Dongeng Sibu Bayan (#016)
Di depan gubuk
sudah ada Kyai Semar yang nampak sedang menghangatkan wedang jahe, dan Petruk yang sibuk nyari sinyal. Tapi yang membuat hati penulis terusik adalah
absennya sosok Ibu Kunti. Pemimpin keluarga Pandawa, sekaligus CEO Rumah
Tangga Dharma Inc., yang biasanya jadi pusat segala keputusan. Beliau
biasanya hadir dengan aura karisma dan kemampuan multitasking luar biasa, bisa
masak sambil menetapkan nasib anak-anaknya.
Singkat, padat,
seperti pengumuman pembagian jabatan pasca pemilu. Nada bicaranya seperti
keputusan rapat elite partai, final dan tak bisa dibantah. Tak ada voting. Tak
ada ruang tanya jawab. Kalau ini diadakan lewat Zoom, sudah pasti kolom Raise
Hand akan dimatikan.
Pandawa cuma bisa
mengangguk pelan, seperti mahasiswa yang pasrah terima nilai D meski ngerjain
skripsi setengah mati. Batin mereka berkecamuk. Drupadi bukan sembarang hadiah
lomba 17-an. Ini soal perempuan. Soal martabat. Soal moral yang tiba-tiba dijadikan
furnitur hiasan.
Nakula dan Sadewa
pamit duluan. Alasannya klasik: "Udara di luar lebih segar."
Terjemahannya: “Kami butuh waktu buat mikir, sebelum isi kepala ini meledak.”
Arjuna dan Werkudara menyusul, katanya cari warung kopi, padahal jelas
mereka pergi bawa muka galau, bukan perut lapar.
Puntodewo, si
sulung yang konon selalu bijak, cuma duduk di depan ibunya, seperti sedang
menunggu update sistem yang tak kunjung selesai. Dia mikir keras, apakah
ada cara untuk undo sabda ibu. Tapi seperti biasa, sabda ibu, apalagi
ibu pemimpin keluarga, sudah seperti peraturan presiden. Tinggal masyarakat
yang harus putar otak menyesuaikan.
Saat matahari
sampai titik update status di langit, Puntodewo akhirnya berdiri dan
ikut keluar. Ke mana? Ke tempat curhat sejuta umat: pohon rindang di depan
gubuk.
Di sanalah para
punokawan sudah berkumpul. Kyai Semar, wakil rakyat non-formal, menyimak
keluhan anak-anak negeri yang sedang dihadapkan pada dilema hukum rumah tangga
dan keadilan gender. Di tengah keluh kesah itu, Bagong sempat nyeletuk, “Jadi,
nanti waktu nikahan, surat undangannya ditulis gimana? Drupadi & Co.?”
Kyai Semar hanya
menghela napas, lalu berkata lirih, “Kadang, suara hati memang kalah cepat sama
suara orang yang pegang loudspeaker.”
“Apakah keputusan
ini masuk akal?” tanya Puntodewo sambil menatap langit, seolah berharap ada billboard
iklan jawaban dari Dewa Google.
Nakula nyeletuk, “Ini tuh kayak sistem bagi-bagi kue, tapi kuenya manusia! Masa
Drupadi dibagi lima? Kita ini Pandawa, bukan pemilik warteg!”
Sadewa menimpali, “Kalau mau adil, ya referendum dong! Suruh rakyat voting.
Jangan keputusan model rapat fraksi tengah malam di hotel bintang lima.”
Gareng langsung
nyamber, “Ini jelas model DPR +62. Banyak suara, tapi tetap yang menang yang
duduk paling deket sama pemegang stempel.”
Bagong ikut meramaikan, “Iya! Kalau perlu Ibu Kunti dikasih e-voting
biar modern. Tapi awas, jangan sampai suara rakyat hilang kayak anggaran
perjalanan dinas yang ajaibnya selalu membengkak!”
Penulis di sudut
gubuk cuma bisa mesem-mesem getir, kayak netizen yang nonton debat capres
sambil ngemil mi instan, tahu hasil akhirnya bakal sama saja. Drama ini makin
terasa seperti sinetron politik prime time: banyak dialog, tapi ending-nya
selalu bisa ditebak.
