Dongeng Sibu Bayan (#015)
Sampailah penulis
di hutan lindung Kondang Merak yang dibelah jalur lintas Malang Selatan.
Kawasan seluas sekitar 1.989 hektar ini jadi salah satu hutan pesisir alami tersisa
di Malang Selatan. Ekosistemnya tempat tinggal berbagai satwa liar
termasuk si Lutung Jawa yang dilindungi. Di sinilah, konon Merak bukan sekadar
burung, tapi "admin alam semesta" yang tugasnya menjaga perbatasan
dua dunia: realita dan dongeng, atau dalam istilah kekinian: multiverse antara
hidup ideal dan hidup ngutang. Burung merak itu konon punya kekuatan magis,
bisa bawa hoki atau malah bikin sial, tergantung niat manusia.
Hari sudah mulai gelap, sekitar jam enam sore, saat angin laut mulai mendinginkan udara dan suara jangkrik bergema di antara dedaunan. Dari balik pepohonan yang rimbun dan daun-daun yang lagi asik ditiup angin, terdengar langkah kaki mantap tapi nyempil kayak ninja. Ada tujuh lelaki dan satu cewek. Penulis langsung ngeh dua di antaranya, itu Gareng sama Bagong. Sisanya? Misteri bro!
“Loh… Mas, kok
kita bisa ketemu lagi di hutan Wanamarta?” sapa Gareng sambil teriak.
“Bukannya ini
hutan Kondang Merak?” tanya penulis sambil mikir, “Kok kayaknya beda aja ya?”
“Justru itu! Kamu
kebanyakan ngedip ke batu karang hitam itu, jadi ketarik masuk ke dunia di mana
logika gak berlaku dan akal sehat cuma opsi, kayak dunia politik sekarang,”
kata Bagong sambil nyengir dan melirik Drupadi
“Mas, kenalkan
dulu, ya. Ini Puntodewo sama adik-adiknya, dan yang cantik itu calon istrinya,
Drupadi,” kata Gareng sambil gaya kayak MC kondangan.
Penulis terkesima
dengan Drupadi, cantik, smart, dan karismatik, kalau di dunia nyata mungkin
udah jadi influencer yang naikin engagement semua brand.
“Kita bakal nginep
di sini, bikin tenda seadanya. Kalau mau ikut, ayuk Mas! Nanti kita bakar
singkong sekalian api unggun,” tambah Gareng dengan nada ajakan yang susah
ditolak.
Mereka berdiri di
depan batu karang hitam yang kokoh banget di pojok hutan. Gareng menatap batu
itu dengan ekspresi serius, terus bilang, “Ini bukan batu biasa, Mas. Ini
gerbang antara dunia kita dan Wanamarta. Kayak pintu tol tapi gratis.”
Seketika,
pepohonan Kondang Merak berubah wujud. Daunnya jadi lebih pekat, berkilau kayak
disiram vitamin, embun di sana-sini bikin suasana makin mistis. Suara angin
membawa bisikan-bisikan gaib, dan langit mulai memperlihatkan bintang-bintang
kelap-kelip aneh, seolah sedang disambut selebritas. Aroma asap singkong bakar
merayap ke hidung, menghangatkan tubuh di udara malam yang dingin.
“Malam ini kita
nginep di Wanamarta,” kata Puntodewo dengan suara pelan tapi tegas, “Hutan
penuh rahasia dan kekuatan, tempat kita kudu jaga keseimbangan antara dua
dunia.”
Penulis menarik
napas dalam-dalam, sambil mikir, “Wah…. nggak lagi di hutan biasa nih. Ini
seperti tempat dimana legenda ketemu
kenyataan, dan mungkin wifi juga gak ada.”
****
Suasana api unggun
yang hangat jadi latar saat Puntodewo mulai membuka kisah tentang alasan mereka
ikut sayembara memanah yang diadakan Raja Drupada.
Gareng dengan
masih gaya MC kondangan membuka pembicaraan, “Kita baru selesai sayembara Raja
Drupada, ayahnya Drupadi. Hadiahnya bukan motor listrik atau UMKM grant, tapi… jodoh
dan kejayaan, hal yang lebih langka dari keadilan sosial!”
“Jadi gini, bro. Awalnya kita lagi susah banget setelah tragedi Bale Sigala-gala. Itu loh, tempat ngumpet kita dulu diserang habis-habisan. Kita harus kabur, ngembara, dan nyamar-nyamar di hutan dan desa supaya aman dari musuh,” cerita Puntodewo sambil ngunyah singkong bakar. (baca: Tragedi Bale Sigala-gala)
Nakula
menambahkan, “Waktu itu, di tengah pengembaraan, kabar sayembara dari Raja
Drupada dari negeri Mandura (versi India: Pancala) sampai ke telinga kita. Raja
mau melepas putrinya, Drupadi, buat dinikahi siapa aja yang bisa memanah mata
ikan yang berputar cuma lewat pantulan air. Tantangannya susah banget!”
Bagong nyeletuk,
“Sayembaranya kayak test psikologi masuk kerja. Mirip kayak disuruh pilih
jawaban A sampai E tapi semuanya salah secara logika.”
