Jalan Pulang dari Karangdempel (Rahasia Pandawa)

 Dongen Sibu Bayan (#012)

(Kyai Semar)

Kokok ayam jantan membangunkan penulis dari tidurnya. Dari jalanan di depan joglo Kyai Semar, terdengar senda gurau petani Karangdempel yang bersiap ke ladang dan sawah.

"Hari ini pupuk subsidi nggak jadi datang lagi… ban pick-up-nya meletus di tengah jalan, nunggu ban dari kota butuh waktu seharian." "Ala... alasan lagi... besok sopirnya kawin dulu... wkwkwk."
"Yo win ben..."

Percakapan itu mengiringi langkah penulis menuju pojok luar joglo untuk mandi padusan. Hari ini penulis berniat melanjutkan perjalanan, berharap mendapat petunjuk jalan yang benar.

Setelah mandi dan berkemas, Bagong memanggil penulis untuk sarapan di tengah joglo. Kyai Semar telah duduk di ruang tengah, namun Gareng dan Petruk belum tampak.

"Gareng pagi-pagi sudah ke sawah," jelas Kyai Semar, "antrian air irigasi panjang."
Bagong menimpali, "Petruk? Jangan diharap bangun pagi… dia itu pekerja malam, menjaga kelelawar agar durian Karangdempel tetap berbuah lebat."

Kyai Semar menatap penulis, suaranya lembut namun dalam,

"Mas, rakyat kecil di Karangdempel ini paham dunia terus berubah. Tapi perubahan tanpa rasa dan logika hidup rakyat hanyalah ilusi. Kami tidak anti teknologi atau program. Kami hanya ingin didengarkan, dihargai sebagai subjek, bukan objek.
Bukan program megah yang gagal di ladang, tapi yang sederhana dan nyata: air lancar, pupuk tersedia, harga gabah adil, dan atap sekolah tidak bocor. Itu baru kemajuan yang sesungguhnya."

Bagong menyahut sambil menghisap kretek tembakau srintil, "Sekarang suka bikin program yang banyak poster dan drone, padahal sinyal saja harus naik pohon. E-KTP pakai sidik jari, tapi cetaknya tiga tahun. Yang penting launching pakai artis dangdut!"

Kyai Semar tersenyum lirih, "Teknologi itu seperti wayang. Hebat bila dalangnya mengerti lakon kehidupan. Kalau cuma ikut tren, ceritanya hilang makna."

Penulis diam. Angin lembut membawa suara gamelan dari radio tua di sudut joglo, menyatu dengan napas padukuhan Karangdempel

Kyai Semar menyesap kopi pahit dan berujar, "Ketidakadilan itu bayangan yang selalu mengikuti cahaya terang."

Bagong mengangkat alis, menyeringai nakal, "Kayak waktu Pandawa kecil dulu, Ki. Mereka sudah ‘terluka’ oleh sistem yang berat sebelah sejak belajar bareng Kurawa. Bedanya, di sini, Pak Pandawa-nya polos banget, kayak anak baru bisa baca, tapi disuruh ngerti soal kejahatan dunia."

Kyai Semar mengangguk, lalu mulai berkisah tentang Pandawa.

Pagi itu di lapangan Hastinapura, debu mengepul setiap gada menghantam tanah. Resi Durna berdiri di tengah murid-muridnya, Pandawa dan Kurawa berbaris dua sisi seperti dua kutub yang saling menegangkan.

Werkudoro menunjukkan kekuatannya, melibas para Kurawa yang mundur. Tapi Durna datar-datar saja, malah memuji Duryodana yang bergaya mewah. Arjuna menahan diri, Nakula mengingatkan agar bersabar, "Air jernih pun bisa keruh bila dituang dari tempayan guru yang pilih kasih."

Saat latihan memanah, Arjuna tepat sasaran, tapi Aswatama gagal total. Namun Durna tetap memuji Aswatama. Pandawa makin merasa tertindas, tapi tetap menjaga sopan santun.

Kyai Semar menghela napas, "Ilmu tanpa keadilan melahirkan kebodohan yang dipuja. Guru yang pilih kasih menumbuhkan kebencian, bukan pembelajaran."

Penulis terdiam membayangkan luka itu. Kyai Semar melanjutkan:

"Pandawa memang mulia, tapi juga naif. Mereka percaya sistem, menghormati guru yang menyakitinya, menjaga tata krama di dunia penuh siasat.
Rakyat negeri ini pun begitu: terus berharap pada pemimpin, pada janji-janji. Padahal sistem kadang seperti Kurawa, kuat di pencitraan tapi miskin keadilan."

Bagong menepuk lutut sambil tertawa getir, "Lha iya Ki… negeri +62 mirip banget. Menang pemilu, tapi kalah akhlak. Janji di baliho setinggi langit, tapi rakyat masih rebutan bansos kayak rebutan diskon. Kadang aku mikir, kita ini nonton sinetron politik tapi lupa bawa popcorn."

Kyai Semar tersenyum tipis, "Teknologi, politik, semua itu wayang, Mas. Kalau dalangnya lupa lakon dan cuma cari panggung, maka cerita jadi berantakan."

Bagong menyahut dengan nada jahil, "Masih untung Pandawa nggak punya TikTok. Kalau nggak, bisa-bisa kalah viral sama Kurawa yang udah 'ngonten' duluan!"

