Tragedi Bale Sigala-gala

 Dongeng Sibu Bayan (#006)

(Resi Bhisma)

Bangun pagi ini terasa segar karena udara sejuk Pacitan. Penulis berkemas hendak meninggalkan losmen untuk melanjutkan perjalanan. Banyuwangi masih jauh, kalau jalanan lancar, mungkin malam nanti baru sampai. Penulis memutuskan akan menyusuri jalur selatan agar bisa singgah di Dongko, Trenggalek sesuai pesan dari Kyai Yamawidura.  Sebelum berpisah di perbatasan Wonosari dan Wonogiri, beliau sempat menitipkan surat untuk Resi Bhisma yang tidak bisa penulis tolak, meski ini akan menghambat perjalanan penulis. (baca: Ngopi Bareng Kyai Yamawidura: Curhat Kutukan dan Kekuasaan)

Di Dongko, penulis menemui Resi Bhisma di pondok sederhana dengan warung alat pertanian di sebelahnya. Rupanya sejak diturunkan kembali ke negeri +62, Resi Bhisma memilih jadi pedagang alat pertanian untuk dharmanya, alih-alih menjadi guru dan penasehat istana. Beliau menyambut penulis dengan senyum yang tulus, khas orang tua yang bijak, namun tetap dengan sorot mata yang tajam. Penulis dipersilakan singgah di pondoknya, tak lupa beliau menyuguhkan kopi dan singkong goreng.

Setelah membaca surat itu dengan pelan dan penuh makna, Resi Bhisma melipat kertasnya kembali. Ia menatap ke arah luar jendela, ke pepohonan yang diam tertimpa cahaya pagi. Suasana hening sesaat, hanya terdengar detak waktu dan suara sendok kecil yang mengaduk kopi di cangkir tanah liat.

“Berceritalah untuk kegetiran kita bersama…” ucapnya, seperti membacakan mantra lama yang hanya dikenal oleh jiwa-jiwa yang pernah patah oleh sejarah. Rupanya hanya kalimat itu yang ditulis dalam surat Kyai Yamawidura.

Ia menyeruput kopi, lalu mulai bicara, tidak dengan terburu-buru, tetapi dengan ritme yang membuat waktu seakan melambat.

*****

Malam itu, Hastinapura gerah. Bukan karena cuaca, tapi karena para petinggi kerajaan mulai panik: Pandawa makin hits. Viewers-nya naik drastis di kerajaNet. Meme Puntodewo bijak makin viral, dan Arjuna? Udah jadi influencer panahan, endorse sabun jampi dan celana dharma.

Raja Duryodana duduk di singgasananya yang empuk, memandang jauh ke layar wayang pintar.

"Kalau dibiarkan, mereka bisa jadi capres 2029," gumamnya.

Sengkuni, sang paman senior, datang dengan langkah licik dan rencana lebih licik lagi. Di tangannya ada blue print bangunan: rumah joglo gaya industrial minimalis, tapi bahan bangunannya… laksha. Bukan lilin biasa, ini bahan yang kalau dinyalain, bisa nyalip kompor gas 3 tungku.

"Yang mulia, ini solusinya," katanya pelan. "Kita kasih mereka vila mewah gratis di Bale Sigala-gala. Bilang aja buat healing dari tekanan politik."

Duryodana manggut-manggut, mirip pejabat yang baru disodori proyek tanpa tender.

Keesokan harinya, brosur vila mewah Bale Sigala-gala disebar. Tagline-nya:

“Vila sejuk di pinggiran hutan. Jauh dari hiruk-pikuk. Dekat dengan maut, eh… maksudnya, dengan alam.”

Puntodewo sempat curiga. “Kok rumahnya mewah banget? Gratis lagi. Ada WiFi dan tempat meditasi?”
Werkudoro, si sulung kedua, udah ngacir bawa karung isi baju dan jampi anti nyamuk.
Nakula-Sadewa? Mereka sibuk cari spot Instagramable buat unboxing tempat tidur jerami.
Arjuna? Sibuk setting lighting buat syuting video “room tour vila mewah baru Pandawa!”

Memang keluarga Pandawa ini senang healing di alam, mereka semua naturalist.

Semua tampak berjalan mulus, sampai malam hari saat bau lilin aneh mulai bikin Bima bersin dan Arjuna nge-vlog sambil berkata:

"Bro, ini rumah vibes-nya creepy. Tapi aesthetic. Mungkin cocok buat content horror."

Sementara itu, di balik pagar vila, Yamawidura, putra selir dan paman baik hati yang masih idealis meski hidup di tengah feodalisme sistemik, mengendap-endap. Ia menyewa tukang gali freelance dari kampung sebelah.

“Kita harus selamatkan mereka,” bisiknya.

Si tukang gali, seorang bapak-bapak dengan tato "Mata Elang" di lengan, menyanggupi asalkan ada nasi bungkus dan uang jalan.

“Gali lubang? Bisa. Mau arah ke mana? Medan perang atau hutan self-healing?”

Dalam dua malam, terowongan rahasia siap. Para Pandawa dikasih briefing: kabur tengah malam, gaya silent operation. Tapi Arjuna sempat ngeluh.

“Tunggu! Gue belum upload teaserEscape from Sigala-gala’.”

