Nasi Lodho Ibu Kunti di Negeri +62

 Dongeng Sibu Bayan (#008)

(Ibu Kunti)

Perjalanan penulis sudah sampai di Tulungagung yang siang itu panasnya menggigit. Penulis mampir di sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Niatnya cuma pengin numpang kenyang, tapi malah jadi pengalaman spiritual. Di depan penulis terhidang sepiring nasi dengan kuah kuning keemasan, kental, harum, dan menggoda iman. "Lodho, Mas. Masakan khas sini. Gimana... maknyus, kan?" sapa ibu pemilik warung.

Penulis mendongak. Ibu ini anggun, tutur katanya lembut tapi mantap. Senyumnya adem. Dalam hati Penulis berkata, "Ibu ini lebih cocok jadi ibu negara daripada jualan di warung begini." Tapi hidup di negeri +62 memang suka bercanda. Yang layak memimpin malah ngulek sambal, yang doyan korup malah naik jabatan.

"Bu, ini Lodho enak banget. Rasanya kaya opor tapi lebih nyambung sama nasi."

"Iya, Mas. Dulu saya belajar masak waktu hidup di pengasingan. Nemenin anak-anak saya ngungsi, tidur di hutan, makan seadanya. Lodho ini resep warisan masa susah."

Dalam hati penulis membatin. “Ibu ini siapa sih sebenarnya?”

Seolah mengerti bahasa batin penulis, beliau tersenyum, lalu matanya menerawang jauh.

"Saya ini... Kunti. Ibu dari Pandawa."

Penulis nyaris nyedak tulang ayam. "Maksudnya... Pandawa yang itu? Yang di pewayangan?"

"Iya, Mas. Tapi dewa menurunkan saya lagi ke bumi +62, katanya selain menebus karma, juga supaya bisa lihat sendiri gimana nasib rakyat zaman sekarang. Saya pikir saya siap. Ternyata... lebih keras dari hutan Ekacakra"

Penulis terdiam. Ibu Kunti melanjutkan ceritanya, seolah membuka kembali bab yang lama terkunci dalam memori sejarah.

"Waktu itu, Mas, habis tragedi Bale Sigala-gala. Anak-anak saya masih remaja. Dikhianati keluarga sendiri. Dibuang ke dalam istana yang dibakar hidup-hidup. Untungnya, kami selamat lewat terowongan rahasia. Tapi sejak itu, kami harus hidup menyamar, berpindah dari satu desa ke desa lain." (baca juga Pandito Durno, Dosen Tersesat di Negeri +62 dan Tragedi Bale Sigala-gala)

Penulis membayangkan anak-anak ABG harus kabur ke hutan, tanpa gadget, tanpa ojek online, tanpa skincare. Kacau.

"Kami ke Ekacakra, hidup di gubuk pinggir hutan. Puntodewo jadi pendeta kecil, kadang jadi motivator anak-anak desa. Arjuna mengajar silat dan berlatih panahan. Werkudoro kerja kasar, kadang jadi pande besi. Dan si kembar, Nakula-Sadewa, bantu saya masak, ngumpulin kayu bakar, ngurus logistik harian. Mereka itu paling rajin. Satu motong daun pisang, satu lagi cari air bersih."

"Waktu itu,” lanjutnya, “di Ekacakra, ada raksasa. Namanya Bakasura. Minta upeti manusia tiap hari. Orang-orang takut. Tapi Werkudoro, anak saya yang badannya kayak kulkas dua pintu, bilang, ‘Bu, saya yang antar upeti kali ini.’ Akhirnya, dia berangkat. Dan... raksasa itu pun dihabisinya hanya pakai tangan kosong. Daging upetinya malah dia bawa pulang."

Penulis melongo. “Itu baru laki-laki!”

"Iya, Mas. Saya ajarkan mereka untuk melindungi, bukan menindas. Tapi sekarang, anak muda baru naik jabatan dikit, langsung nyuruh orang angkat sepatu."

Penulis tertawa miris. “Beda kelas ya, Bu.”

"Bukan cuma beda kelas, Mas. Tapi beda didikan. Saya ajari anak-anak saya hidup dari bawah. Gak pakai fasilitas. Gak ada privilege. Mereka makan ubi, bukan sushi. Mereka tidur di tikar, bukan hotel bintang lima. Tapi dari situ mereka belajar kuat. Empati. Dan tanggung jawab."

Ibu Kunti menghela napas panjang. “Mas.. sekarang banyak anak pejabat yang tiba-tiba jadi komisaris, influencer, anggota dewan, padahal baru lulus kuliah. Itulah bedanya Pandawa dan ‘ordal generation’ zaman sekarang. Anak saya berjuang dari titik nol. Anak sekarang, tinggal posting di IG, eh... besoknya udah jadi duta digital literasi."