Kyai Semar menatap jauh ke luar joglo, "Itulah kenaifan Pandawa. Mereka percaya sistem yang dibangun oleh orang-orang yang diam-diam ingin mereka tumbang. Mereka terlalu sibuk jaga moral, sampai lupa bahwa moral juga harus lihai membaca ‘mainan’."

Penulis terdiam. Bagong kenudian menyela "Waktu Puntodewo setuju main dadu dengan Sengkuni, itu bukan karena bodoh. Tapi karena dia pikir: ‘Ah, dengan jujur saja cukup.’ Padahal yang dia lawan itu penjudi ulung!"

Kyai Semar menambahkan, "Kenaifan bukan aib. Tapi ia harus disadari. Seperti Pandawa yang akhirnya harus melewati pengasingan, kehilangan, dan perang, untuk tahu bahwa kebaikan harus ditempa keberanian, bukan cuma kejujuran."

Kyai Semar berkata pelan, "Kemenangan tanpa rasa adalah kekalahan yang menyamar."

Penulis hendak pamit. Tapi sebelum benar-benar pergi, ia menoleh. Ada yang menggantung di benaknya.

Kyai Semar seperti menangkap kegelisahan itu,"Mas, pernahkah mendengar rahasia ini? Anak pertama Kunti bukan Puntodewo, tapi Karna."

Penulis terdiam.

"Karna, putra Dewa Surya, dilahirkan sebelum Kunti menikah. Karena malu, ia dihanyutkan ke sungai. Tapi dunia tidak melupakannya. Karna tumbuh sebagai ksatria agung, namun dipinggirkan karena status. Ia disayang Kurawa, karena di sana ia dihormati. Saat rahasia terbongkar, Kunti menangis. Tapi Karna memilih tetap bersama Kurawa. Bagi Karna, pengakuan lebih bermakna dari sekadar darah."

Kyai Semar menatap dalam, "Itulah luka Pandawa yang tak terlihat. Kemenangan mereka tak pernah penuh, karena kemenangan tak mampu menghapus rasa bersalah."

Bagong menimpali, "Dan itulah negeri ini, Ki. Kemenangan dan kemajuan yang kita raih, tapi hati rakyat masih tertinggal di belakang janji-janji kosong."

Kyai Semar berdiri, menepuk pundak penulis.

Lalu, sebelum penulis benar-benar pergi, Kyai Semar berkata:

"Mas, banyak yang bilang Pandawa itu lambang kebaikan, kejujuran, dan dharma. Tapi mereka juga pernah terlalu naif. Mereka pikir semua orang bermain adil, bahwa yang baik pasti menang tanpa tipu daya. Tapi dunia tidak begitu bekerja."

Bagong menyambung, "Puntodewo main dadu bukan karena bodoh. Tapi karena yakin kebenaran bisa menang di meja curang. Padahal lawannya bukan pendekar, tapi pesulap."

Kyai Semar melanjutkan, "Pandawa terlalu percaya sistem yang dirancang untuk menjebak mereka. Terlalu sibuk menjaga etika, sampai lupa bahwa tipu daya bisa membongkar moral dalam sekejap. Dan saat mereka sadar, Drupadi sudah ditelanjangi di ruang sidang."

Penulis merasakan sesak. Ia melihat bayangan bangsa sendiri, bangsa yang tulus dan percaya, tapi sering kali kalah oleh panggung yang dibuat para Sengkuni zaman ini.

"Indonesia hari ini pun seperti Pandawa," kata Kyai Semar lirih. "Rakyatnya jujur, percaya pemimpin, percaya hukum. Tapi sistem yang mereka percayai kadang dipenuhi jebakan dan kepentingan tak terlihat."

Bagong menyeringai pahit, "Kadang rakyat ini saking percayanya, ketika utang negara menumpuk, dibilang investasi. Subsidi dicabut, katanya demi pembangunan. Suara rakyat tak didengar, katanya demi stabilitas. Padahal rakyat cuma ingin hidup wajar, makan tiga kali, anak sekolah, dan tidak dibodohi."

Bagong berkata lirih,"Mungkin sekarang rakyat sedang di tahap pengasingan itu. Diasingkan dari janji yang dulu dijanjikan. Tapi semoga, seperti Pandawa, rakyat ini bangkit. Bukan dengan dendam, tapi kesadaran. Bahwa kebaikan tak boleh lagi naif."

Penulis meninggalkan joglo Kyai Semar, menuruni jalan tanah Karangdempel yang mulai kering oleh kemarau. Suara padukuhan itu tinggal di hati, kejujuran yang sederhana, tawa getir, dan luka yang menjelma bijaksana. Dari sana, penulis membawa seberkas cahaya, bukan hanya untuk pulang, tapi untuk mengingatkan bahwa setia pada nilai baik tak cukup. Bangsa ini harus bijak memilih dalang, peka membaca lakon, dan berani berkata, “sampai di sini kami tidak mau lagi dibodohi.” Karena negeri ini tak kekurangan kebaikan, ia hanya terlalu lama hidup dalam cerita yang tak utuh. Perjalanan belum usai; langkah berikutnya menuju ujung Timur pulau Jawa, Banyuwangi.

(SiBu Bayan)

Cerita selanjutnya: http://banyuseger.blogspot.com/2025/05/kuliah-kerja-nyata-epos-kampus.html



No comments:

Post a Comment