Kuliah Kerja Nyata: Epos Kampus Karangdempel (bagian #1)

 Dongen Sibu Bayan (#013)

(Gunungan)

Setelah meninggalkan padukuhan Karangdempel, penulis kembali kedunia  realitas menyusuri jalur Selatan Jawa Timur. Saat melewati desa perbatasan Blitar-Malang, penulis dikejutkan dengan perjumpaan tugu Semar di perempatan jalan Dusun Gondangrejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Patung Semar diatas tugu nampak sederhana, khas sesuai dengan karakter Kyai Semar yang baru dijumpai di universe lain.

Di bawah tugu Semar penulis melihat anak-anak muda berjaket almamater biru dari kampus terkenal di negeri +62. Mereka sepertinya sedang sibuk berfoto dengan wajah-wajah yang sumringah dan penuh dengan canda tawa. Peristiwa ini membawa penulis berimajinasi tentang KKN Kampus Karangdempel. Meski padukuhan kecil,  oleh warganya sering disebut sebagai ‘kampus’

*****

Kampus Karangdempel, satu-satunya kampus di Nusantara yang akreditasinya ditentukan bukan oleh BAN-PT, tapi oleh Dewan Para Dewa. Rektornya, Semar, lulusan S9 Kehidupan, doktor dalam Ilmu Kebijaksanaan, spesialisasi: Ngomong Sedikit Tapi Ngena. Rektor kampus ini bukan manusia biasa, Semar adalah sang punakawan agung, guru kehidupan, dan master of everything dari alam pewayangan. Kampus Karangdempel dikenal dengan tagline-nya: "Mendidik Calon Pandita, Mengabdi pada Desa!" Sebuah tagline yang lebih sering jadi bahan meme daripada jadi inspirasi. Punakawan sepuh ini dipaksa jadi rektor karena kampus butuh citra “merakyat”. Di balik senyumnya yang teduh, Semar menyimpan lelah menghadapi dunia akademik yang lebih gemar membangun menara gading ketimbang jembatan menuju realitas. (baca juga: Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel)

Sebelum jadi mahasiswa Karangdempel, para Pandawa dan Kurawa sempat dididik oleh Durna, guru legendaris dengan metode pengajaran yang sangat… ‘klasik’. Durna adalah sosok yang percaya bahwa ilmu harus diajarkan lewat hafalan dan ancaman. Adapun Kurawa mendapat tambahan pendidikan dari Sengkuni, konsultan manipulasi dan spesialis opini publik. Kadang-kadang nyambi jadi dosen di Kampus Karangdempel, demi keponakan. Kombinasi yang sempurna untuk mencetak lulusan penuh percaya diri dan minim empati.

Setelah menempuh enam semester penuh perjuangan, mulai dari laporan praktikum, seminar proposal sampai drama rebutan lab komputer, para mahasiswa angkatan Hastina 2025 dinyatakan layak turun gunung. Ini adalah tahap yang harus dilalui dan dikenal sebagai KKN: Kuliah Kerja Nyata.

“Anak-anakku, KKN bukan singkatan dari Keluyuran-Keluyuran Nggak jelas,” ujar Semar sambil mengoles minyak kayu putih ke pelipis. “Kalian akan turun ke desa, membawa ilmu, membawa semangat, dan jangan lupa... bawa charger HP masing-masing!”

 “Mahasiswa itu agen perubahan,” kata Semar sambil mengelus kuncung rambutnya. “Maka pergilah ke pelosok negeri. Temukan potensi. Temenin masyarakat… walau tak diminta.”

*****

Para mahasiswa dikumpulkan di aula yang lebih sering dipakai untuk wisuda dadakan ketimbang diskusi ilmiah. Di hadapan mereka berdiri Dr. Limbuk, M.Kn (Magister Kenyinyiran), dosen pembimbing KKN yang sudah tujuh kali ikut KKN tapi belum pernah benar-benar menginjak lumpur sawah.

“Anak-anak, KKN itu bukan jalan-jalan. Tapi jangan juga terlalu serius, ntar stres,” katanya dengan gaya orasi ambigu khas pejabat kampus yang ingin dianggap santai tapi berwibawa.

Di pojok, Duryudana dan geng Kurawa sudah nyusun rencana: bikin konten TikTok di bale desa, bikin logo tim dengan nama “KKNpreneurs”, dan pesan banner bertuliskan “Kami Datang untuk Membawa Perubahan”, meski belum tahu perubahan apa.

Sementara Pandawa, walau niatnya lebih baik, tetap tak luput dari penyakit akademia, menganggap masyarakat desa seperti halaman kosong yang siap ditulisi teori dari kampus.

“Desanya belum tahu apa itu SWOT analysis? Wah ini peluang!” ujar Arjuna, sambil menyusun program kerja penuh istilah asing agar terlihat visioner.

Tibalah keynote speaker memberikan kuliah pembekalan level nasional yang berjudul “Membangun dari Pinggiran Bersama Kampus Unggul” sebuah judul yang panjangnya melebihi durasi pematerinya berbicara.

Di depan layar proyektor, hadir pembicara dari pusat studi pembangunan desa kampus Karangdempel: Dr. Togog Setia Mulya, M.Ed, M.Hum, M.PokoknyaBanyak. Kuliah ini dilakukan hybrid. Banyak mahasiswa yang online..entah sedang dimana, apakah mereka serius mendengar atau hanya sekedar memenuhi kewajiban untuk dapat golden ticket KKN.

“Anak-anak,” ujarnya penuh kharisma seperti pendeta data statistik, “Ingat, desa itu penuh masalah! Maka tugas kalian adalah mengidentifikasi permasalahan, lalu hadir sebagai solusi!”

Seluruh peserta mengangguk. Sebagian mencatat, sebagian sibuk memperbaiki latar Zoom biar nggak kelihatan jemuran di belakang.

“Lakukan observasi! Tanya warga! Apakah mereka tahu apa itu branding?”

Lalu ditampilkan video success story: sekelompok mahasiswa yang “mengubah nasib desa” hanya karena berhasil mengganti nama produk keripik singkong dari “Kripik Nini” jadi “KriPikz by Nini™”.

“Dampak sosial dan ekonomi langsung naik!” kata narator video, padahal tidak dijelaskan naiknya berapa, dan siapa yang menghitung.

Seorang mahasiswa nyeletuk di pojok: “Kalau desa itu penuh masalah, kenapa banyak orang kota beli tanah dan bikin vila di sana ya?”

Tapi pertanyaan itu segera dikubur di antara slide “Teori Inovasi Sosial Berbasis Empowerment Melalui Intervensi Lintas-Sektor”.

Lanjut ke bagian #2: Kuliah Kerja Nyata: Epos Kampus Karangdempel (bagian #2)


No comments:

Post a Comment