Dongeng Sibu Bayan (#009)
Tidak terasa perjalanan sudah sampai di Kecamatan Kademangan, Blitar Selatan. Bersama kecamatan Kanigoro di sebelah timurnya, Kademangan pernah punya kisah kelam pada periode konflik horizontal antar anak bangsa berlatar belakang perbedaan ideologi. Penulis memperhatikan petunjuk tante Google Map saat tiba dipersimpangan Kademangan-Kanigoro. “Belok ke kanan lalu terus ke arah Selatan….”, mungkin menghindari kepadatan jalan arah Kanigoro. Jalanan yang dilalui semakin kecil dan semakin sepi. Setelah area persawahan yang kering setelah panen, jalan menuju hutan jati dan jalanan semakin sempit. Tak satu pun kendaraan dari depan dan di belakang kendaraan penulis. Hanya satu dua orang dari arah depan. Setelah diperhatikan secara seksama, penulis rasa...kok orang-orang ini berbeda dengan kebanyakan orang. Saat mobil melintasi gerbang bertuliskan huruf Kawi itu, angin berhembus pelan, seperti bisikan yang menyambut tamu tak diundang. Tangan reflek membuka Google Translator: “Sugeng Rawuh ten Padukuhan Karangdempel (jawa)” (Selamat datang di Padukuhan Karangdempel). Ada sesuatu yang berubah. Udara terasa lebih dingin, dan waktu seolah mengambang. Penulis mulai curiga, apakah ini hanya rute alternatif, atau pintu ke dunia lain?
Padukuhan Karangdempel bukan sekadar titik di peta, ia seperti ruang yang terselip di antara realitas dan dongeng. Rumah-rumahnya sederhana, berdiri tenang di bawah rimbun pohon-pohon tua yang seolah menyimpan rahasia ribuan tahun. Warga tak banyak bicara, tapi setiap gerak mereka menunjukkan keteguhan, integritas dan penuh makna kehidupan. Pemimpin padukuhan ini adalah Kyai Semar. Lurah yang jelata. Bersama anak-anaknya yang juga jelata, konon mereka menjadi rujukan para kesatria Pandawa dan siapapun yang tersesat untuk belajar ilmu kehidupan dan kerakyatan…ya semacam kampus lah, sama-sama tempat belajar.
Seperti ada
yang menuntun, penulis akhirnya berhenti di depan joglo tua dan menjumpai sosok
yang selama ini penulis anggap samar. Jika melihat profilnya…sepertinya dia
adalah Kyai Semar.
Kyai Semar mengajak
penulis ke joglo tuanya. Setelah mempersilakan penulis duduk di bale kayu,
beliau duduk di batu bundar yang disebut ‘Watu Eling’, yang bila
disentuh saat menjelang malam, konon bisa membuat orang “melihat bayangan
hidupnya sendiri.” Monggo Mas, silakan….orang jauh rupanya” sapanya dengan
wajah sumringah. Setelah sedikit basa-basi, beliau kemudian mulai bercerita.
“Dulu, lima bersaudara Pandawa juga sering ke sini, kadang-kadang juga Kurawa” ucap Kyai Semar sambil nyeruput wedang jahe dari batok kelapa. “Awalnya mereka diantar ibu Kunti, ibu yang tangguh, lama-kelamaan malah mereka suka nongkrong disini, kadang juga curhat… kadang main egrang bareng anak-anak saya. Tapi ya gitu, Mas… namanya juga kesatria kerajaan, waktu datang ke Karangdempel itu lugu-lugu, culun semua. Puntodewo kayak pejabat baru dilantik, banyak idealis, minim praktik. Werkudoro ngototan, Arjuna sibuk ngaca, Nakula-Sadewa lebih sibuk nyari sinyal buat update status. Tapi mereka tetap belajar selayaknya mahasiswa jaman now” (tentang ibu Kunti, baca juga: Nasi Lodho Ibu Kunti di Negeri +62)
“Di sini, Mas,
kita nggak punya ruang kelas. Tapi siapa pun yang mau duduk bareng rakyat, itu
sudah jadi mahasiswa di Kampus Karangdempel.”
Penulis tertawa
kecil. Tapi Kyai Semar belum selesai.
“Arjuna tuh ya, playboy
tulen. Tapi begitu ketemu Bagong, langsung ciut. Soalnya Bagong ini, kalau
ngomong kayak buzzer yang enggak bisa dibayar. Pedesnya bukan main.
Arjuna pernah dikerjain disuruh nyari bunga Wijayakusuma di hutan jati, padahal
yang dimaksud Bagong itu, si Wijayakusuma adalah mbok jamu keliling di ujung
padukuhan.”
Kyai Semar
tertawa, geli sendiri.
