Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga

 Dongeng Sibu Bayan (#016)

(Drupadi)
Jam tangan penulis menunjukkan pukul 10 pagi, walau baterainya tinggal satu bar, jadi mari kita percaya saja. Penulis duduk bersila di pojok gubuk sederhana di tengah hutan Wanamarta, tempat yang katanya sudah di-booking sejak semalam oleh Gareng dan Bagong lewat aplikasi NginepHutan.com. Ajakan mereka untuk ikut menyertai Pandawa ke hutan ini benar-benar susah ditolak, apalagi katanya bakal ada makan siang gratis dan konflik keluarga yang bisa dijadikan bahan tulisan. Siapa bisa nolak?

Di depan gubuk sudah ada Kyai Semar yang nampak sedang menghangatkan wedang jahe, dan Petruk yang sibuk nyari sinyal. Tapi yang membuat hati penulis terusik adalah absennya sosok Ibu Kunti. Pemimpin keluarga Pandawa, sekaligus CEO Rumah Tangga Dharma Inc., yang biasanya jadi pusat segala keputusan. Beliau biasanya hadir dengan aura karisma dan kemampuan multitasking luar biasa, bisa masak sambil menetapkan nasib anak-anaknya.

Tak lama kemudian, kelima Pandawa masuk sambil membawa kabar kemenangan mereka di sayembara Prabu Drupada. Mereka ceria, membawa bunga dan harapan. Tapi, ya begitulah… ceria itu cuma bertahan seumur jagung rebus. Karena saat mereka serahkan “hadiah” ke ibunya, Ibu Kunti langsung ambil alih acara. Tanpa basa-basi, tanpa musyawarah mufakat, ia berkata dengan tenang, “Drupadi akan menjadi istri kalian bersama.” (baca juga: Sayembara Prabu Drupada dan Jobfair)

Singkat, padat, seperti pengumuman pembagian jabatan pasca pemilu. Nada bicaranya seperti keputusan rapat elite partai, final dan tak bisa dibantah. Tak ada voting. Tak ada ruang tanya jawab. Kalau ini diadakan lewat Zoom, sudah pasti kolom Raise Hand akan dimatikan.

Pandawa cuma bisa mengangguk pelan, seperti mahasiswa yang pasrah terima nilai D meski ngerjain skripsi setengah mati. Batin mereka berkecamuk. Drupadi bukan sembarang hadiah lomba 17-an. Ini soal perempuan. Soal martabat. Soal moral yang tiba-tiba dijadikan furnitur hiasan.

Nakula dan Sadewa pamit duluan. Alasannya klasik: "Udara di luar lebih segar." Terjemahannya: “Kami butuh waktu buat mikir, sebelum isi kepala ini meledak.” Arjuna dan Werkudara menyusul, katanya cari warung kopi, padahal jelas mereka pergi bawa muka galau, bukan perut lapar.

Puntodewo, si sulung yang konon selalu bijak, cuma duduk di depan ibunya, seperti sedang menunggu update sistem yang tak kunjung selesai. Dia mikir keras, apakah ada cara untuk undo sabda ibu. Tapi seperti biasa, sabda ibu, apalagi ibu pemimpin keluarga, sudah seperti peraturan presiden. Tinggal masyarakat yang harus putar otak menyesuaikan.

Saat matahari sampai titik update status di langit, Puntodewo akhirnya berdiri dan ikut keluar. Ke mana? Ke tempat curhat sejuta umat: pohon rindang di depan gubuk.

Di sanalah para punokawan sudah berkumpul. Kyai Semar, wakil rakyat non-formal, menyimak keluhan anak-anak negeri yang sedang dihadapkan pada dilema hukum rumah tangga dan keadilan gender. Di tengah keluh kesah itu, Bagong sempat nyeletuk, “Jadi, nanti waktu nikahan, surat undangannya ditulis gimana? Drupadi & Co.?”

Kyai Semar hanya menghela napas, lalu berkata lirih, “Kadang, suara hati memang kalah cepat sama suara orang yang pegang loudspeaker.”

“Apakah keputusan ini masuk akal?” tanya Puntodewo sambil menatap langit, seolah berharap ada billboard iklan jawaban dari Dewa Google.
Nakula nyeletuk, “Ini tuh kayak sistem bagi-bagi kue, tapi kuenya manusia! Masa Drupadi dibagi lima? Kita ini Pandawa, bukan pemilik warteg!”
Sadewa menimpali, “Kalau mau adil, ya referendum dong! Suruh rakyat voting. Jangan keputusan model rapat fraksi tengah malam di hotel bintang lima.”

