Dongeng Sibu Bayan (#010)
(Kyai
Semar, Gareng, Petruk dan Bagong)
Hari ini penulis dengan tidak terpaksa menginap di Dukuh Karangdempel. Selain karena sudah malam, arah menuju jalur lintas selatan Blitar–Malang entah ke mana perginya. Mungkin GPS ikut moksa. Entah sekarang ini berada di universe mana…(baca: Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel)
Sebuah pondok
kecil di samping joglo tua telah disediakan oleh Kyai Semar dan keluarganya.
Selepas mandi dan rebahan sebentar, penulis kembali duduk di tengah joglo,
menikmati pisang rebus dan kopi pahit yang nendangnya bisa menghidupkan ingatan
masa kecil.
Lampu minyak jarak menyala redup. Terdengar langkah kaki menyentuh lantai joglo. Dua bayangan panjang seperti angka sepuluh muncul dari pintu, tanda khas pasangan abadi, Petruk dan Bagong.
Suara Petruk
berat, seperti radio tua yang volumenya suka loncat sendiri. Ia masuk sambil
menggulung lengan bajunya, duduk seenaknya, dan langsung menuang dari kendi.
“Iki wedang jahe,
Mas. Organik, bebas pestisida, penuh cinta… tapi ya botolan, beli di warung
Mbok Sri. Hehehe.”
Bagong menyela
sambil ngucek mata.
“Aku tadi tidur di
lumbung, Mas. Jam dua dini hari ada yang ngelamar pohon jati. Disangka tiang
Wi-Fi. Katanya,‘Komunitas Peluk Alam Tanpa Jarak’. Kemarin ‘Komunitas
Menanam Harapan’. Lusa mungkin ‘Komunitas Menanam Wi-Fi di Sawah’!”
Petruk nyengir.
Giginya ngintip sedikit.
“Sekarang sawah
bukan cuma tempat nanam padi, Mas. Tapi juga nanam ilusi. Komunitas-komunitas
datang, bikin program: ‘Sawah Literasi Berbasis Selfie’, ‘Ladang
Estetik Ramah Iklim’, dan ‘Ngopi di Tengah Musim Tanam’. Lah, ngopi
yo ngopi, tapi ojo numpak traktor!”
“Ketua
komunitasnya sarjana baru dari institut pertanian yang kini jadi university…kataya
biar keren. Baru dua kali lihat sapi, langsung bikin thread: ‘Betapa
dekatnya aku dengan alam. Sapi menatapku seperti ibu menatap anak pulang.’
Lah, sapi itu ngiler, Mas. Bukan melankolis.”
Bagong ngakak
sampai hampir keselek pisang.
“Iyo, Truk. Aku
juga diajak bikin konten. Disuruh pura-pura jadi petani, padahal aku cocoknya
jadi tukang masak dapur Kumbakarna. Caping dipasang, disuruh nanem... eh
ternyata tanahnya tanah liat mainan! Cuma buat foto. Sorenya dibongkar. Terus
dibilang: ‘Kami telah menyatu dengan proses pertanian alami.’ Sopo sing
nyatu? Sopo sing ngaku-ngaku?”
Petruk makin
semangat.
“Yang paling bikin
aku mewek: mereka pasang plang gede di pematang sawah, tulisannya: ‘Zona
Inspirasi Pandawa’. Lah iya sih… Karangdempel ini memang dulu tempat para
kesatria muda. Tapi bukan buat konten TikTok!”
“Puntodewo remaja
belajar ngatur air dari embung ke parit. Werkudoro narik bajak sampai bahunya pegal
tapi gak ngeluh. Arjuna duduk diam, nembak daun jati dari 50 meter pakai mata
batin. Nakula-Sadewa? Mereka belajar nyangkul! Satu-satunya kembar yang hafal
siklus tanam tanpa buka Google.”
Bagong nyeletuk,
“Lha Kurawa, Truk? Mereka ikut tanam juga?”
“Wah, Kurawa ikut
juga. Tapi gaya! Bawa drone, tripod, tenda warna neon. Pasang spanduk: ‘Festival
Sawah Raya #KesatriaContent’. Tapi pas panen? Mereka udah balik ke hotel.
Nulis caption: ‘Kami belajar dari rakyat kecil.’ Rakyat kecil opo kuwi.
Sawah dipijak, panennya ditinggal.”
