Dongeng Sibu Bayan (#014)
baca dulu (Kuliah Kerja Nyata: Epos Kampus Karangdempel (bagian #1))
Pandawa dan Kurawa
kini turun ke desa. Dengan membawa proposal-program-berbau-powerpoint dan
semangat penuh nafsu penyelamatan. Mereka disambut oleh warga desa dengan
senyum ramah dan kopi pahit.
“Selamat datang,
Nak. Semoga betah di sini?”
Di Desa Sindangprau, Pandawa tiba dengan program-program sakti, workshop pemasaran digital, pelatihan Excel untuk petani, hingga seminar bertema “Transformasi Komunal di Era Post-truth”.
Werkudoro maju
dengan gagah, “Kami akan mendata masalah utama desa, lalu menyusun program
pengembangan berkelanjutan berbasis potensi lokal.”
Pak Tarmo, seorang
petani tua, mengernyit. “Masalah apa, Nak? Panen padi alhamdulillah bagus.
Anak-anak sehat. Air bersih ada. Emangnya harus ada masalah, ya?”
Pandawa saling
pandang. Wah, ini masalah besar: desa yang tidak merasa bermasalah!
Maka mereka
menciptakan masalah baru demi bisa menyelesaikannya. Misalnya, membuat aplikasi
“Jadwal Ngaji Digital” padahal masjid sudah punya pengeras suara dan Pak Ustad
yang rajin. Atau mengadakan pelatihan “Public Speaking untuk Ketua RT”,
padahal Pak RT hanya ingin tahu cara memperbaiki gorong-gorong.
Di malam hari,
mereka diskusi dengan warga desa sambil menyeruput kopi:
“Ini desa kayaknya
belum sadar potensi pariwisatanya. Kita buat paket wisata deh, ‘Nginep di Rumah
Petani’. Nanti kita branding sebagai ‘Wisata Autentik Tanpa Sinyal’.”
“Kita datang bukan
untuk bantu desa, tapi untuk memastikan desa sadar bahwa mereka harus dibantu!”
ujar Puntodewo penuh semangat, disambut anggukan penuh intelektualitas semu.
Dan semua tertulis
rapi di rencana laporan akhir: “Desa mengalami peningkatan kapasitas sosial berkat
intervensi KKN berbasis knowledge transfer.”
Sementara Pak
Tarmo masih heran, “Kapasitas yang mana ya? Saya tadi cuma diajak foto sambil
megang banner.”
Kemudian ada
kakek-kakek desa bertanya, “Nak, gimana caranya pupuk ini gak bikin sawah
panas?”
Jawab Arjuna: “Eeh... Itu nanti dibahas di sesi ke-4 ya, setelah coffee
break.”
Lain lagi di Desa
Tambakberingin, Kurawa sibuk membangun panggung, lengkap dengan backdrop
sponsor pribadi. Programnya? “Festival KKN untuk Ekonomi Kreatif
Berkelanjutan Berbasis Selfie.”
Duryudana dan
adiknya, Dursasana, malah udah pasang spanduk:
“Mohon Doa Restu,
Duryudana Siap Mengabdi Lagi, 2029-2034”
Kurawa bikin vlog
dengan judul: "KKN: Kolaborasi Kekinian Nasionalisme", isinya
ya mereka nge-vlog makan di kafe desa, nge-zoom dari bale desa
yang udah full AC, dan bikin lomba TikTok antar RT.
Setiap malam,
mereka upload foto. Foto Arjuna bantu cangkul 5 menit - caption: “Berbaur
dalam peluh rakyat.” Fopo Duryudana selfie di balai desa - caption: “Mengabdi
itu pilihan.”
Tak ada yang
sadar, listrik di rumah warga padam karena gensetnya dipakai untuk nge-charge
drone milik tim dokumentasi kampus.
****
Tak lengkap kisah
KKN tanpa sosok Dosen Pembimbing Lapangan (DPL). Di kelompok Pandawa,
DPL-nya adalah Prabu Salya, mantan raja yang kini menjabat sebagai dosen luar
biasa tetap tidak jelas.
Salya datang ke
desa hanya dua kali: saat pembukaan dan penutupan. Sisanya, komunikasi lewat
WhatsApp dengan stiker “Semangat ya anak-anak!”
Saat ditanya warga
soal rencana program, Salya menjawab, “Saya hanya memfasilitasi. Semua
diserahkan ke mahasiswa. Saya percaya mereka bisa.”
Padahal dalam
hati: asal laporan selesai dan bisa diajukan buat kenaikan jabatan, ya
sudahlah.