Gareng langsung nyamber, “Ini jelas model DPR +62. Banyak suara, tapi tetap yang menang yang duduk paling deket sama pemegang stempel.”
Bagong ikut meramaikan, “Iya! Kalau perlu Ibu Kunti dikasih e-voting biar modern. Tapi awas, jangan sampai suara rakyat hilang kayak anggaran perjalanan dinas yang ajaibnya selalu membengkak!”

Penulis di sudut gubuk cuma bisa mesem-mesem getir, kayak netizen yang nonton debat capres sambil ngemil mi instan, tahu hasil akhirnya bakal sama saja. Drama ini makin terasa seperti sinetron politik prime time: banyak dialog, tapi ending-nya selalu bisa ditebak.

Gareng berdiri gaya panglima perang: “Kalau gitu, kita pakai sistem kuota! 20% buat Mas Puntodewo, 20% Mas Werkudoro, dan seterusnya. Biar adil kayak bagi-bagi kursi menteri!”
Bagong ngakak sampai hampir keselek singkong, “Lah Drupadi bukan kursi, cuk! Kalau dibagi-bagi, nanti yang dapet cuma sebelah alis, sama sisa kutu rambut!”

Nakula mulai panik, “Kalau begitu kita bungkus jadi paket promo aja: ‘Nikahi Drupadi, dapat cashback restu Ibu Kunti dan voucher menginap di surga kayangan’.”

Kyai Semar, yang dari tadi diem aja sambil nyeruput wedang jahe, akhirnya berdiri. Suaranya dalam, mirip suara dubber iklan rokok:
“Anak-anakku, negeri ini penuh dalang yang ganti lakon seenak dengkul. Rakyat cuma jadi penonton, suruh tepuk tangan tiap kali ada keputusan, meski ending-nya pahit.”

“Ini kayak Pilkada calon tunggal. Nggak ada lawan, nggak ada debat, tapi tetep pakai spanduk besar se-RT. Kalau rakyat protes, langsung dibilang hoaks, anti stabilitas, dan gak nasionalis.”

“Pemimpin sejati itu bukan yang paling banyak pidato, tapi yang mau dengerin rakyat walau pakai bahasa emak-emak di arisan.”

Mata Pandawa mulai berbinar. Drupadi bukan lagi trofi sayembara, tapi manusia yang harus dihargai, bukan dibagi kayak nasi kotak saat kampanye.

Tapi Ibu Kunti, seperti pejabat era digitalisasi data, tetap tak mau kalah. Ia keluarkan PowerPoint of Destiny.
“Lihat, data kami menunjukkan bahwa pembagian Drupadi ini menaikkan indeks kebahagiaan keluarga Pandawa sebesar 7%, tingkat keutuhan rumah tangga stabil, dan potensi konflik antar menantu nihil.”

Bagong nyaris keselek wedang jahe ke arah hidung.
“Statistik lagi… seolah angka-angka bisa bikin rakyat kenyang,” pikirnya. “Padahal di dapur banyak yang cuma masak air biar berasa ngisi lambung.”

Gareng ngedumel, “Kalau gitu Kyai Semar harus jadi auditor KPK, Komisi Pengawas Kunti!”
Kyai Semar senyum simpul, “Statistik itu kayak bumbu micin. Kalau dipakai jujur, enak. Kalau kebanyakan, rakyat bisa halu.”

Akhirnya, setelah debat kusir yang lebih panjang dari antrean sembako, keputusan resmi diumumkan. Drupadi tidak lagi dipotong-potong seperti kue ulang tahun di acara anak-anak, melainkan resmi menjadi istri Puntodewo, sang sulung yang paling kalem dan punya jiwa ‘CEO Rumah Tangga Pandawa Inc.’ paling low profile.

Ibu Kunti, yang dari awal kayak hakim agung tanpa ampun, tiba-tiba berubah 180 derajat. Dengan wajah seperti presenter acara talkshow motivasi pagi hari, ia bilang, “Ternyata, jadi pemimpin itu bukan soal ngotot menang sendiri. Tapi belajar pasrah, kasih ruang buat suara-suara kecil yang nyelip di antara deru mesin birokrasi keluarga.”

Keikhlasan Ibu Kunti ini bagaikan upgrade sistem operasi: meski lambat dan bikin pusing, tapi membuat keluarga Pandawa Inc. berjalan dengan lancar, tanpa crash dan blue screen.