Bagong tiba-tiba berdiri, pura-pura orasi,
“Petani bukan background,
saudara-saudara! Jangan jadikan lumbung kami sebagai lokasi syuting film
festival rasa organik!”
Petruk ketawa
miring dan getir.
“Ada juga
komunitas ‘Save the Earth but First… Let Me Take a Selfie’. Lah sawahku
disulap jadi taman bunga ala Korea. Ada papan LOVE FARM, ayunan tengah
lumpur. Pas banjir datang, yang muncul cuma Google Form.”
“Aku udah bilang, sawah
bukan studio. Irigasi bukan filter. Petani bukan cameo. Kalau mau bantu, turun!
Kalau cuma mau numpang caption bijak, mending selfie sama rumput sintetis di
mal.”
Tiba-tiba
terdengar suara langkah cepat dari luar joglo. Rupanya om Gareng muncul kembali
membawa singkong rebus dan langsung menyela,
“Lhaaa... lhaaa...
iki piye to, Truk? Wong mlayu kesasar kok malah direwangi ceramah. Kowe ki
ngrasani komunitas, ngaku-ngaku niru Pandawa, terus njupuk panggung kayak
ratu!”
Petruk bengong
sesaat, lalu nyengir.
“Lho, Reng... aku
iki kan cuma nyeritakake realita. Kan aku warga asli Karangdempel...”
Gareng langsung
memotong sambil duduk di antara kendi dan pisang rebus.
“Warga asli
ndasmu! Kowe ki lahir di celengan dalang keliling. Baru dua bulan reinkarnasi ngaku
dusun heritage, sekarang ceramah soal petani, Pandawa, dan konten TikTok. Emang
kowe mau jadi apa? Duta Embun Karangdempel?”
Bagong cekikikan,
sampai singkong rebus hampir nyangkut di tenggorokan.
Gareng terus
nyerocos, matanya melirik ke penulis.
“Mas, jangan
gampang kena hipnotis Petruk. Kata-katanya manis kayak gula Jawa, tapi dalemnya
kayak tape basi. Sok bijak, sok ngerti desa, padahal kalo diajak nanem padi,
baru lima menit udah ngeluh: ‘Lumpurnya gak organik.’ Petruk ini cocok e dadi
pemandu tur sawah, bukan guru bangsa!”
Petruk memutar
mata.
“Wah, Gareng ki
iri hati. Aku lagi naik daun, dikit-dikit dibilang influencer lokal.
Kowe kapan trending?”
Gareng mendengus.
“Trending ora
penting, Truk. Yang penting keringat petani ora disulap jadi konten. Yang
penting Karangdempel ora jadi lokasi fashion week lumpur! Wis to,
mending kowe istirahat. Gak usah ngaku-ngaku jadi pembisik Pandawa!”
Kyai Semar yang
masih bersarung handuk dari kamar mandi di sudut luar joglo ikut bersuara.
Tenang, tapi mantap,
“Anakku…
Karangdempel dulu bukan sekadar ladang. Ini kawah candradimuka. Tempat bocah
belajar, bukan cuma jadi pandai, tapi ngerti rasa. Pandawa lulus bukan karena
sakti, tapi karena tahu kapan harus diam, kapan harus kerja.”
Bagong
manggut-manggut sambil makan pisang yang dikiranya pisang terakhir.
“Tapi Romo, kalau
nanti ada workshop ‘Mendengarkan Suara Embun’, embunnya bisa kita suruh
pakai mic, ya? Soalnya sinyal embun susah ditangkap tanpa audio mixer!”
Petruk melempar
sandal ke arah Bagong. Meleset. Semar tertawa panjang. Malam makin dingin. Tapi
suasana hangat, seperti ladang yang baru selesai digarap dan siap menumbuhkan
harapan.
Petruk menatap
penulis dengan senyum setengah sinis, setengah sayang:
“Jadi, Mas... kalau kau nyasar ke Karangdempel, jangan anggap ini kesalahan arah. Anggap saja ini panggilan. Untuk menyimak, apa artinya menjadi manusia. Tempat ini pernah menempa Pandawa dan Kurawa. Dan malam ini... mungkin sedang mencoba menempa kita.” (lanjut baca: Revolusi Jam 8: Falsafah Koperasi Bagong)
(Sibu Bayan)
No comments:
Post a Comment