“Kadang mereka minta dihormati cuma karena punya bapak."

"Padahal hormat itu bukan diwariskan, Mas. Tapi diperjuangkan. Arjuna belajar memanah bertahun-tahun, bukan karena dia anak raja, tapi karena dia mau. Puntodewo berlatih kejujuran walau sering rugi. Werkudoro kerja keras, bukan minta jatah proyek. Nakula-Sadewa? Mereka gak minta jadi viral. Cukup bisa bantu orang desa dan bikin ibu mereka bangga."

Penulis tercenung. Betapa jauhnya nilai-nilai itu dari realitas hari ini.

"Saya tidak anti anak pejabat," lanjutnya. "Tapi kalau semua jalan hidupnya sudah disiapkan, terus kapan mereka belajar jatuh? Kalau mereka gak pernah jatuh, terus kapan belajar bangun?"

Penulis mendesah pelan. “Berarti Ibu gak percaya anak orang kaya bisa sukses karena kerja keras?”

“Oh bisa, Mas. Tapi itu kayak hujan deras di musim kemarau, langka. Kebanyakan ya karena ordal. Ordal tuh ibarat jimat di negeri ini. Mau jadi wakil presiden, wakil rakyat, pejabat, atau content creator dadakan, asal punya ordal... langit pun bukan batasnya.”

Kami tertawa bersama, walau tawa itu getir.

Penulis nyeruput teh. Masih hangat. Tapi hati ini makin dingin melihat kenyataan yang disorot Ibu Kunti.

“Ibu sendiri gimana mendidik mereka waktu itu?”

“Wah, berat, Mas. Saya bukan cuma ibu, tapi juga guru, pelatih, psikolog, dan kadang jadi tukang pijat. Saya ajari mereka soal harga diri, tentang pentingnya menjaga laku, bukan jaga citra. Puntodewo saya ajari jujur meskipun bikin hidup susah. Arjuna saya ajari fokus, supaya gak gampang goyah sama pujian. Dan Werkudoro? Saya ajari dia cara menyalurkan marah jadi kekuatan buat lindungi yang lemah.”

"Nakula dan Sadewa itu anak paling kalem. Tapi mereka punya rasa hormat luar biasa. Mereka gak pernah merasa paling tahu, meski banyak tahu. Mereka ngerti kapan harus bicara, kapan cukup bekerja. Anak sekarang... baru hafal satu pasal, udah buka kelas motivasi." “Nakula juga pinter meracik ramuan. Kalau ada yang demam, dia buatkan obat dari daun-daunan. Sadewa juga pinter prediksi cuaca. Pernah bilang, ‘Bu, sore bakal hujan, simpan jemuran! dan beneran hujan. Anak-anak sekarang kalah, yang bisa mereka prediksi cuma jadwal diskon e-commerce.”

“Anak-anak gak pernah nanya, ‘Bu, kapan kita viral?’ atau ‘Bu, kapan kita beli Alphard?’ Nanyanya cuma, ‘Bu, besok kita makan apa?’dan meskipun kadang jawabannya cuma ubi rebus, mereka tetap bersyukur. Gak kayak anak pejabat sekarang, baru dikasih nasi padang tanpa rendang langsung bikin status: ‘Disiksa batin secara struktural oleh sistem keluarga kapitalistik.’

Ia tersenyum. "Saya bukan ibu sempurna, Mas. Tapi saya percaya, anak-anak harus diajari hidup tanpa mengandalkan warisan. Mereka harus bisa merasa lapar, supaya tahu nikmatnya memberi. Harus pernah dihina, supaya tahu pentingnya harga diri. Harus capek, supaya tahu bahwa hasil tak datang dari rebahan."

Tiba-tiba penulis jadi ingat akun-akun flexing di media sosial. Pamer mobil, pamer tas, pamer jabatan dan kesuksesan.

Saya habiskan Lodho di piring saya. "Bu, makasih ya ceritanya. Saya belajar banyak dari Ibu hari ini."

Ibu Kunti tertawa lembut. "Sama-sama, Mas. Tapi jangan cuma kenyang di perut ya. Kenyang juga di hati. Oh ya Mas, anak-anak jangan dikasih semua, biar mereka juga punya sejarah dan ceritanya sendiri."

Siapa sangka, sepiring Lodho bisa mengantarkan saya pada kisah perjuangan, satir kehidupan, dan nasihat penuh hikmah dari seorang ibu legendaris, yang kini berdiri di balik dapur warung kecil di Tulungagung. Di negeri +62 ini, terkadang yang paling bijak bukan yang bersuara paling keras, tapi yang diam-diam memasak dengan cinta dan sejarah di ujung sendoknya.

(Sibu Bayan)

Cerita berikutnya: Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel



No comments:

Post a Comment