Drupadi tertawa
manis, “Iya, ayahku memang bikin sayembara itu untuk cari jodoh yang pantas dan
berbakat. Tapi banyak juga yang punya niat lain, terutama dari Kurawa.”
Puntodewo
melanjutkan, “Nah, di situlah drama mulai. Kurawa ngirim Karna buat ikut. Tapi Pandita
Durna, guru kita, sejak dulu benci sama Karna. Dia merasa tersaingi dan nggak
pernah kasih Karna ilmu memanah terbaik.”
Nakula menatap api, “Sayembara Prabu Drupada ini mirip jobfair zaman sekarang di negeri +62. Generasi muda, katanya, lagi diuntungkan bonus demografi. Tapi kenyataannya? Ribuan anak muda rebut pekerjaan, susah cari peluang yang layak, kayak ribut-ribut di jobfair Bekasi kemarin itu.”
Sadewo menimpali, “Bonus demografi itu janji emas, tapi kalau sistem gak siap, yang dapat malah cuma segelintir. Mirip Karna yang punya potensi besar tapi gak didukung, banyak pemuda sekarang juga kehilangan kesempatan karena aturan dan strategi yang gak adil.”
Suasana di sekitar
api unggun sedikit berubah, dari serius jadi lebih cair, tapi tetap penuh
makna. Semua mendengarkan dengan seksama, sambil sesekali tertawa kecil
menanggapi celoteh Gareng dan Bagong yang selalu punya cara bikin suasana jadi ringan.
Memang, di balik segala drama dan ketegangan, humor kadang jadi pelipur lara
yang paling ampuh.
Gareng nyengir,
“Itu dia, bro. Sengkuni si licik ngatur strategi aneh buat gangguin sayembara.
Dia suruh Dursasana ngacak-acak posisi panah peserta lain. Tapi, Dursasana ini
ceroboh banget, sampai-sampai panahnya nyasar kena Duryudana dan Durna sendiri.
Kacau deh!”
Bagong melanjutkan
sambil tertawa, “Sengkuni zaman now juga masih ada, loh. Nepotisme, korupsi,
dan permainan politik bikin kesempatan makin sempit. Rencana-rencana keren
kadang gagal karena banyak yang main curang. Dursasana pun bisa salah panah
karena emosi dan tekanan.”
“Zaman now juga penuh Dursasana. Yang asal
tunjuk, asal tembak, asal rekomen. Tahu-tahu sistem rusak karena salah orang
naik jabatan. Terus nyalahin kinerja rakyat.” lanjut Bagong
Tawa mereka pecah
saat Bagong bilang, “Dan yang paling kocak, waktu pengumuman pemenang, Sengkuni
udah siap pidato buat menjatuhkan Arjuna. Tapi tiba-tiba ada suara kentut dari
belakang! Semua kaget dan ketawa, ternyata Dursasana laper dan nggak sadar ngeluarin
suara itu.”
Puntodewo menutup, “Memang, kadang yang bikin perbedaan itu hal-hal kecil yang nggak terduga. Dan akhirnya, Arjuna yang menang, dapat Drupadi. Sementara Kurawa? Kecewa banget, apalagi Karna yang udah usaha keras tapi kurang mendapat dukungan guru.”
Werkudoro yang
sedari tadi diam, tiba-tiba menimpali, “Kalau kata Sengkuni, ‘Rencana gue gila,
tapi gagal total.’ Dursasana? Masih trauma sampai sekarang.”.
Arjuna yang masih sibuk
mencari singkong bakar di api unggun hanya senyum-senyum tidak jelas, seolah-olah
itu hal terpenting di dunia.
****
Gareng menatap penulis dengan serius tapi senyum jahil, “Jadi, Mas, malam ini kita bukan cuma camping biasa. Kita lagi di universe lain, tempat legenda, drama, dan humor campur jadi satu. Kalau mau, kamu ikut cerita dan jadi bagian petualangan kita di Wanamarta.”
Penulis
mengangguk, “Siap…! Asal gak disuruh isi form online 50 halaman, aku ikut.”
Bagong ketawa
getir, “Formnya bisa digital, tapi tetap di-print, ditandatangan, dan distempel
tujuh pejabat sebelum valid. Welcome to the jungle, bro.”
Penulis merenung.
Api unggun menyala, tawa dan sindiran menyatu. Sayembara Drupada bukan cuma
kisah panah dan cinta, tapi cermin pahit zaman sekarang, di mana kemampuan bisa
kalah oleh relasi, dan potensi bisa terjebak dalam sistem yang bobrok.
Bonus demografi?
Lebih mirip sayembara semu. Kalau tak siap struktur dan mental, anak muda bukan
jadi aset, tapi barisan patah hati nasional. Seperti Karna, mereka kuat tapi
tak punya panggung. Seperti Drupadi, mereka punya mimpi, tapi jadi rebutan
sistem yang tak jelas niatnya.
Di antara gelap hutan, api unggun menjadi cahaya kecil yang membakar satir, menyala dengan tawa getir, dan mengingatkan: jika kita tidak bertindak, sejarah akan terus jadi kisah lucu yang menyedihkan. (Kisah selanjutnya: Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga)
(Sibu Bayan)
No comments:
Post a Comment