Dongeng Sibu Bayan (#008)
Perjalanan penulis sudah sampai di Tulungagung yang siang
itu panasnya menggigit. Penulis mampir di sebuah warung makan sederhana di
pinggir jalan. Niatnya cuma pengin numpang kenyang, tapi malah jadi pengalaman
spiritual. Di depan penulis terhidang sepiring nasi dengan kuah kuning
keemasan, kental, harum, dan menggoda iman. "Lodho, Mas. Masakan khas
sini. Gimana... maknyus, kan?" sapa ibu pemilik warung.
Penulis mendongak. Ibu ini anggun, tutur katanya
lembut tapi mantap. Senyumnya adem. Dalam hati Penulis berkata, "Ibu ini
lebih cocok jadi ibu negara daripada jualan di warung begini." Tapi hidup
di negeri +62 memang suka bercanda. Yang layak memimpin malah ngulek sambal,
yang doyan korup malah naik jabatan.
"Bu, ini Lodho enak banget. Rasanya kaya opor
tapi lebih nyambung sama nasi."
"Iya, Mas. Dulu saya belajar masak waktu hidup di
pengasingan. Nemenin anak-anak saya ngungsi, tidur di hutan, makan seadanya. Lodho
ini resep warisan masa susah."
Dalam hati penulis membatin. “Ibu ini siapa sih
sebenarnya?”
Seolah mengerti bahasa batin penulis, beliau tersenyum, lalu matanya menerawang jauh.
"Saya ini... Kunti. Ibu dari Pandawa."
Penulis nyaris nyedak tulang ayam. "Maksudnya...
Pandawa yang itu? Yang di pewayangan?"
"Iya, Mas. Tapi dewa menurunkan saya lagi ke bumi
+62, katanya selain menebus karma, juga supaya bisa lihat sendiri gimana nasib
rakyat zaman sekarang. Saya pikir saya siap. Ternyata... lebih keras dari hutan
Ekacakra"
Penulis terdiam. Ibu Kunti melanjutkan ceritanya,
seolah membuka kembali bab yang lama terkunci dalam memori sejarah.
"Waktu itu, Mas, habis tragedi Bale Sigala-gala. Anak-anak saya masih remaja. Dikhianati keluarga sendiri. Dibuang ke dalam istana yang dibakar hidup-hidup. Untungnya, kami selamat lewat terowongan rahasia. Tapi sejak itu, kami harus hidup menyamar, berpindah dari satu desa ke desa lain." (baca juga Pandito Durno, Dosen Tersesat di Negeri +62 dan Tragedi Bale Sigala-gala)
Penulis membayangkan anak-anak ABG harus kabur ke
hutan, tanpa gadget, tanpa ojek online, tanpa skincare. Kacau.
"Kami ke Ekacakra, hidup di gubuk pinggir hutan. Puntodewo
jadi pendeta kecil, kadang jadi motivator anak-anak desa. Arjuna mengajar silat
dan berlatih panahan. Werkudoro kerja kasar, kadang jadi pande besi. Dan si
kembar, Nakula-Sadewa, bantu saya masak, ngumpulin kayu bakar, ngurus logistik
harian. Mereka itu paling rajin. Satu motong daun pisang, satu lagi cari air
bersih."
"Waktu itu,” lanjutnya, “di Ekacakra, ada
raksasa. Namanya Bakasura. Minta upeti manusia tiap hari. Orang-orang takut.
Tapi Werkudoro, anak saya yang badannya kayak kulkas dua pintu, bilang, ‘Bu,
saya yang antar upeti kali ini.’ Akhirnya, dia berangkat. Dan... raksasa itu
pun dihabisinya hanya pakai tangan kosong. Daging upetinya malah dia bawa
pulang."
Penulis melongo. “Itu baru laki-laki!”
"Iya, Mas. Saya ajarkan mereka untuk melindungi,
bukan menindas. Tapi sekarang, anak muda baru naik jabatan dikit, langsung
nyuruh orang angkat sepatu."
Penulis tertawa miris. “Beda kelas ya, Bu.”
"Bukan cuma beda kelas, Mas. Tapi beda didikan.
Saya ajari anak-anak saya hidup dari bawah. Gak pakai fasilitas. Gak ada
privilege. Mereka makan ubi, bukan sushi. Mereka tidur di tikar, bukan hotel
bintang lima. Tapi dari situ mereka belajar kuat. Empati. Dan tanggung
jawab."
Ibu Kunti menghela napas panjang. “Mas.. sekarang
banyak anak pejabat yang tiba-tiba jadi komisaris, influencer, anggota dewan,
padahal baru lulus kuliah. Itulah bedanya Pandawa dan ‘ordal generation’ zaman
sekarang. Anak saya berjuang dari titik nol. Anak sekarang, tinggal posting di
IG, eh... besoknya udah jadi duta digital literasi."