Gareng berdiri
gaya panglima perang: “Kalau gitu, kita pakai sistem kuota! 20% buat Mas Puntodewo,
20% Mas Werkudoro, dan seterusnya. Biar adil kayak bagi-bagi kursi menteri!”
Bagong ngakak sampai hampir keselek singkong, “Lah Drupadi bukan kursi, cuk!
Kalau dibagi-bagi, nanti yang dapet cuma sebelah alis, sama sisa kutu rambut!”
Nakula mulai
panik, “Kalau begitu kita bungkus jadi paket promo aja: ‘Nikahi Drupadi, dapat cashback
restu Ibu Kunti dan voucher menginap di surga kayangan’.”
Kyai Semar, yang
dari tadi diem aja sambil nyeruput wedang jahe, akhirnya berdiri. Suaranya
dalam, mirip suara dubber iklan rokok:
“Anak-anakku, negeri ini penuh dalang yang ganti lakon seenak dengkul. Rakyat
cuma jadi penonton, suruh tepuk tangan tiap kali ada keputusan, meski
ending-nya pahit.”
“Ini kayak Pilkada
calon tunggal. Nggak ada lawan, nggak ada debat, tapi tetep pakai spanduk besar
se-RT. Kalau rakyat protes, langsung dibilang hoaks, anti stabilitas, dan gak
nasionalis.”
“Pemimpin sejati
itu bukan yang paling banyak pidato, tapi yang mau dengerin rakyat walau pakai
bahasa emak-emak di arisan.”
Mata Pandawa mulai
berbinar. Drupadi bukan lagi trofi sayembara, tapi manusia yang harus dihargai,
bukan dibagi kayak nasi kotak saat kampanye.
Tapi Ibu Kunti,
seperti pejabat era digitalisasi data, tetap tak mau kalah. Ia keluarkan PowerPoint
of Destiny.
“Lihat, data kami menunjukkan bahwa pembagian Drupadi ini menaikkan indeks
kebahagiaan keluarga Pandawa sebesar 7%, tingkat keutuhan rumah tangga stabil,
dan potensi konflik antar menantu nihil.”
Bagong nyaris keselek
wedang jahe ke arah hidung.
“Statistik lagi… seolah angka-angka bisa bikin rakyat kenyang,” pikirnya.
“Padahal di dapur banyak yang cuma masak air biar berasa ngisi lambung.”
Gareng ngedumel,
“Kalau gitu Kyai Semar harus jadi auditor KPK, Komisi Pengawas Kunti!”
Kyai Semar senyum simpul, “Statistik itu kayak bumbu micin. Kalau dipakai
jujur, enak. Kalau kebanyakan, rakyat bisa halu.”
Akhirnya, setelah
debat kusir yang lebih panjang dari antrean sembako, keputusan resmi diumumkan.
Drupadi tidak lagi dipotong-potong seperti kue ulang tahun di acara anak-anak,
melainkan resmi menjadi istri Puntodewo, sang sulung yang paling kalem dan
punya jiwa ‘CEO Rumah Tangga Pandawa Inc.’ paling low profile.
Ibu Kunti, yang
dari awal kayak hakim agung tanpa ampun, tiba-tiba berubah 180 derajat. Dengan
wajah seperti presenter acara talkshow motivasi pagi hari, ia bilang,
“Ternyata, jadi pemimpin itu bukan soal ngotot menang sendiri. Tapi belajar
pasrah, kasih ruang buat suara-suara kecil yang nyelip di antara deru mesin
birokrasi keluarga.”
Keikhlasan Ibu
Kunti ini bagaikan upgrade sistem operasi: meski lambat dan bikin pusing, tapi
membuat keluarga Pandawa Inc. berjalan dengan lancar, tanpa crash dan blue
screen.
Dengan penuh gaya,
Ibu Kunti mengumumkan, “Kalau saya mundur selangkah, bukan karena kalah, tapi
supaya rakyat rumah tangga bisa pakai hak veto. Demokrasi versi dapur!”
Seketika, gubuk
itu jadi saksi bahwa di dunia keluarga besar, bahkan ‘pemimpin tertinggi’ bisa
belajar, bahwa kadang-kadang mundur itu bukan tanda lemah, tapi strategi biar
nggak kena tuduhan ‘pemimpin diktator model emak-emak galak’.
