Revolusi Jam 8: Falsafah Koperasi Bagong

 Dongeng Sibu Bayan (#011)

(Petruk, Bagong, Gareng)
Jam tangan penulis menunjukkan pukul 22.00. Entah WIB, entah waktu Karangdempel, yang kadang disesuaikan dengan rasa lapar. Belum terlalu larut malam, meski Gareng sudah menguap lebih dari sinyal WiFi di balai desa. Padahal tadi dia yang paling semangat cerita. Keluhannya panjang, mulai dari pupuk subsidi yang lebih sulit dari move on, sampai sinetron kerajaan yang rajanya ganteng tapi kebijakannya nganu. (baca: Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel  dan Save the Earth but First… Let Me Take a Selfie by Petruk)

Kami terdiam. Bukan karena nalar—tapi karena otak kami sedang ngunyah omongan ngalor-ngidul tadi. Rasanya kayak makan sambal mentah: pedes, tapi nampol. Tiba-tiba terdengar suara, "Tong… tong… tong tong tong… tong tong tong tong." Delapan kali.

“Lho… kok cuma delapan?” gumam penulis. Padahal jam tangan sudah pukul sepuluh.

Bagong langsung nyeletuk, “Itu pasti Cungik yang mukul kentongan… anaknya Gareng. Buat dia, waktu itu fleksibel. Hari ini jam 8, besok juga jam 8. Dia nggak terikat konsep waktu. Bagi Cungik, waktu itu opsional… kayak centang syarat & ketentuan. Kalender hidupnya berbasis perasaan.”

“Gong, jangan ngawur,” kata Petruk. “Gak ngawur Truk. Di Karangdempel ini waktu memang kesepakatan sosial. Mau sehari 12 jam boleh, 27 jam juga bisa. Kita udah bebas dari penjajahan waktu,” jawab Bagong sambil nahan ketawa.

Gareng langsung nyolot, “Gong, jangan kemaki. Anakku Cungik memang kreatif. Bukan kayak kamu, bacanya buku-buku berat, ujung-ujungnya dipakai ngatain orang.”

“Lho justru itu, Reng. Aku baca buku bukan biar pinter… tapi biar bisa keliatan pinter. Ini yang penting. Ilmu itu bukan untuk dipakai, tapi buat gaya. Ini prinsip filsafat gaya baru,” ujar Bagong, dengan senyum setengah sarkas.

“Filsafat model apa itu, Gong?” tanya Petruk sambil ngaduk kopi yang sudah tinggal ampas.
“Filsafat praktis. Biar bisa ngomong panjang tapi isinya kosong. Laku keras di seminar-seminar nasional.”

“Gong, kok jadi ngomongin filsafat begini? Filsuf sisa promo literasi ya?” celetuk Petruk.

“Betul Truk,” tambah Gareng. “Makin hari makin gaya… ke mana-mana bawa buku besar kayak pengembara cari password WiFi desa.”

Tawa pun meledak. Gareng geleng-geleng.

Bagong lalu angkat bukunya. Covernya lusuh, tapi hurufnya masih gagah:
“KOPERASI RAKYAT SENG NYATA – Daripada Banyak Wacana, Mending Nyata-nyata Tindakanya.”

“Ini buku catatan koperasi. “Nih, Gareng juara utang. Udah kayak atlet. Emasnya lima, peraknya banyak, lunasnya belum,” ujar Bagong bangga sambil menunjuk kolom angka yang makin panjang kayak utang negara,” kata Bagong sambil ketawa ngakak.

Semua tertawa, bahkan Gareng. Karena di Karangdempel, yang penting bukan siapa ngutang, tapi siapa yang niat bayar.

"Ngimpi boleh, Mas. Tapi ojo sampe lali yen beras kudu ditanak, ora dicetak!"
("Bermimpi itu boleh, Mas. Tapi jangan sampai lupa kalau beras itu harus dimasak, bukan dicetak!")

Begitu ucapan Bagong sebelum lanjut ceramah. Gayanya udah kayak pengamat ekonomi, tapi lebih jujur karena pakai sandal swallow.

Bagong jawab santai sambil nyulut dupa, “Aku wis muak, Truk. Tiap minggu ada pelatihan, seminar, FGD, musrenbang, musrempong, muskesmas... isinya slide dan kata-kata mutiara.

“Awalnya kita capek, Mas. Tiap minggu ada seminar: judulnya panjang, isinya entah. Dikasih pelatihan tentang 'Ketahanan Ekonomi Resilien Berbasis Digitalisasi Lumbung Lokal', FGD tiga sesi, dan PPT 78 slide penuh jargon, tapi saat pulang, rakyat cuma dapat satu map, satu bolpoin, dan satu kebingungan. Tetep nyicil LPG, ngejar minyak curah dan menikmati harga cabai kayak main roller coaster.”

Tapi koperasi Seng Nyata bukan hanya soal utang. Ia lahir dari rakyat, oleh rakyat, dan buat rakyat, yang sering ditinggal rapat. Modalnya?, gotong royong. Sumber dayanya?, niat baik dan ketabahan menghadapi formulir pemerintah. Bonusnya? Batu sakti pemberian Semar, bernama Watu Rega, batu yang bikin rapat selalu selesai dan nggak ngelantur ngomongin "big data" padahal belum punya WiFi. Pemantiknya? Kemarahan kolektif

Maka berdirilah koperasi ini. Dari rakyat. Oleh rakyat. Untuk rakyat. Tanpa proposal 12 halaman. Tanpa banner. Tanpa kata sambutan 45 menit.