“Kadang mereka minta dihormati cuma karena punya
bapak."
"Padahal hormat itu bukan diwariskan, Mas. Tapi
diperjuangkan. Arjuna belajar memanah bertahun-tahun, bukan karena dia anak
raja, tapi karena dia mau. Puntodewo berlatih kejujuran walau sering rugi. Werkudoro
kerja keras, bukan minta jatah proyek. Nakula-Sadewa? Mereka gak minta jadi
viral. Cukup bisa bantu orang desa dan bikin ibu mereka bangga."
Penulis tercenung. Betapa jauhnya nilai-nilai itu dari
realitas hari ini.
"Saya tidak anti anak pejabat," lanjutnya.
"Tapi kalau semua jalan hidupnya sudah disiapkan, terus kapan mereka
belajar jatuh? Kalau mereka gak pernah jatuh, terus kapan belajar bangun?"
Penulis mendesah pelan. “Berarti Ibu gak percaya anak
orang kaya bisa sukses karena kerja keras?”
“Oh bisa, Mas. Tapi itu kayak hujan deras di musim
kemarau, langka. Kebanyakan ya karena ordal. Ordal tuh ibarat jimat di negeri
ini. Mau jadi wakil presiden, wakil rakyat, pejabat, atau content creator
dadakan, asal punya ordal... langit pun bukan batasnya.”
Kami tertawa bersama, walau tawa itu getir.
Penulis nyeruput teh. Masih hangat. Tapi hati ini
makin dingin melihat kenyataan yang disorot Ibu Kunti.
“Ibu sendiri gimana mendidik mereka waktu itu?”
“Wah, berat, Mas. Saya bukan cuma ibu, tapi juga guru,
pelatih, psikolog, dan kadang jadi tukang pijat. Saya ajari mereka soal harga
diri, tentang pentingnya menjaga laku, bukan jaga citra. Puntodewo saya ajari
jujur meskipun bikin hidup susah. Arjuna saya ajari fokus, supaya gak gampang
goyah sama pujian. Dan Werkudoro? Saya ajari dia cara menyalurkan marah jadi
kekuatan buat lindungi yang lemah.”
"Nakula dan Sadewa itu anak paling kalem. Tapi
mereka punya rasa hormat luar biasa. Mereka gak pernah merasa paling tahu,
meski banyak tahu. Mereka ngerti kapan harus bicara, kapan cukup bekerja. Anak
sekarang... baru hafal satu pasal, udah buka kelas motivasi." “Nakula juga
pinter meracik ramuan. Kalau ada yang demam, dia buatkan obat dari daun-daunan.
Sadewa juga pinter prediksi cuaca. Pernah bilang, ‘Bu, sore bakal hujan, simpan
jemuran! dan beneran hujan. Anak-anak sekarang kalah, yang bisa mereka prediksi
cuma jadwal diskon e-commerce.”
“Anak-anak gak pernah nanya, ‘Bu, kapan kita viral?’
atau ‘Bu, kapan kita beli Alphard?’ Nanyanya cuma, ‘Bu, besok kita makan apa?’dan
meskipun kadang jawabannya cuma ubi rebus, mereka tetap bersyukur. Gak kayak
anak pejabat sekarang, baru dikasih nasi padang tanpa rendang langsung bikin
status: ‘Disiksa batin secara struktural oleh sistem keluarga kapitalistik.’”
Ia tersenyum. "Saya bukan ibu sempurna, Mas. Tapi saya percaya, anak-anak harus diajari hidup tanpa mengandalkan warisan. Mereka harus bisa merasa lapar, supaya tahu nikmatnya memberi. Harus pernah dihina, supaya tahu pentingnya harga diri. Harus capek, supaya tahu bahwa hasil tak datang dari rebahan."
Tiba-tiba penulis jadi ingat akun-akun flexing di
media sosial. Pamer mobil, pamer tas, pamer jabatan dan kesuksesan.
Saya habiskan Lodho di piring saya. "Bu, makasih
ya ceritanya. Saya belajar banyak dari Ibu hari ini."
Ibu Kunti tertawa lembut. "Sama-sama, Mas. Tapi
jangan cuma kenyang di perut ya. Kenyang juga di hati. Oh ya Mas, anak-anak jangan dikasih semua, biar mereka juga punya sejarah dan ceritanya sendiri."
Siapa sangka, sepiring Lodho bisa mengantarkan saya
pada kisah perjuangan, satir kehidupan, dan nasihat penuh hikmah dari seorang
ibu legendaris, yang kini berdiri di balik dapur warung kecil di Tulungagung.
Di negeri +62 ini, terkadang yang paling bijak bukan yang bersuara paling
keras, tapi yang diam-diam memasak dengan cinta dan sejarah di ujung sendoknya.
(Sibu Bayan)
Cerita berikutnya: Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel
No comments:
Post a Comment