Di kelompok Kurawa, DPL nya Sengkuni. Lebih suka konferensi dan justru ikut endorse produk skincare desa,
“Ini bukti
pengabdian multidisiplin…., kulit cerah, ekonomi cerah!” sambil bagi-bagi
souvenir bertuliskan #KKNBerbasisPanggung.
****
Di akhir masa KKN, Pandawa dan Kurawa diwajibkan membuat laporan refleksi. Tulisan-tulisan itu penuh
dengan kalimat: “Saya belajar banyak dari masyarakat. Mereka sederhana,
namun bijaksana.” Padahal sepanjang hari lebih banyak belajar cara edit
video TikTok.
Arjuna menulis: “Saya sadar, kampus tidak tahu segalanya. Tapi tetap merasa
perlu menjelaskan segalanya.”
Kalimat itu sempat
akan dihapus oleh panitia KKN, karena dianggap tidak membangun citra kampus.
Rektor Semar,
duduk memimpin sidang evaluasi. Di sampingnya, Bagong dan Gareng, dua penilai
non-akademik yang mewakili suara rakyat (yang biasanya dibungkam oleh
PowerPoint).
Pandawa maju, bawa
laporan 300 halaman dan satu ember produk olahan hasil desa: teh jahe, keripik
daun kelor, dan sabun dari abu jerami.
Kurawa maju… bawa
flashdisk isi PowerPoint 86 slide dengan foto-foto estetika, semua filter
Instagram.
Semar batuk kecil.
“Yang saya mau tahu cuma satu: “Coba ceritakan, apa yang kalian pelajari dari
desa?”
Pandawa menjawab,
“Kami belajar bahwa desa butuh kita. Kami sudah beri mereka pemahaman tentang
struktur organisasi modern.”
Gareng bertanya,
“Terus, gimana kabar Cak Karto yang diajari Excel tapi gapunya laptop?”
Semar batuk kecil….Pandawa
diam, lalu jawab pelan, “Kami dapat ilmu dari mereka, dan kini kami tahu cara
tanam padi yang lebih hemat air.”
Kurawa maju. “Kami
sukses! TikTok kami viral, dan bahkan satu warga jadi selebgram!”
“Desa Tambakberingin naik followers-nya,
Eyang… Sekarang kepala desanya verified di Instagram.”
Semar mengelus
dada. “Wahai anak-anak, ingat… KKN bukan ajang branding pribadi. Kalau rakyat
cuma jadi latar foto, itu bukan pengabdian. Itu wisata sosial.”
Semar menghela
napas. “Ilmu tanpa akal sehat hanya akan menjadi alat represi. Kalian datang
bukan untuk belajar, tapi memproyeksikan ego. Kampus menganggap dirinya tahu
segalanya, lupa bahwa rakyat juga punya akal, yang tak berbentuk teori tapi
tumbuh dari tanah dan hujan.”
Semua diam.
Sengkuni pelan-pelan buka Twitter sambil live-tweet dengan tagar:
#KampusMengabdi #RektorMarah.
Semar berdiri.
“KKN bukan ajang
narsis berjamaah. Tapi sayangnya, terlalu banyak yang menganggapnya begitu.
Mahasiswa sok pahlawan, dosen pembimbing sok nabi moral, kampus sok jadi
benteng kebenaran. Tapi giliran jalan desa rusak, semua pura-pura tak pernah ke
sana.”
******
Di Warung Kopi Kampus
Karangdempel Petruk nyeruput kopi, lalu nyeletuk, “KKN itu kadang cuma beda interpretasi
huruf N, yang satu Nyata dan lainnya Narsis”
Bagong mengangguk,
“Dan kadang dosennya cuma konsultan KKN, datang pas pembekalan, hilang pas
lapangan, nongol lagi pas nilai dibagi.”
Semar tersenyum
miris, memandang langit yang tetap biru meski kampusnya makin gelap oleh ego.
“Kalau kampus
merasa paling tahu segalanya, lalu untuk apa kita ke desa?”
“Anak-anakku,” katanya, “kampus itu suka
merasa seperti superhero. Tapi lupa, nggak semua tempat perlu diselamatkan.
Kadang, desa cuma butuh didengarkan, bukan didiktekan.”
Puntodewo
tertunduk. Duryudana sibuk update Instagram dengan caption, “KKN taught me
humility. #BackToNature #SelflessService.”
Semar pun
tersenyum, lalu berbisik kepada angin: “Semoga kelak, KKN tak hanya jadi Kuliah
Kerja Narsis, tapi benar-benar Nyata.”
Baca selanjutnya: SayembaraPrabu Drupada dan Jobfair
(Sibu Bayan)
No comments:
Post a Comment