“Puntodewo tuh
paling susah dijelasin. Dia mikir terus, sok filosofis, tapi kalau rakyat minta
tolong, dia bilang, ‘Kita akan bentuk tim kecil untuk membahas ini.’ Lah rakyat
udah lapar, dia malah bikin rapat. Werkudoro sih enak, sekali ngomong langsung
gebrak meja, meski kadang... mejanya orang lain. Jadi pelajaran penting di
sini, Mas, kesatria itu bukan soal gelar, tapi soal ngerasa dan mikir bareng
wong cilik.”
Penulis mengangguk
pelan.
“Saya bilang ke
Pandawa waktu itu, ‘Ojo mung dadi simbol negara, kudu dadi bagian
dari rakyat.’ Wong sekarang aja, rakyat di negeri +62 ini sering cuma jadi
bahan laporan proyek. Kalau enggak jadi target bansos, ya jadi data statistik
buat seminar. Giliran diajak rembugan, malah dikasih survei lima pertanyaan
pakai Google Form.”
Kyai Semar
menyandarkan tubuhnya ke tiang joglo, matanya menatap jauh ke sawah di seberang
joglo.
“Negeri +62 ini lucu,
Mas. Pemerintah sibuk bikin branding ‘merdeka belajar’…sekarang ganti lagi…kurikulum
berdampak..yang katanya untuk +62 Emas, tapi rakyat disuruh nerima nasib tanpa
nanya. Akademisi bikin kajian ribuan halaman, tapi buat beli tempe aja masih
nanya diskonan. Lha piye? Wong cilik tuh nggak butuh teori, mereka butuh
ditemani. Dihargai. Didengarkan.”
Penulis terdiam. Kyai
Semar menghela napas.
“Itulah kenapa
Pandawa sering ke Karangdempel. Mereka ingin paham dan laku, jadi pemimpin itu bukan soal
pidato hebat, kutip kitab kuno dan buku motovasi, hapal undang-undang. Tapi
soal bisa duduk di atas tikar yang sama dengan rakyatmu, makan sambel terasi
yang sama, dan nggak ngilang waktu dibutuhkan.”
****
Baru aja Kyai
Semar selesai nyeplos soal wejangan hidup dan rakyat kecil, dari arah belakang
joglo terdengar suara tap-tap-tap, seperti sandal jepit lawas diseret
malas-malas. Lalu muncullah sosok dengan tampang setengah bingung, setengah
kesel. Jalan agak miring, mata juling, pikiran... lebih miring lagi. Yup,
Gareng.
“Lho, lho, lho!
Iki sopo maneh, nulis-nulis soal Karangdempel tanpa ijin redaksi penduduk
lokal?” semprotnya sambil narik kursi rotan. “Jurnalis? Influencer? Atau tim
kreatif dari kementerian?”
Penulis bengong. Kyai
Semar malah ngakak, “Tenang Mas, itu Gareng. Kalau udah mulai ngegas, berarti
dia habis lihat berita bansos nyasar lagi.”
Tanpa basa-basi,
Gareng duduk nyelonong, nyeduh kopi, dan langsung curhat frontal.
“Jadi ceritanya, Karangdempel
didatengin tim dari Astina geng Kurawa dan geng Pandawa yang udah rebranding
jadi influencer desa. Pandawa katanya mau bikin program Desa Tahan Iklim 5.0
Berbasis Metaverse dan Drone AI. Lah! Satu kalimat isinya tiga bohong!” Kurawa
bawa proposal 120 halaman, katanya mau bangun ‘Smart Farming Berbasis
Blockchain dan Cloud Irrigation’. Waduh! Rakyat sini gak ngerti blockchain,
yang mereka tahu cuma ‘blok sawah sebelah belum panen’
“Lha, Pandawa? Awalnya kami kira mereka bisa
ngebelain rakyat. Tapi coba lihat Arjuna. Bukannya turun bantu petani, dia
malah sibuk endorse alat pertanian dari startup Bhima Ventures. ‘Dengan alat
ini, panen meningkat 400% dalam tiga minggu!’ katanya waktu itu, sambil selfie
di pematang sawah buat konten TikTok.”
Gareng ngelus dada, “Padahal, panennya aja belum mulai, lho!”
Gareng kemudian
niru gaya Arjuna yang lagi live,
‘Bro chill, ini demi branding desa! Kalo desa ini viral, siapa tahu masuk list
destinasi prioritas…’
“Desa itu tempat
hidup, bukan objek konten! Petani bukan talent, sawah bukan background
aesthetic. Kalian pikir rakyat butuh tripod? Yang mereka butuhin itu pupuk,
air, dan harga gabah yang masuk akal!” kata Gareng dengan bersungut-sungut,
kemudian dia melanjutkan ceritanya,
“Werkudoro waktu
itu berdiri di depan warga sambil bawa infografis. ‘Kami datang membawa solusi,’
katanya gagah. ‘Dengan aplikasi PandawaFarm+, panjenengan bisa nanam padi
sambil rebahan. Semua data sudah berbasis cloud….eh..awan”
“Awan mana!!!?”
teriak Gareng sambil nunjuk langit. “Kene awan wae ndak
konsisten, kadang hitam kadang ujan, kadang cuma PHP!”
