Dongeng Sibu Bayan (#005)
Malam ini penulis
memutuskan menginap di Pacitan. Sebuah losmen kecil di pinggir kota jadi
pilihan. Jam masih menunjukkan pukul sebelas malam, belum terlalu larut.
Setelah memesan kopi dan krecek, cemilan khas Pacitan, kepada penjaga losmen,
penulis memilih duduk kongkow di teras kamar. Tak lama, kopi datang diantar
oleh penjaga tua yang agak bungkuk dengan wajah tak biasa, hidungnya besar dan
bengkok, matanya sedikit juling.
“Monggo, Mas… ini
kopi dan cemilannya,” ucapnya dengan suara yang terdengar sopan, tapi menyimpan
nada manipulatif, seperti orang yang biasa bicara separuh jujur, separuh
jebakan. Lalu ia menambahkan pelan, “Mas, tadi ketemu ananda Dursasana ya?”
(baca: Dursasana, Memoar Salah Asuahan)
Penulis tertegun.
Wah, siapa ini? batin penulis. “Kakek siapanya Dursasana?”
“Aku guru dia, Pandito Durna.”
Selayaknya dosen dalam kuliah daring, kemudian bapak tua yang menyebut dirinya Pandito Durna itu tiba-tiba saja memberikan kuliah umum ke penulis. “Wah mantab ini...bisa jadi dongeng menjelang tidur”, batin penulis.
Aku Durna. Guru
bela diri dan strategi di Hastinapura, sekaligus saksi bisu sistem pendidikan
yang tak kalah absurd dari realita negeri +62. Bukan cuma pendidikan dasar
kayak ngasah panah dan jurus, tapi sampai tingkat tinggi, alias kampus kerajaan
tempat calon ksatria belajar teori perang, filsafat, bahkan manajemen kerajaan.
Sistem pendidikan
kita? Mirip banget sama yang kamu kenal di sini. Mulai dari TK (Tempat
Ketangkasan), SD (Sekolah Dasar Kesatria), SMP (Sekolah Menengah Pandawa),
sampai universitas….eh, maksudku Gurukula Tinggi Hastinapura. Kurikulumnya
sering berganti, dari ajaran suci ke teknik bertarung, besoknya tiba-tiba
disuruh menghafal mantra, lalu ganti lagi ke diskusi politik istana. Semua
berubah cepat, tapi hasilnya? Anak-anak malah pusing tujuh keliling, kayak
mahasiswa yang tiap semester harus adaptasi sama sistem KRS online yang crash.
Para Kurawa,
anak-anak seratus itu, dididik kayak peserta kompetisi beasiswa yang penuh
intrik. Kompetisinya nggak cuma soal siapa paling jago panah, tapi juga siapa
paling licik nge ‘cheat’ aturan istana. Di sisi lain, Pandawa yang lima orang
itu, belajar dengan beban moral berat, harus jadi panutan, tapi sekolahnya
kayak perpaduan antara universitas negeri dan pesantren kilat. Ada tekanan
akademik, politik, dan ekspektasi orang tua sekaligus.
Di universitas
kerajaan, para calon ksatria belajar dengan harapan jadi pemimpin masa depan.
Tapi, seperti di kampus +62, yang lulus bukan selalu yang paling pintar, tapi
yang paling pinter cari relasi dan jago nge-manuver birokrasi. Kadang aku lihat
anak-anak itu pusing, kayak mahasiswa baru yang disambut tugas akhir dadakan
dan skripsi ngambang.
Suasana kampus
nggak beda jauh sama kampus +62 yang kamu tahu. Gedungnya megah, tapi Wi-Fi
sering error. Dosen-dosennya pada sibuk lobbying posisi di senat kampus dan
istana, bukan sibuk ngajar. Seminar ilmiah? Kadang jadi ajang rebut kursi VIP
sambil debat soal siapa paling pinter ngomong tanpa harus ngerti materi.
Para mahasiswa, alias
calon ksatria masa depan, dipaksa ikut organisasi tanpa henti. Mulai dari UKM
panahan, debat politik, sampai geng pencari dana “amal” yang sebenarnya untuk
bayar konsumsi acara. Skripsi? Kadang cuma formalitas. Yang penting ada gelar
“Sarjana Hastinapura,” bisa pamer ke istana dan dapat jatah makan siang lebih
banyak.
Bahkan ada
beberapa kampus yang punya budaya “titip nilai” yang tak tertulis. Kalau kamu
punya “koneksi” di senat kampus atau punya Paman Sengkuni di dewan guru, tugas
gampang lulus. Kalau enggak? Bersiaplah jadi mahasiswa abadi, menunggu
kesempatan magang di medan perang, atau minimal jadi pengawal Pasukan Kurawa.
Banyak yang bilang
kampus itu tempat membentuk karakter. Tapi karakter apa yang dibentuk? Karakter
tukang rebut jatah, tukang cari muka, dan tukang ngeles. Kalau kamu enggak
pandai “berpolitik kampus,” siap-siap dicap anak “gagal” dan cuma jadi tukang
angkut panah di medan perang.
