Dongeng Sibu Bayan (#002)
Sore itu penulis
lagi nongkrong melepas penat dalam perjalanan menuju Jawa Timur bagian Selatan. Masih jauh...diputuskan untuk ngopi dulu di warung pinggir jalan di hutan jati antara Wonosari dan Wonogiri.
Suasana adem, bau tanah basah, dan suara jangkrik bikin kepala rileks.
Tiba-tiba, datang sosok tua yang gagah, kumisnya putih dengan mata penuh
cerita. Dia duduk di depan penulis dan dengan suara serak tapi lantang bilang,
“Mas bro, katanya kamu suka nulis? Kenalin bro, aku Yamawidura, dari Mahabharata. Mau curhat nih.” (baca juga: Legacy Satyawati: Politik Dinasti dari Masa ke Masa (+62))
Penulis
nganga. Kok bisa ya tokoh Mahabharata nyasar ke sini? Ya sudahlah, di dengerin
aja, tidak ada salahnya menghormati orang tua yang pingin curhat, sekalian
untuk teman ngobrol.
Kyai Yamawidura
mulai cerita, “Pandu, ayahnya Pandawa, itu pangeran kece yang kena kutukan
sial. Katanya, kalau dia gaulin istrinya, dia langsung mati. Bayangin, bro,
hidup kayak diet ketat, gak boleh deket sama yang dicinta. Pandu sampe stres
berat, harus minggir dari istana, nyari tempat jauh buat ngindarin istrinya,
Kunti dan Madrim.
Nah, Kunti
itu bukan sembarangan ibu. Dia punya mantra sakti dari para dewa, bisa punya
anak dari siapa aja, tapi… tanpa ayah biologisnya. Dari Dewa Yama lahir
Yudhistira, si jago keadilan. Dari Bayu lahir Bima, si raksasa kuat. Dari Indra
lahir Arjuna, jago panah. Madrim, istri kedua, dibantu dengan mantra sakti
Kunti akhirnya juga punya anak kembar Nakula dan Sadewa, hasil mantra dari dewa
kembar Aswin.
Tapi jangan kira ini cerita happy ending, Mas. Tragedinya baru mulai…”
“Kretek dulu kyai…” aku menawarkan sebatang kretek yang langsung disulutnya. Kyai Yamawidura menghela napas dalam, sambil mengisap kretek dengan aroma cengkeh yang khas. “Mas, jangan kira Pandu kena kutukan itu tiba-tiba aja, kayak kebagian durian runtuh yang gak enak. Awalnya begini nih...
Pandu itu
sebenarnya pangeran muda yang gagah, putra mahkota kerajaan Hastinapura. Tapi dia ini
orangnya agak ‘bermasalah’ soal sabar dan rasa ingin tahu yang kelewat batas.
Suatu waktu, saat berburu di hutan, dia nekat nyolong panah dari altar Dewa
Kamarupa, dewa pemburu yang galak banget.
Kenapa? Ya
karena dia pengen cepet-cepet dapet anak supaya bisa nerusin garis keturunan.
Tapi si Dewa marah besar, ngasih kutukan: “Kalau kau deketin istrimu, kamu
bakal mati.”
Jleb!
Bayangin, bro, kayak dikasih perjanjian kerja: ‘Kerja boleh, tapi gak boleh
ngobrol sama istri.’ Gila gak tuh?
Nah, kutukan
itu bikin hidup Pandu kayak dikurung di dalam rumah kaca, gak boleh deket-deket
sama istrinya, Kunti dan Madrim. Jadi dia memutuskan ninggalin istana,
mengasingkan diri supaya gak mati kena kutukan itu. Namun Kunti dan Madrim
adalah istri-istri yang setia, kemana Pandu pergi pasti mereka ngekor, meski kebutuhan
biologisnya yak pernah lagi terpenuhi sejak kutukan itu.
Tapi ya
begitulah, manusia gak bisa lari dari takdir dan rasa rindu. Saat Pandu sudah
sangat kebelet tak bisa menahan hasratnya, Madrim tak kuasa menolak..wong istri
setia. Ya, jadinya tragedi, dia meninggal dunia.
Madrim,
istrinya yang cantik dan setia, ikutan meninggal dengan membakar dirinya
sendiri karena patah hati dan menyesal menjadi penyebab kematian Pandu.
Sementara Kunti? Dia jadi single mom paling tangguh, harus membesarkan lima
pangeran yang lahir bukan dari hubungan biologis, tapi dari mantra-mantra dewa
dan asap dupa wangi Gunung Kawi.
Sambil
menyesap kretek, penulis mikir, ini kayak nasib bangsa kita. Pemimpin
dibelenggu aturan dan tekanan, rakyat kena drama yang gak habis-habis, dan
perempuan di tengah harus kuat buat ngurus semuanya. Drama berulang yang seakan
gak ada habisnya.
*****
Kyai Yamawidura
lanjut sambil menyesap kopi dengan rasa nikmat lelaki sejati, “Mas, Kunti dan
Madrim itu sebenarnya punya kemampuan khusus, karena mereka dapet ‘mantra
sakti’ dari guru hebat. Kunti dapet mantra dari Begawan Durpasa yang terkenal
galak tapi sakti luar biasa. Dengan mantra itu, Kunti bisa ‘panggil’ dewa mana
pun untuk jadi bapak anaknya. Jadi bukan sembarang anak, tapi titipan dewa
langsung!
