Dongeng Sibu Bayan (#011)
Kami terdiam.
Bukan karena nalar—tapi karena otak kami sedang ngunyah omongan ngalor-ngidul
tadi. Rasanya kayak makan sambal mentah: pedes, tapi nampol. Tiba-tiba
terdengar suara, "Tong… tong… tong tong tong… tong tong tong
tong." Delapan kali.
“Lho… kok cuma
delapan?” gumam penulis. Padahal jam tangan sudah pukul sepuluh.
Bagong langsung nyeletuk, “Itu pasti Cungik yang mukul kentongan… anaknya Gareng. Buat dia, waktu itu fleksibel. Hari ini jam 8, besok juga jam 8. Dia nggak terikat konsep waktu. Bagi Cungik, waktu itu opsional… kayak centang syarat & ketentuan. Kalender hidupnya berbasis perasaan.”
“Gong, jangan
ngawur,” kata Petruk. “Gak ngawur Truk. Di Karangdempel ini waktu memang
kesepakatan sosial. Mau sehari 12 jam boleh, 27 jam juga bisa. Kita udah bebas
dari penjajahan waktu,” jawab Bagong sambil nahan ketawa.
Gareng langsung
nyolot, “Gong, jangan kemaki. Anakku Cungik memang kreatif. Bukan kayak kamu,
bacanya buku-buku berat, ujung-ujungnya dipakai ngatain orang.”
“Lho justru itu,
Reng. Aku baca buku bukan biar pinter… tapi biar bisa keliatan pinter. Ini yang
penting. Ilmu itu bukan untuk dipakai, tapi buat gaya. Ini prinsip filsafat
gaya baru,” ujar Bagong, dengan senyum setengah sarkas.
“Filsafat model
apa itu, Gong?” tanya Petruk sambil ngaduk kopi yang sudah tinggal ampas.
“Filsafat praktis. Biar bisa ngomong panjang tapi isinya kosong. Laku keras di
seminar-seminar nasional.”
“Gong, kok jadi
ngomongin filsafat begini? Filsuf sisa promo literasi ya?” celetuk Petruk.
“Betul Truk,”
tambah Gareng. “Makin hari makin gaya… ke mana-mana bawa buku besar kayak
pengembara cari password WiFi desa.”
Tawa pun meledak.
Gareng geleng-geleng.
Bagong lalu angkat
bukunya. Covernya lusuh, tapi hurufnya masih gagah:
“KOPERASI RAKYAT SENG NYATA – Daripada Banyak Wacana, Mending Nyata-nyata
Tindakanya.”
“Ini buku catatan
koperasi. “Nih, Gareng juara utang. Udah kayak atlet. Emasnya lima, peraknya
banyak, lunasnya belum,” ujar Bagong bangga sambil menunjuk kolom angka yang
makin panjang kayak utang negara,” kata Bagong sambil ketawa ngakak.
Semua tertawa,
bahkan Gareng. Karena di Karangdempel, yang penting bukan siapa ngutang, tapi
siapa yang niat bayar.
"Ngimpi
boleh, Mas. Tapi ojo sampe lali yen beras kudu ditanak, ora dicetak!"
("Bermimpi itu boleh, Mas. Tapi jangan sampai lupa kalau beras itu harus
dimasak, bukan dicetak!")
Begitu ucapan Bagong
sebelum lanjut ceramah. Gayanya udah kayak pengamat ekonomi, tapi lebih jujur karena
pakai sandal swallow.
Bagong jawab
santai sambil nyulut dupa, “Aku wis muak, Truk. Tiap minggu ada pelatihan,
seminar, FGD, musrenbang, musrempong, muskesmas... isinya slide dan kata-kata
mutiara.
“Awalnya kita
capek, Mas. Tiap minggu ada seminar: judulnya panjang, isinya entah. Dikasih
pelatihan tentang 'Ketahanan Ekonomi Resilien Berbasis Digitalisasi Lumbung
Lokal', FGD tiga sesi, dan PPT 78 slide penuh jargon, tapi saat pulang, rakyat
cuma dapat satu map, satu bolpoin, dan satu kebingungan. Tetep nyicil LPG, ngejar
minyak curah dan menikmati harga cabai kayak main roller coaster.”
Tapi koperasi Seng
Nyata bukan hanya soal utang. Ia lahir dari rakyat, oleh rakyat, dan buat
rakyat, yang sering ditinggal rapat. Modalnya?, gotong royong. Sumber dayanya?,
niat baik dan ketabahan menghadapi formulir pemerintah. Bonusnya? Batu sakti
pemberian Semar, bernama Watu Rega, batu yang bikin rapat selalu selesai
dan nggak ngelantur ngomongin "big data" padahal belum punya WiFi. Pemantiknya?
Kemarahan kolektif
Maka berdirilah
koperasi ini. Dari rakyat. Oleh rakyat. Untuk rakyat. Tanpa proposal 12
halaman. Tanpa banner. Tanpa kata sambutan 45 menit.
Anggotanya warga Karangdempel
yang profesinya macam-macam, ada petani beneran, tukang tambal ban, janda
tangguh, tukang angon, mbok Jamu, Influencer lokal yang insaf setelah akunnya
di-take down karena endorse pil cinta palsu, termasuk itu, itu dan…itu” kata
Bagong sambil menunjuk Petruk, Gareng dan Semar.
