Dongeng Sibu Bayan (#007)
Jalanan Trenggalek-Tulungagung melalui Tanggunggunung berkelok-kelok melalui tebing dan jurang yang curam. Perjalanan penulis terhambat karena ada longsor yang menutup jalan. Warung kecil di pinggir jalan menjadi pilihan penulis untuk beristirahat sambil menunggu jalan dibersihkan dari longsoran, sekalian memesan es kelapa muda. Di warung inilah penulis ketemu sosok tua yang kekar dengan tato “Mata Elang” seperti diceritakan Resi Bhisma. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Empu Kanwa. Sekarang menjadi mandor tukang gali yang membersihkan longsoran, sebagai dharmanya. “Pas ini...dia bisa cerita pengalamannya bikin terowongan untuk menyelamatkan Pandawa dalam tragedi Bale Sigala-gala” (baca juga: http://banyuseger.blogspot.com/2025/05/tragedi-bale-sigala-gala.html)
Sosok Empu Kanwa ini seperti tokoh preman tua dari Ormas penguasa tanah sengketa yang telah tobat. Konon, sebagai pertobatannya, dia menjandi pertapa yang bijak, rendah hati, dan penuh wibawa spiritual. Ia bukan ksatria atau raja, tetapi kekuatannya berasal dari laku tapa, ilmu kasunyatan, dan hubungan erat dengan alam semesta. Namun ya begitu….karakter Ormas penjaga tanah sengketa sepertinya belum hilang.
“Aku, Empu Kanwa. Kalau kamu bayangin aku ini orang tua bijak, ya bener. Tapi jangan kira aku ini pertapa yang sok suci. Aku tuh old school, ngopi pahit, nggak punya Instagram, dan gak pernah ikut-ikut drama timeline medsos. Tapi jangan salah, aku juga tahu dunia berubah. Apalagi zaman sekarang… aduh!”
Lalu ia mencondongkan tubuh ke depan, matanya menatap kosong ke arah hutan seberang jalan. Suaranya berubah sedikit lirih, agak dramatis.
“Jadi ceritanya begini. Waktu itu, Pandawa dikurung di Bale Sigala-gala. Tapi sebenarnya, itu perangkap maut. Kurawa dan Sengkuni niat banget mau bakar mereka hidup-hidup. Kayak sinetron prime time yang penuh plot twist.”
Tiba-tiba, ia mengetuk-ngetukkan jari ke meja bambu.
“Waktu aku dengar berita itu, aku lagi meditasi di
hutan Plawangan, lereng gunung Saptaarga. Tiba-tiba, ada suara halus, kayak
notifikasi WhatsApp ilahiah. Itu suara Batara Narada.”
Lalu ia menirukan nada Batara Narada, dengan gaya
agak-agak sok berwibawa dan sedikit drama klasik.
"Empu... tolong bantuin Pandawa ya. Kalau bisa, tanpa
bikin ribut. Jangan sampai trending topic juga. Tapi penting ini!"
Aku jawab waktu itu sambil tetap duduk bersila:
"Ya sudah, siap. Tapi... ongkosnya gimana, Batara?"
Narada menjawab dengan tenang, katanya, "Aman.....Aku sudah hubungi Yamawidura."
Sampai di sini, Empu Kanwa kembali menatap penulis,
sambil tersenyum miring. “Aku kenal baik sama Yamawidura. Anak baik. Tapi
kadang suka sedih lihat dunia yang penuh tipu-tipu.
Yamawidura bilang gini, "Empu, ini dana CSR dari hati nurani saya. Semoga cukup buat gali dan gak ada korupsi."
“Oh ya..apa sudah ada yang kasih tahu Pandawa?” tanyaku
pada Yamawidura
“Sudah..” jawabnya, kemudian dia melanjutkan “Angin
malam di Hastinapura mengatar harum arak manis. Namun aku juga telah mencium bau
racun di baliknya. Hatiku tak tenang, Pandawa yang polos akan menjadi korban. Di
antara gelapnya langit dan tebalnya asap politik istana, Bale Sigala-gala
berdiri, megah di permukaan, namun menyimpan bara dalam perutnya. Kurawa, di
bawah hasutan licik Sengkuni, telah memerintahkan agar rumah itu dibangun dari
bahan mudah terbakar. Sebuah perangkap, yang dibalut hadiah”.
“Aku telah mengirimkan pesan WA rahasia yang tak bisa
diretas pada Puntodewo", lanjut Yamawidura
Yen geni murub saka njero omah, ojo
dipateni geni, tapi goleki endi bolongané.
(+62: Jika api menyala dari dalam rumah, jangan padamkan apinya, tapi carilah
jalan keluar tersembunyi)
“Puntodewo anak cerdas dan jujur, pasti dia paham…”
lanjutnya
"Ooh…pantas saja hatiku bergetar..rupanya ada sinyal
rahasia dari Puntodewo putra Dewa Yama" timpal Empu Kanwa, saat menceritakan
kembali dialognya dengan Yamawidura lewat telegram.
Dengan sedikit bergumam, Empu Kanwa melanjutkan kembali
ceritanya pada penulis.
“Nah, ini bagian penting: aku gak langsung terbang ke
sana pakai kendaraan mewah atau bikin konferensi pers. Aku kerja di belakang
layar. Pakai tenaga gaib, aku panggil jin-jin tukang gali, dan jadi deh.. terowongan
rahasia itu muncul dari balik tanah. Terowongan yang cukup lebar buat Pandawa
kabur.”
“Pas malam pembakaran tiba, aku lihat di medsos itu
ribut banget. Kurawa live streaming, ada yang komentar ngawur, ada yang
nge-‘drama’, bahkan ada buzzer yang sibuk ngejatuhin Pandawa dengan
teori konspirasi. Aku cuma geleng-geleng”.
“Kalau aku bilang, lihat nih, zaman sekarang kebenaran
gak cukup keluar dari terowongan. Harus keluar dari feed Instagram juga! Eh, tapi Pandawa akhirnya lolos. Mereka lewat
terowongan yang aku buat dengan bantuan alam dan sedikit sihir”.
“Saat aku lagi duduk santai, scroll medsos sambil baca
komentar. Ada yang bilang aku cuma pansos, ada yang bilang aku cuma tukang gali
bayaran, ada juga yang nyinyir, “Masa iya terowongan tiba-tiba muncul, kayak cheat
game?”
“Aku cuma ketawa kecil. Ya, begitulah hidup. Di mana
pun zaman, drama dan hoaks itu gak pernah ketinggalan.”
“Mas penulis….” dengan nada berat dia melanjutkan
cerita refleksinya “Kadang jalan keselamatan itu gak harus jadi viral, gak
perlu likes dan komentar. Kadang, cukup kerja diam-diam, sambil nyruput kopi
pahit, dan berharap orang-orang bisa belajar lihat kebenaran di balik riuhnya
layar gadget mereka”
(SiBu Bayan)
No comments:
Post a Comment