Dursasana, Memoar Salah Asuhan

 Dongeng Sibu Bayan (#004)

(Dursasana)

Tidak terasa, perjalanan ini sudah memasuki kota Pacitan, kota kecil yang melahirkan tokoh besar negeri +62, Presiden RI ke-6. Perut sudah keroncongan. Warung kupat tahu khas Pacitan di pinggir kota jadi pilihan makan malam. Menjelang jam 9 malam, warung tampak sepi. Hanya ada satu pengunjung yang asyik ngopi sambil hisap kretek. Aroma tembakau srintil dan cengkeh menguar, menghangatkan suasana.

Dia menoleh, ramah menyapa, “Silakan, Mas. Kupat tahu dan kopi di sini enak banget, lho.”

Sambil menunggu pesanan, dia memperkenalkan diri, “Aku Dursasana, Mas. Keponakan Sengkuni, anak kedua dari seratus Kurawa.” 

Penulis agak terkejut. Ternyata Dursasana sudah tahu kalau penulis pernah bertemu dengan Sengkuni, sang maestro drama politik Hastinapura yang kini mengaku barista tobat, jualan kopi pinggir jalan. (baca: Kata Sengkuni, Negara Rusak Bukan Karena Saya Saja)

Waduh, ini cerita bakal makin seru.

Sebelum sempat bertanya lebih jauh, dia sudah menambahkan, “Aku dengar kamu ngobrol lama sama Paman Sengkuni soal negara, wayang, dan politik angkringan.” Dia terkekeh. “Dia memang suka main-main sama logika orang.”
Lalu terkekeh lagi, “Pasti kamu sudah dapat ceramah panjang soal strategi dan kelicikan yang katanya ‘elegan’ itu.”

Dia mengangkat cangkir kopi, meniupnya pelan, lalu menatap kosong ke luar warung.
“Orang-orang cuma ingat aku waktu adegan penarikan kain,” katanya. “Padahal aku juga pernah sekolah, jatuh cinta, dan bercita-cita jadi pemain ketoprak.” Dia terkekeh lirih, seolah tertawa pada nasib sendiri.

Tubuhnya tegap, meski tidak setinggi gambaran dalam lakon. Matanya tajam tapi terlihat lelah, menyimpan banyak cerita yang enggan terucap. Tangannya sedikit gemetar saat menyalakan rokok kedua.

“Aku anak kedua dari seratus,” katanya sambil tertawa kecil. “Jangan tanya gimana rasanya tumbuh di keluarga sebesar itu. Kalau bukan makan cepat, ya nggak kebagian.”
“Kadang waktu kecil, aku bahkan lupa nama sendiri, karena Ibu kami lebih sering panggil ‘Heh kamu!’”

Dursasana bukan cuma bayang-bayang dari Paman Sengkuni. Dia punya suara sendiri, meski sering tenggelam di antara tawa licik sang paman dan kemegahan ego kakak sulung. Malam itu, dia sepertinya menemukan celah untuk bercerita. Dan aku? Mungkin cuma sial, atau justru beruntung jadi pendengarnya.

Dursasana terdiam sesaat, matanya menerawang ke langit-langit warung yang remang, seolah mencari bayangan Sengkuni di antara sarang laba-laba.

Sambil mengaduk sisa kuah kupat tahu yang mulai mengering, dia melanjutkan, “Paman itu legenda, Mas... bukan karena dia baik, tapi karena dia paham betul sistem dan tahu cara memelintirnya.” Dia mencondongkan tubuh, berbisik dramatis, “Sengkuni itu bukan tokoh. Dia sistem itu sendiri.”

“Jangan bayangin Paman itu tua renta, Mas. Dia jagonya framing. Punya bakat PR sejak muda. Kalau hidup di zaman sekarang, pasti jadi langganan podcast politik, ngomong ‘dari sisi narasi”.  Dursasana menirukan gaya presenter talkshow sambil tertawa kecil.

“Sengkuni mendidik para Kurawa sejak kecil. Tapi bukan soal kebenaran atau kebijaksanaan. Dia lebih suka ngajarin cara bertahan hidup di tengah kepalsuan”

“Keadilan itu soal siapa duluan pegang mic, Mas,” katanya. “Kalau bisa bikin opini viral, kebenaran tinggal diatur belakangan.”

Menurut Dursasana, semua taktik penggiringan opini, permainan isu, bahkan drama air mata di hadapan rakyat Hastina, adalah hasil karya Paman Sengkuni. “Dia bikin skenario kayak sutradara sinetron. Tinggal bagi-bagi peran ke Kurawa. Ada yang jadi antagonis, yang pura-pura netral, ada juga yang tugasnya nyerang Pandawa di kolom komentar lontar.”

Yang paling ironis, kata Dursasana, Sengkuni selalu bilang dia sedang menyelamatkan negara. “Kebohongan paling laku di pasar politik kita ya itu, Mas. Ngaku demi negara, padahal demi geng sendiri. Mirip, kan?”