Madrim, istri
kedua Pandu, juga dapat ‘berkah’ dari dewa Aswin, dewa kembar yang dikenal
punya kemampuan menyembuhkan dan membawa harmoni. Makanya anaknya, Nakula dan
Sadewa, punya sifat yang harmonis dan pintar ngatur keseimbangan.
Jadi, mereka
punya anak dari dewa bukan karena mereka ‘main mata’ atau jaman now pacaran
online, tapi karena ada ‘magis’ dan makna mendalam, Anak-anak itu lahir dari
energi dan kualitas ilahi yang mewakili sifat-sifat ideal dalam kehidupan
manusia.
Nah, itu pas
banget buat bangsa +62. Negeri ini juga punya ‘mantra’ sendiri: keberagaman
budaya, suku, dan agama yang harus dihormati dan dijaga supaya bisa melahirkan
generasi yang kuat, bijak, dan harmonis.
Puntodewo
atau kata orang India sono “Yudhistira”, anak pertama, lahir dari Dewa Yama,
lambang kejujuran, keadilan, dan kebijaksanaan. Dia harapan kita supaya politik
+62 bisa jujur dan adil. Tapi kenyataannya… banyak yang malah
macem-macem, nyogok sana-sini.
Bima atau
Werkudoro (Jawa) , anak Dewa Bayu, simbol kekuatan. Tapi kalau gak dikontrol,
kekuatan itu bisa brutal, mirip preman yang suka main hakim sendiri atau
pejabat yang otoriter.
Arjuna atau
Janoko (Jawa), anak Dewa Indra yang jagoan strategi. Dia ngingetin kita supaya
mikir dulu sebelum bertindak, bukan asal nyebar hoaks atau ikut-ikutan drama
medsos.
Nakula dan
Sadewa, anak kembar yang harmonis, ngingetin pentingnya keseimbangan dan
kesehatan. Kayak negeri ini yang kadang kuat tapi stres, lupa jaga kesehatan
mental dan lingkungan.”
*****
Penulis termenung
mendengar curhatan kelahiran Pandawa yang serius itu. Tiba-tiba Yamawidura
ngelirik sambil senyum licik, “Eh, Mas, jangan lupa ya, cerita Mahabharata itu
gak cuma soal Pandawa yang keren-keren. Ada Kurawa juga, yang jadi ‘bad
boy’-nya cerita ini. Mereka tuh kayak saudara yang selalu bikin drama, gak
pernah puas, pengen menang sendiri doang.”
“Kalau
Pandawa itu kayak squad pahlawan ideal yang bisa ditiru, Kurawa itu tim
tukang cari untung yang gak peduli rakyat. Bayangin aja, mereka kayak pejabat
yang doyan ngejar proyek, tapi rakyat? Disuruh sabar terus, sabarnya udah kayak
baterai hape yang udah 1% dan tinggal nunggu mati.”
“Anak-anak
muda masa kini? Ya ada yang jadi Pandawa, berjuang buat kebenaran, tapi gak
sedikit yang malah ikut gaya Kurawa, sibuk ngumpulin duit, ngejar status, lupa
nilai moral. Kayak lagi main game tapi cheat terus, ujung-ujungnya kalah juga.”
“Nah, negeri +62 ini butuh ‘Pandawa sejati’ yang berani lawan ketidakadilan, bukan cuma ngikutin
arus yang busuk dan drama yang gak ada habisnya. Kalo gak gitu, siap-siap aja
jadi korban reruntuhan istana Kurawa!”
“Pandawa itu
simbol kolaborasi antara usaha manusia dan nilai moral. Hidup gak cuma soal
harta dan kekuasaan, tapi juga kejujuran, kekuatan kebaikan, kecerdasan,
kedamaian, dan harmoni.
Pandu ajarin
kita bahwa kekuasaan itu jebakan jika gak hati-hati. Kunti dan Madrim ajarin
ketangguhan dan peran perempuan sebagai tulang punggung.
Kalau
+62 mau maju, harus punya jiwa Pandawa: berani lawan ketidakadilan, bijak
dalam keputusan, dan jaga kedamaian. Tapi jangan lupa, hidup harus ada tawa,
biar gak stres kayak nasi hambar tanpa sambal.”
Yamawidura
ngelirik penulis sambil nyeruput kopi, “Nah, Mas, itu dulu curhatanku soal kelahiran
Pandawa. Tapi jangan seneng dulu, nanti kalau ketemu lagi aku ceritain juga
kisah kelahiran Kurawa yang gak kalah seru, penuh drama, tipu daya, dan… yah,
agak mirip kondisi negeri +62.”
Dia nyengir
sambil bilang, “Pokoknya siap-siap aja, bakal ada cerita yang bikin kamu mikir,
ketawa, tapi juga ngerasa ‘astagaaa... ini negeri kita ya?!’”
“Oh ya….nanti
saudara tiriku si Bhisma mungkin juga akan menjumpai Mas bro…atau kalau tidak Mas bro bisa ke Dongko menemui beliau,” lanjutnya
Penulis ngangguk
sambil minum kopi, ngerasa cerita tua itu bergetar maknanya sampai ke jaman
sekarang. Dari hutan jati sampai hiruk pikuk kota, kisah Pandawa ngingetin kita
untuk tetep manusiawi dan berani.
Tiba-tiba
Yamawidura tertawa kecil, “Makanya, Mas bro, sejarah itu cermin. Kadang harus
ditempel di pinggir jalan biar orang-orang bisa liat, ketawa, dan mikir bareng.
(SiBu Bayan)
Cerita selanjutnya: Kata Sengkuni, Negara Rusak Bukan Karena Saya Saja
No comments:
Post a Comment