Dengan penuh gaya, Ibu Kunti mengumumkan, “Kalau saya mundur selangkah, bukan karena kalah, tapi supaya rakyat rumah tangga bisa pakai hak veto. Demokrasi versi dapur!”

Seketika, gubuk itu jadi saksi bahwa di dunia keluarga besar, bahkan ‘pemimpin tertinggi’ bisa belajar, bahwa kadang-kadang mundur itu bukan tanda lemah, tapi strategi biar nggak kena tuduhan ‘pemimpin diktator model emak-emak galak’.

Namun tentu, tak semua langsung “terharu dan menerima”. Arjuna yang sejatinya pemenang sayembara, hanya bisa menatap kosong sambil ngunyah kacang kulit. “Katanya pemenang dapat hadiah, lha ini malah hadiah dibagi-bagi, terus diambil sulung,” gumamnya. Ia kecewa, bukan karena karena kehilangan hak eksklusif atas hadiah, tapi karena sistem yang ternyata se-fleksibel regulasi darurat.

Kyai Semar mencoba menghibur, “Tenang, Le. Kadang yang kita menangkan bukan untuk dimiliki, tapi untuk jadi pelajaran hidup.”
Arjuna nyengir getir, “Kalau pelajaran hidup terus, kapan ujian kelulusan nikah tunggal saya, Kyai?”

Dan seperti efek domino, kekecewaan itu tumbuh jadi portofolio istri. Di kemudian hari, ia dikenal sebagai Pandawa paling flamboyan, spesialis cinta lintas kerajaan. Dari Ulupi sang putri naga, Chitrangada, Subadra, Srikandi dan sampai siapa pun yang belum sempat ditulis oleh sejarawan, Arjuna membuktikan bahwa hati yang patah bisa jadi alasan logis untuk membuka cabang rumah tangga di berbagai wilayah. Semua menjadi pelengkap kisah patah hati seorang Arjuna yang merasa sayembara cinta tak mengenal pemenang sejati.

Sementara itu, Werkudoro sang perkasa, yang sejak awal sudah naksir Drupadi karena katanya "wajahnya secerah bubur ayam pagi hari", juga tak kalah syok. Ia bahkan sempat protes di ruang makan.

“Lho, ini kenapa Puntodewo  yang dapet? Saya sudah siap bangun rumah, tanam singkong, sama pelihara ayam!”
Gareng menyahut cepat, “Kamu pikir nikah sama Drupadi itu kayak buka warung subsidi? Gak semua yang niat langsung dapet izin edar!”

Werkudoro manyun, sendok nasi pun ia letakkan perlahan. “Padahal saya udah latihan pantun buat melamar...”

Kyai Semar hanya bisa geleng-geleng, lalu berujar lirih, “Cinta itu bukan soal siapa yang kuat, tapi siapa yang dipilih oleh keputusan keluarga besar yang terlalu hierarkis.”

Di tengah semua drama itu, Nakula dan Sadewa terlihat kalem. Bukan karena setuju, tapi karena mereka sudah terlalu sering “ikut kata kakak” sejak kecil.
Nakula, yang biasanya perawat rambut paling tekun se-Nusantara, cuma mengangguk seperti buzzer yang kehilangan naskah.

“Kita ikut saja putusan keluarga,” katanya sambil menyisir rambut sambil melamun. “Toh yang penting kita tetap kompak.”
Sadewa, seperti biasa, menyahut dalam nada diplomatis, “Iya, benar. Lagi pula... kita berdua belum cukup terkenal buat dapat layar utama dalam cerita cinta macam ini.”

Keduanya seperti jubir cadangan yang hanya muncul saat disuruh, atau kalau ada kebutuhan legitimasi moral. Dalam hati mungkin ada getir, tapi di mulut tetap santun:
“Keputusan ini sudah melalui proses musyawarah... meski agak maksa dan satu arah. Tapi ya sudahlah.”

Kyai Semar menatap mereka, tersenyum lirih, “Nakula Sadewa ini contoh rakyat +62 sejati. Gak sempat protes, sudah keburu disuruh ngangguk.”

Dan begitulah, drama pembagian Drupadi berakhir bukan dengan tepuk tangan, tapi dengan senyum hambar dan tawa pahit. Seperti keputusan besar di negeri ini yang selalu dikemas cantik di televisi, tapi menyisakan luka kecil di ruang keluarga.

Baca kisah selanjutnya : Wanamarta, Alegori Peradaban Pertanian +62

(SiBu Bayan)


No comments:

Post a Comment