“Paman Sengkuni bukan jahat,” ujar Dursasana. “Dia cuma terlalu paham betapa mudahnya mengelabui orang yang ingin percaya harapan. Dan sistem kita hari ini? Masih pakai modul pelatihan dari dia.”

Ia menyedot kopi seperti sedang menghisap kenangan pahit, lalu menatap langit-langit warung yang temaram, penuh sarang laba-laba dan kabel colokan yang menjuntai tak bertanggung jawab. “Mas,” katanya pelan tapi menohok, “hidup kami tuh kayak negara +62, sumber daya melimpah, tapi manajemennya kayak anak kos bikin RUU sambil ngantuk.”

Ia tertawa getir, lalu diam sejenak, seperti sedang memilih ingatan mana yang paling layak untuk disesali duluan. “Biar Mas paham kenapa saya begini,” ujarnya sambil mengaduk kopi yang sudah habis, “saya mulai dari masa kecil aja, ya. Karena semua keanehan itu... well, sudah sistemik dari awal.”

Lalu dimulailah kisah masa kecil para Kurawa yang absurd—seratus anak laki-laki, satu rumah, tanpa SOP, tanpa parenting plan...

Dursasana mengisahkan masa kecil para Kurawa yang absurd: seratus anak laki-laki dibesarkan tanpa sistem yang jelas. Disuruh disiplin, tapi tokohnya sendiri toxic. “Kaya +62, Mas. Sumber daya banyak: tambang sampai talenta, tapi aturan cuma gonta-ganti tanpa arah, jadinya rebutan jatah terus.”

Dia menyindir cara mereka dididik seperti sistem pendidikan +62  “Gonta-ganti kurikulum. Hari ini disuruh jadi pejuang, besok diplomat, lusa ikut lomba panahan tanpa panah.”

Santai dia menepuk meja kayu warung yang mulai lengket karena embun malam dan tumpahan kuah kupat tahu. “Kalau kecil saja dibentuk pola pikir rebutan, besar nanti rebutannya naik kelas, bukan karena prestasi, tapi karena koneksi,” katanya sambil melipat kaki, gaya pejabat pensiun yang merasa masih punya ordal.

Di keluarga Kurawa, siapa yang dekat kekuasaan, dia paling banyak dapat jatah bubur.
“Persis kayak di sini, Mas. Dekat pejabat hidupmu terangkat. Dekat rakyat? Siap-siap dimanfaatkan.”

Duryudana, kakak nomor satu Kurawa, dari kecil hobi framing. Kalau jatuh, disalahkan semut. Kalau berhasil rebut mainan, langsung bikin konferensi pers.
“Kami sebenarnya cuma ingin keadilan,” katanya, padahal baru saja mengusir Pandawa dari meja makan.
“Kayak politikus sekarang. Bikin narasi seolah tertindas, padahal yang ditindas satu RT.”

Ekonomi keluarga Kurawa pun mirip ekonomi +62. Kaya? Jelas. Tapi krisis.
“Soalnya uang keluarga cuma muter di lingkaran dalam. Anak 1 sampai 5 dapat semua. Kami yang ke-88? Dapat tugas jaga sandal.”

Budaya kami patriarki, gengsi, dan malu minta maaf. Diajarin mending perang daripada ngaku salah, mending sabet gada daripada sabet permintaan maaf.

Dia melirik jalan raya di luar warung.
“Kayak budaya birokrasi kita. Kalau ada kesalahan, disalahkan sistem. Kalau sistem error, disalahkan user. Padahal yang bikin sistem ya mereka sendiri.”

Kupat tahu tinggal separuh. Tapi pembicaraan makin panas.
“Mas, kami sekarang jadi antagonis. Tapi tahu nggak cerita di baliknya? Kami korban ketimpangan. Lahir dari satu rahim, tapi akses berbeda. Yang satu disekolahkan ke luar negeri, yang lain disuruh jagain sapi.”

Dia tertawa pelan. “Kalau ada yang bilang negara rusak karena satu dua tokoh, saya bilang... salah besar. Negara rusak karena semua diam saat sistem salah jalan. Kaya keluarga kami. Semua tahu Duryudana salah, tapi yang lain... ngopi sambil ngeluh di warung.”

Malam makin larut, piring kupat tahu sudah kosong, dan Dursasana pamit pulang karena besok katanya harus ikut pelatihan “Leadership ala Kurawa”—program baru dari kementerian yang belum jelas kementerian apa. Penulis duduk termenung, mencoba mencerna kisah yang baru saja terdengar. Ternyata jadi antagonis itu bukan selalu soal jahat, tapi soal siapa yang nulis naskah. Dalam dunia wayang—dan negeri +62 ini—kadang penjahat cuma orang yang salah lahir di bab yang salah. Sistemnya? Ah, itu mah kayak wifi publik: sinyalnya kuat, tapi keamanannya nol. Jadi kalau besok ada tokoh jahat muncul di berita, jangan buru-buru benci dulu. Siapa tahu dia cuma Kurawa ke-56 yang dulu nggak kebagian nasi bungkus waktu rapat.

(Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya: Pandito Durno, Dosen Tersesat di Negeri +62




No comments:

Post a Comment