“Waktu itu mas Puntodewo
mencoba menengahi, ‘Mas Gareng, mohon tenang. Ini demi kebaikan bersama. Kami
sudah studi banding ke lembah silikon.’
“Lembah silokon
opo? Lembah sawah wae belum sampeyan pahami! Wong nandur padi
saja belum pernah, masa petani kami mau dijadikan user early access?”
“Setelah itu Werkudoro
yang badannya besar banget…pura-pura angkat cangkul. Cangkulnya buat gaya. Puntodewo kemudian bilang, ‘Ini demi visi agraria adil berkelanjutan’, tapi ketika ditanya
gimana caranya nyari pupuk, jawabnya malah buka PowerPoint +62 slide!”
“Nakula Sadewa?
Sibuk debugging aplikasi ‘e-Pupuk’—yang crash tiap buka sinyal
3G. Aplikasi e-Pupuk ini waktu diuji coba malah ngasih rekomendasi tanam anggur
di sawah tadah hujan. Lah!”
“Mereka juga sibuk bikin drone mapping tapi malah drone-nya nyangkut di pohon mangga.
Sementara itu Dursasana dari pihak Astina sibuk cari spot buat press conference
sambil bilang, “Ini penting untuk membuktikan Astina peduli rakyat kecil…”
Gareng bengong.
“Peduli? Nek pancen peduli, lha kok irigasi mangkrak, data tani beda ama
kenyataan, dan pupuk langka tapi bendera program numpuk?”
“Dursasana juga gak mau kalah...bawa
kamera drone, sibuk cari angle buat vlog ‘Senyum Tani Astina
+62’, padahal irigasi mampet. Sengkuni jadi moderator talkshow,
ngatur framing biar seolah warga bahagia. Bahagia pala lu!”
Gareng lagi-lagi berdiri
dan tangannya menunjuk langit,
“Kami rakyat kecil
bukan kelinci percobaan, bukan backdrop branding proyek! Pandawa?
Kurawa? Kalian semua lupa satu hal: sawah ini hidup! Bukan tempat selfie,
bukan ladang KPI kementerian!”
“Dulu Pandawa
belajar ke sini buat ngerti hidup. Sekarang malah jadi tim marketing.
Dan Kurawa? Dulu nyerang pakai senjata. Sekarang nyerang pakai proposal.”
Kyai Semar hanya
mengelus dada, “Halah, bocah iki... Tapi bener juga sih.”
Gareng nyengir
sinis sambil melangkah ke depan joglo,
“Yang penting
rakyat ora keno akal-akalan. Pandawa mending...masih mau ngerti dan belajar, pembangunan
itu bukan cuma soal teknologi canggih dan proposal berlembar-lembar, tapi soal
siapa yang bener-bener dengerin rakyat. Lha Kurawa? Mereka mah sibuk selfie
sambil pamer proposal mewah, padahal isi proyeknya jauh dari kenyataan rakyat.
Pandawa kadang suka salah langkah dan masih seneng gimmick…, tapi
setidaknya mereka mau belajar dan turun ke sawah. Kurawa? Cuma tau ngajak rapat
dan foto-foto buat branding doang. Pembangunan bukan pentas sandiwara, tapi
urusan nyawa dan perut orang banyak!”
Kyai Semar hanya
geleng-geleng, “Waktu itu, Gareng menyelamatkan desa ini bukan dengan gelar,
bukan juga dengan teknologi canggih, tapi dengan suara jujur dan keberanian
untuk berkata tidak pada kepalsuan.”
Penulis menatap
wajah Kyai Semar, lalu menoleh ke Gareng yang kini sedang mencangkung di depan
joglo, memperbaiki sandal jepitnya yang putus. Sejenak, waktu seperti berhenti.
Angin kembali berhembus dari arah barat, membawa aroma tanah, kayu, dan
kehidupan.
“Saya jadi
bingung, Kyai. Ini tadi kisah nyata, dongeng, atau sindiran terselubung?”
Kyai Semar
tersenyum, menatap mata penulis dengan dalam. “Mas… di negeri ini, kadang yang
nyata lebih aneh dari dongeng. Dan dongeng, sering kali lebih jujur dari pidato
resmi.”
Di kejauhan, suara
kentongan terdengar, tanda sore menjelang malam. Langit Karangdempel memerah,
dan penulis merasa… mungkin memang tidak semua perjalanan harus berujung pada
tujuan. Ada yang cukup berhenti sebentar, mendengar, dan belajar kembali
menjadi manusia.
“Sudahlah…nginep sini saja, biar bisa ketemu anak-anak ku yang lain!”, kata Kyai Semar pada penulis. (Selanjutnya baca: Save the Earth but First… Let Me Take a Selfie by Petruk)
(Sibu Bayan)
No comments:
Post a Comment