Limbuk penyair
desa jadi bendahara. Laporannya selalu puitis dan berima. ‘Uang masuk sejuta
lima, dibelikan ember dan kopi aroma’
Gareng jadi
pengawas, bukan karena dia anak Semar tapi karena cerewetnya sudah level
nasional. Semar? Duduk tenang, jadi penasihat spiritual dan pengawas moral.
Petruk…tukang tepuk tangan.
****
Koperasi ini
kemudian mengundang rasa penasaran. Bahkan, kabar tentangnya menembus negeri
+62 dan jagad pewayangan
Sampai suatu hari,
datanglah tim berseragam dari negeri +62. Rompinya keren, kombinasi warna merah
putih. Atributnya lengkap. ID card-nya pakai barcode. Mereka memperkenalkan
diri sebagai Tim Fasilitator Program Koperasi Merah Jambu.
“Kami ingin
menjadikan Koperasi Seng Nyata ini sebagai model nasional. Sebagai role model
pemberdayaan ekonomi berbasis semangat gotong royong digital 5.0,” kata salah
satu dari mereka, sambil menunjukkan slide PowerPoint”, begitu tiru Bagong
sambil membusungkan perut.
“Maaf pak, studi
banding boleh. Tapi jangan bawa proposal. Jangan minta selfie. Jangan juga
pakai kata ‘inklusif kolaboratif keberlanjutan’ kalau ujung-ujungnya cuma buat
laporan proyek”.
“Ini koperasi
rakyat, bukan alat uji coba. Kami dengar di kota itu, Koperasi Merah Jambu
malah jadi bahan gosip. Eksekutornya katanya terlibat judol. Bukannya jadi
pelopor ekonomi rakyat, malah jadi bandar togel online. Hadeh…”
“Tahu gak Mas, itu
si rompi merah-putih diam, senyumnya kaku kayak jembatan beton habis dilewatin
truk Odol. “Di sini,” lanjut Bagong, “yang penting bukan akronim, tapi kerja
tulus. Rakyat bukan objek presentasi. Apalagi serapan anggaran.”
“Gong, jangan
kemaki…” sahut Petruk. “Aku bukan kemaki, Truk. Aku hanya realistis… “ kata
Bagong dengan gaya sarkastis, “Mereka lebih terbiasa disambut camat, bukan
disindir rakyat”
****
"Pandawa pun belajar
koperasi disini", lanjut Bagong, "Mereka langsung praktek. Puntodewo datang dengan catatan
filosofi ekonomi, Werkudoro bawa karung beras, Arjuna sibuk dokumentasi, Nakula & Sadewa menyusun SOP yang bisa dipahami oleh nenek-nenek".
“Ini koperasi
rakyat sejati,” kata Puntodewo. “Mereka tidak menunggu instruksi pusat. Mereka
bergerak karena butuh.”
“Tapi tak lama
kemudian, Kurawa juga mampir. Duryudana datang membawa drone dan niat
tak tulus, mirip-mirip tim Merah Jambu dari negeri +62”
“Wah, menarik ini.
Kita angkat ke pusat, bikin branding: Koperasi Merah Jambu Astina Versi
2.0—Berbasis Blockchain, Dikelola AI, dan Siap IPO.”
“Lah, rakyatnya
makan aja masih ngutang, mereka udah ngajak bikin start-up,” timpal Gareng
Penulis dan Petruk
tertawa kecil…namun Bagong tiba-tiba menjadi diam.
“Eh Gong, kenapa
kamu diem aja?” tanya Petruk.
“Aku lagi berpikir filsafati, Truk…” jawab Bagong sok khusyuk.
“Tentang apa?”
“Tentang bangsa ini… yang kalau bikin koperasi, selalu lebih mikirin logo dan
warna rompi, ketimbang nasib anggotanya.”
Semua terdiam. Kecuali
Cungik, yang masih pukul kentongan jam 8.
Di akhir
pertemuan, Bagong menutup bukunya. Ia berkata pelan, tapi cukup keras untuk
menusuk,
“Aku memang bukan
ahli ekonomi, tapi tahu bedanya antara koperasi buat rakyat…dan koperasi buat
proyek.”
“Negara ini butuh
koperasi, bukan kauperasi apalai korupsi. Butuh gotong royong, bukan gosip
proyek. Kalau Koperasi Merah Jambu itu cuma kedok buat proyek pencitraan… ya
rakyat akan bikin sendiri. Seng Nyata. Gak butuh seminar. Gak butuh logo.”
Waktu di
Karangdempel mungkin cuma delapan ketukan, tapi cukup untuk membangunkan mimpi.
Karena koperasi lahir bukan dari tenggat proyek, tapi dari irama hidup yang
dipukul sendiri oleh rakyat.
Dan malam itu, Karangdempel jadi terang bukan karena PLN, tapi karena tawa yang jujur dan tulus.
Cerita selanjutnya : Jalan Pulang dari Karangdempel (Rahasia Pandawa)
No comments:
Post a Comment