemui Resi Bhisma di pondok sederhana dengan warung alat pertanian di sebelahnya. Rupanya sejak diturunkan kembali ke negeri +62, Resi Bhisma memilih jadi pedagang alat pertanian untuk dharmanya, alih-alih menjadi guru dan penasehat istana. Beliau menyambut penulis dengan senyum yang tulus, khas orang tua yang bijak, namun tetap dengan sorot mata yang tajam. Penulis dipersilakan singgah di pondoknya, tak lupa beliau menyuguhkan kopi dan singkong goreng.
Setelah membaca surat itu dengan pelan dan penuh
makna, Resi Bhisma melipat kertasnya kembali. Ia menatap ke arah luar jendela,
ke pepohonan yang diam tertimpa cahaya pagi. Suasana hening sesaat, hanya
terdengar detak waktu dan suara sendok kecil yang mengaduk kopi di cangkir
tanah liat.
“Berceritalah untuk kegetiran kita bersama…” ucapnya, seperti membacakan mantra lama yang hanya dikenal oleh jiwa-jiwa yang pernah patah oleh sejarah. Rupanya hanya kalimat itu yang ditulis dalam surat Kyai Yamawidura.
Ia menyeruput kopi, lalu mulai bicara, tidak dengan terburu-buru, tetapi dengan ritme yang membuat waktu seakan melambat.