Anggotanya warga Karangdempel yang profesinya macam-macam, ada petani beneran, tukang tambal ban, janda tangguh, tukang angon, mbok Jamu, Influencer lokal yang insaf setelah akunnya di-take down karena endorse pil cinta palsu, termasuk itu, itu dan…itu” kata Bagong sambil menunjuk Petruk, Gareng dan Semar.

Limbuk penyair desa jadi bendahara. Laporannya selalu puitis dan berima. ‘Uang masuk sejuta lima, dibelikan ember dan kopi aroma’

Gareng jadi pengawas, bukan karena dia anak Semar tapi karena cerewetnya sudah level nasional. Semar? Duduk tenang, jadi penasihat spiritual dan pengawas moral. Petruk…tukang tepuk tangan.

****

Koperasi ini kemudian mengundang rasa penasaran. Bahkan, kabar tentangnya menembus negeri +62 dan jagad pewayangan

Sampai suatu hari, datanglah tim berseragam dari negeri +62. Rompinya keren, kombinasi warna merah putih. Atributnya lengkap. ID card-nya pakai barcode. Mereka memperkenalkan diri sebagai Tim Fasilitator Program Koperasi Merah Jambu.

“Kami ingin menjadikan Koperasi Seng Nyata ini sebagai model nasional. Sebagai role model pemberdayaan ekonomi berbasis semangat gotong royong digital 5.0,” kata salah satu dari mereka, sambil menunjukkan slide PowerPoint”, begitu tiru Bagong sambil membusungkan perut.

“Maaf pak, studi banding boleh. Tapi jangan bawa proposal. Jangan minta selfie. Jangan juga pakai kata ‘inklusif kolaboratif keberlanjutan’ kalau ujung-ujungnya cuma buat laporan proyek”.

“Ini koperasi rakyat, bukan alat uji coba. Kami dengar di kota itu, Koperasi Merah Jambu malah jadi bahan gosip. Eksekutornya katanya terlibat judol. Bukannya jadi pelopor ekonomi rakyat, malah jadi bandar togel online. Hadeh…”

“Tahu gak Mas, itu si rompi merah-putih diam, senyumnya kaku kayak jembatan beton habis dilewatin truk Odol. “Di sini,” lanjut Bagong, “yang penting bukan akronim, tapi kerja tulus. Rakyat bukan objek presentasi. Apalagi serapan anggaran.”

“Gong, jangan kemaki…” sahut Petruk. “Aku bukan kemaki, Truk. Aku hanya realistis… “ kata Bagong dengan gaya sarkastis, “Mereka lebih terbiasa disambut camat, bukan disindir rakyat”

****

"Pandawa pun belajar koperasi disini", lanjut Bagong, "Mereka langsung praktek. Puntodewo datang dengan catatan filosofi ekonomi, Werkudoro bawa karung beras, Arjuna sibuk dokumentasi, Nakula & Sadewa menyusun SOP yang bisa dipahami oleh nenek-nenek".

“Ini koperasi rakyat sejati,” kata Puntodewo. “Mereka tidak menunggu instruksi pusat. Mereka bergerak karena butuh.”

“Tapi tak lama kemudian, Kurawa juga mampir. Duryudana datang membawa drone dan niat tak tulus, mirip-mirip tim Merah Jambu dari negeri +62”

“Wah, menarik ini. Kita angkat ke pusat, bikin branding: Koperasi Merah Jambu Astina Versi 2.0—Berbasis Blockchain, Dikelola AI, dan Siap IPO.”

“Lah, rakyatnya makan aja masih ngutang, mereka udah ngajak bikin start-up,” timpal Gareng

Penulis dan Petruk tertawa kecil…namun Bagong tiba-tiba menjadi diam.

“Eh Gong, kenapa kamu diem aja?” tanya Petruk.
“Aku lagi berpikir filsafati, Truk…” jawab Bagong sok khusyuk.
“Tentang apa?”
“Tentang bangsa ini… yang kalau bikin koperasi, selalu lebih mikirin logo dan warna rompi, ketimbang nasib anggotanya.”

Semua terdiam. Kecuali Cungik, yang masih pukul kentongan jam 8.

Di akhir pertemuan, Bagong menutup bukunya. Ia berkata pelan, tapi cukup keras untuk menusuk,

“Aku memang bukan ahli ekonomi, tapi tahu bedanya antara koperasi buat rakyat…dan koperasi buat proyek.”

“Negara ini butuh koperasi, bukan kauperasi apalai korupsi. Butuh gotong royong, bukan gosip proyek. Kalau Koperasi Merah Jambu itu cuma kedok buat proyek pencitraan… ya rakyat akan bikin sendiri. Seng Nyata. Gak butuh seminar. Gak butuh logo.”

Waktu di Karangdempel mungkin cuma delapan ketukan, tapi cukup untuk membangunkan mimpi. Karena koperasi lahir bukan dari tenggat proyek, tapi dari irama hidup yang dipukul sendiri oleh rakyat.

Dan malam itu, Karangdempel jadi terang bukan karena PLN, tapi karena tawa yang jujur dan tulus.

(Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya : Jalan Pulang dari Karangdempel (Rahasia Pandawa)

No comments:

Post a Comment