Namun tentu, tak
semua langsung “terharu dan menerima”. Arjuna yang sejatinya pemenang
sayembara, hanya bisa menatap kosong sambil ngunyah kacang kulit. “Katanya
pemenang dapat hadiah, lha ini malah hadiah dibagi-bagi, terus diambil sulung,”
gumamnya. Ia kecewa, bukan karena karena kehilangan
hak eksklusif atas hadiah, tapi karena sistem yang ternyata se-fleksibel
regulasi darurat.
Kyai Semar mencoba
menghibur, “Tenang, Le. Kadang yang kita menangkan bukan untuk dimiliki, tapi
untuk jadi pelajaran hidup.”
Arjuna nyengir getir, “Kalau pelajaran hidup terus, kapan ujian kelulusan nikah
tunggal saya, Kyai?”
Dan seperti efek
domino, kekecewaan itu tumbuh jadi portofolio istri. Di kemudian hari, ia dikenal sebagai Pandawa paling
flamboyan, spesialis cinta lintas kerajaan. Dari Ulupi sang putri naga,
Chitrangada, Subadra, Srikandi dan sampai siapa pun yang belum sempat ditulis
oleh sejarawan, Arjuna membuktikan bahwa hati yang patah bisa jadi alasan logis
untuk membuka cabang rumah tangga di berbagai wilayah. Semua
menjadi pelengkap kisah patah hati seorang Arjuna yang merasa sayembara cinta
tak mengenal pemenang sejati.
Sementara itu,
Werkudoro sang perkasa, yang sejak awal sudah naksir Drupadi karena katanya
"wajahnya secerah bubur ayam pagi hari", juga tak kalah syok. Ia
bahkan sempat protes di ruang makan.
“Lho, ini kenapa Puntodewo
yang dapet? Saya sudah siap bangun
rumah, tanam singkong, sama pelihara ayam!”
Gareng menyahut cepat, “Kamu pikir nikah sama Drupadi itu kayak buka warung
subsidi? Gak semua yang niat langsung dapet izin edar!”
Werkudoro manyun,
sendok nasi pun ia letakkan perlahan. “Padahal saya udah latihan pantun buat
melamar...”
Kyai Semar hanya
bisa geleng-geleng, lalu berujar lirih, “Cinta itu bukan soal siapa yang kuat,
tapi siapa yang dipilih oleh keputusan keluarga besar yang terlalu hierarkis.”
Di tengah semua
drama itu, Nakula dan Sadewa terlihat kalem. Bukan karena setuju, tapi karena
mereka sudah terlalu sering “ikut kata kakak” sejak kecil.
Nakula, yang biasanya perawat rambut paling tekun se-Nusantara, cuma mengangguk
seperti buzzer yang kehilangan naskah.
“Kita ikut saja
putusan keluarga,” katanya sambil menyisir rambut sambil melamun. “Toh yang
penting kita tetap kompak.”
Sadewa, seperti biasa, menyahut dalam nada diplomatis, “Iya, benar. Lagi
pula... kita berdua belum cukup terkenal buat dapat layar utama dalam cerita
cinta macam ini.”
Keduanya seperti
jubir cadangan yang hanya muncul saat disuruh, atau kalau ada kebutuhan
legitimasi moral. Dalam hati mungkin ada getir, tapi di mulut tetap santun:
“Keputusan ini sudah melalui proses musyawarah... meski agak maksa dan satu
arah. Tapi ya sudahlah.”
Kyai Semar menatap
mereka, tersenyum lirih, “Nakula Sadewa ini contoh rakyat +62 sejati. Gak
sempat protes, sudah keburu disuruh ngangguk.”
Dan begitulah,
drama pembagian Drupadi berakhir bukan dengan tepuk tangan, tapi dengan senyum
hambar dan tawa pahit. Seperti keputusan besar di negeri ini yang selalu
dikemas cantik di televisi, tapi menyisakan luka kecil di ruang keluarga.
Baca kisah selanjutnya : Wanamarta, Alegori Peradaban Pertanian +62
(SiBu Bayan)
No comments:
Post a Comment