Tepat pukul dua pagi, Sengkuni memerintahkan pasukan bakar rumah vila. Para Pandawa sudah kabur, yang tersisa hanyalah patung lilin buat prank balasan. Begitu api menyala, suara orang-orang Kurawa bersorak seperti habis memenangkan debat kusir di sidang senat kampus.

Besoknya, berita di Hastina Post:

“Tragedi Bale Sigala-gala: Pandawa Gugur! Hastinapura Berduka, Tapi Tetap Optimis.”

Duryudana tersenyum di depan kamera. “Kita kehilangan tokoh-tokoh muda inspiratif, tapi jangan biarkan hal ini memecah belah kita.”

Sengkuni di belakangnya udah sibuk cari proyek baru, Gimana kalau bikin rumah buat relokasi rakyat miskin… tapi kita anggarkan 3x lipat? Biar hemat biaya publikasi.”

Pandawa selamat. Mereka kabur ke hutan, hidup sebagai rakyat biasa. Puntodewo buka kelas online “Manajemen Kepemimpinan Anti-Toxic.” Bima buka bengkel pedang custom. Arjuna, jelas, masih nge-vlog. Nakula-Sadewa? Mereka jadi reseller herbal dan peternak lebah.

Sementara itu, Hastinapura tetap berjalan. Bale Sigala-gala jadi situs wisata sejarah, dengan prasasti palsu dan warung souvenir bertuliskan:

“Beli kaos: Aku Selamat dari Bale Sigala-gala!”

*****

Resi Bhisma menyeruput kopinya dan tertawa kecil. “Ya begitulah... Hastinapura dan negeri +62. Selalu bingung bedain mana rumah, mana jebakan.”

Ia menyelesaikan ceritanya pelan, seperti orang yang tahu bahwa kebenaran tidak perlu didebatkan, hanya perlu disampaikan, lalu dibiarkan merambat pelan ke nurani yang belum benar-benar mati. Angin menjelang siang masuk melalui sela jendela pondok, membawa bau tanah basah, suara ayam dari kejauhan, dan suara motor berknalpot bising yang entah kenapa ikut menyempurnakan suasana.

Penulis tak segera berkata-kata. Di cangkir, kopi tinggal ampas. Singkong goreng tinggal remah. Tapi di kepala, cerita itu berputar-putar seperti talk show politik menjelang pemilu: penuh drama, kadang lucu, tapi nyerempet bahaya.

Resi Bhisma menatap jauh ke luar, ke jalan setapak yang tadi penulis lalui. “Orang-orang selalu bertanya,” katanya pelan, “kenapa Pandawa yang jujur justru terusir, yang rakus tetap berkuasa?”

Ia berhenti sejenak, lalu menatap penulis. “Karena di negeri seperti Hastinapura... dan juga negeri +62 ini, kejujuran itu bukan nilai, tapi kadang dianggap ancaman.”

Penulis mengangguk, mulai merasa seperti sedang ditatar pelan-pelan oleh sejarah yang berbentuk manusia tua. Bhisma menambahkan, “Dulu Pandawa dikasih vila mewah, dijebak, dibakar, lalu diliput media kerajaan seolah sudah gugur. Sekarang? Mirip. Rakyat dikasih janji, dijebak regulasi, dibakar harapannya, lalu disuap berita baik di headline pagi.”

“Dulu Bale Sigala-gala, sekarang bansos yang penuh laksha dan anggaran tak terjelaskan.”

Ia menatap ke jalan yang masih berkabut. “Dan setelah semua itu, Pandawa harus mengasingkan diri... mencari kembali arah hidup mereka. Mirip generasi muda kita hari ini. Lulus kuliah, idealis, terus masuk ke dunia kerja atau birokrasi... lalu pelan-pelan sadar, Bale Sigala-gala ternyata bisa hadir dalam bentuk kantor ber-AC dan gaji UMR.”

Penulis menunduk, tidak tahu harus tertawa atau termenung.

“Kadang,” lanjut Bhisma, “jebakan itu nggak selalu berupa rumah yang terbakar. Kadang berupa sistem yang nyaman, birokrasi yang halus, jabatan yang penuh bonus, tapi semua itu menjauhkan manusia dari dharmanya.”

Penulis menarik napas panjang. Jalan ke Banyuwangi masih panjang. Tapi entah kenapa, rasanya seperti baru saja melewati tikungan tajam sejarah yang diam-diam masih berulang.

Setelah menyalami Bhisma dan pamit, penulis melangkah keluar pondok. Di warung sebelah, ada banner diskon alat semprot pertanian dan benih subsidi yang katanya unggul. Tapi seperti kata Bhisma: “Yang unggul belum tentu adil. Dan yang jujur belum tentu aman.”

Langit Trenggalek mulai meninggi. Waktu untuk kembali ke jalan.

Tapi setelah siang ini, penulis tahu, ada perjalanan yang lebih berat dari menuju Banyuwangi. Yaitu perjalanan untuk membedakan mana pembangunan, mana jebakan. Mana vila, mana Bale Sigala-gala.

(SiBu Bayan)

Cerita selanjutnya: Terowongan Tokoh Ormas (Empu Kanwa)



No comments:

Post a Comment