Kalau di +62 ada
cerita dosen galau, aku ini Pandita yang tiap hari harus mengajar seratus anak
yang masing-masing punya ego lebih besar dari dana BOS. Toxic parenting? Jelas.
Anak-anak ini disuruh disiplin, tapi contoh dari atas? Justru bumbu racun yang
ditaburkan setiap hari.
Di pendidikan
dasar sampai perguruan tinggi Hastinapura, sama saja: sumber daya manusia
melimpah, tapi manajemen dan sistemnya masih amburadul. Kita berharap mereka
jadi pemimpin, tapi malah banyak yang jadi “penguasa rebutan,” kayak mahasiswa
rebutan beasiswa tapi lupa belajar.
Bale Sigala-gala:
Ketika Skripsi Berubah Jadi Reality Show
(baca juga: Tragedi Bale Sigala-gala)
Aku sudah mengajar
ratusan murid, menyaksikan lebih banyak drama ketimbang dalang wayang semalam
suntuk. Tapi satu kisah yang membekas dalam hidupku: Bale Sigala-gala.
Sebuah jebakan.
Sebuah panggung politik. Dan sialnya, aku tetap diam, seperti profesor yang
tahu mahasiswanya dijebak aturan kampus, tapi pura-pura sibuk baca proposal
hibah.
Pandito Durno
menghela napas panjang, menatap bara api di warung kupat tahu yang
berkelip-kelip seperti wajah-wajah licik di istana Hastinapura.
“Mas, kamu tahu
nggak, Bale Sigala-gala itu bukan cuma soal rumah dibakar. Itu acara reality
show paling berdarah di sejarah Hastinapura,” ujarnya dengan nada setengah
sarkastik, setengah keputusasaan.
“Bayangin, ada
keluarga kerajaan yang gak segan-segan bikin jebakan maut, cuma gara-gara takut
saingan. Nggak jauh beda sama politik +62. Ketakutan sama pesaing, akhirnya
malah bikin ‘kebakaran’ yang bukan cuma rumah yang hangus, tapi juga
kepercayaan rakyat,” lanjutnya sambil mengaduk kopi yang mulai dingin.
Menurut Pandito Durno,
ide bikin rumah dari kayu yang mudah terbakar itu bukan hanya cerdik, tapi juga
sinetron banget.
“Paman Sengkuni
tuh jagonya setting panggung, bikin drama yang bikin semua terpancing. Yang
penting, narasi yang dia sebarkan: ‘Ini demi keamanan negara.’ Padahal mah cuma
mau sikat calon saingan.”
Pandito Durno
menggeleng.
“Yang bikin miris,
para korban yang hampir mati itu, bukan cuma Pejuang sejati, tapi juga
anak-anak muda yang sebenarnya cuma pengen cari ilmu, berlatih panah, atau
malah mau jadi influencer di kalangan istana.”
“Kalau di kampus
Hastinapura dulu, ini kayak ‘demo’ mahasiswa yang dibungkam pakai gas air mata,
tapi gasnya itu dari rumah yang sengaja dibakar. Lucunya, kampus yang katanya
tempat ilmu dan moral, malah jadi arena politik busuk yang gak beda jauh sama media
sosial zaman sekarang, penuh hoaks, fitnah, dan drama demi likes,” katanya
dengan nada penuh sinisme.
Pandito Durno
menatap langit-langit teras.
“Dan yang paling
ngenes, para korban yang selamat justru jadi buronan dan kambing hitam. Sistem
Hastinapura memang jago bikin ‘musuh dalam selimut.’ Kita yang kena, yang
salah, tapi yang bikin masalah malah duduk manis di kursi empuk.”
Ia menghela napas
lagi.
“Mas, kalau lihat
kisah Bale Sigala-gala ini, aku jadi mikir, apa bedanya Hastinapura dulu dan +62
sekarang? Drama politiknya sama aja, cuma beda jaman, beda lokasi, tapi tetap
pakai script lama yang sama.”
“Jadi, kalau ada
yang bilang politik itu bersih dan jujur, aku cuma bisa ketawa... itu lebih
mustahil daripada aku bisa resign dari drama keluarga ini.”
Kalau ada yang
bilang pendidikan membentuk masa depan bangsa, Pandito Durno mungkin bakal
menjawab, “Iya, masa depan yang penuh jebakan, skripsi ngambang, dan dosen yang
lebih suka rapat daripada ngajar.”
Malam semakin
larut. Tapi kuliah umum dan percakapan dengan Pandito Durno itu terus terngiang, antara
kopi, krecek, dan kenangan tentang kampus Hastinapura yang terlalu mirip dengan
negeri +62.
(Sibu Bayan)
Cerita selanjutnya: Tragedi Bale Sigala-gala
No comments:
Post a Comment