Sayembara Prabu Drupada dan Jobfair

 Dongeng Sibu Bayan (#015)

(Lima Pandawa)

Sampailah penulis di hutan lindung Kondang Merak yang dibelah jalur lintas Malang Selatan. Kawasan seluas sekitar 1.989 hektar ini jadi salah satu hutan pesisir alami tersisa di Malang Selatan. Ekosistemnya tempat tinggal berbagai satwa liar termasuk si Lutung Jawa yang dilindungi. Di sinilah, konon Merak bukan sekadar burung, tapi "admin alam semesta" yang tugasnya menjaga perbatasan dua dunia: realita dan dongeng, atau dalam istilah kekinian: multiverse antara hidup ideal dan hidup ngutang. Burung merak itu konon punya kekuatan magis, bisa bawa hoki atau malah bikin sial, tergantung niat manusia.

Hari sudah mulai gelap, sekitar jam enam sore, saat angin laut mulai mendinginkan udara dan suara jangkrik bergema di antara dedaunan. Dari balik pepohonan yang rimbun dan daun-daun yang lagi asik ditiup angin, terdengar langkah kaki mantap tapi nyempil kayak ninja. Ada tujuh lelaki dan satu cewek. Penulis langsung ngeh dua di antaranya, itu Gareng sama Bagong. Sisanya? Misteri bro!

Jalan Pulang dari Karangdempel (Rahasia Pandawa)

 Dongen Sibu Bayan (#012)

(Kyai Semar)

Kokok ayam jantan membangunkan penulis dari tidurnya. Dari jalanan di depan joglo Kyai Semar, terdengar senda gurau petani Karangdempel yang bersiap ke ladang dan sawah.

"Hari ini pupuk subsidi nggak jadi datang lagi… ban pick-up-nya meletus di tengah jalan, nunggu ban dari kota butuh waktu seharian." "Ala... alasan lagi... besok sopirnya kawin dulu... wkwkwk."
"Yo win ben..."

Percakapan itu mengiringi langkah penulis menuju pojok luar joglo untuk mandi padusan. Hari ini penulis berniat melanjutkan perjalanan, berharap mendapat petunjuk jalan yang benar.

Setelah mandi dan berkemas, Bagong memanggil penulis untuk sarapan di tengah joglo. Kyai Semar telah duduk di ruang tengah, namun Gareng dan Petruk belum tampak.

"Gareng pagi-pagi sudah ke sawah," jelas Kyai Semar, "antrian air irigasi panjang."
Bagong menimpali, "Petruk? Jangan diharap bangun pagi… dia itu pekerja malam, menjaga kelelawar agar durian Karangdempel tetap berbuah lebat."

Kyai Semar menatap penulis, suaranya lembut namun dalam,

Kuliah Kerja Nyata: Epos Kampus Karangdempel (bagian #2)

 Dongeng Sibu Bayan (#014)

(Gunungan)

baca dulu (Kuliah Kerja Nyata: Epos Kampus Karangdempel (bagian #1))

Pandawa dan Kurawa kini turun ke desa. Dengan membawa proposal-program-berbau-powerpoint dan semangat penuh nafsu penyelamatan. Mereka disambut oleh warga desa dengan senyum ramah dan kopi pahit.

“Selamat datang, Nak. Semoga betah di sini?”

Di Desa Sindangprau, Pandawa tiba dengan program-program sakti, workshop pemasaran digital, pelatihan Excel untuk petani, hingga seminar bertema “Transformasi Komunal di Era Post-truth”.

Kuliah Kerja Nyata: Epos Kampus Karangdempel (bagian #1)

 Dongen Sibu Bayan (#013)

(Gunungan)

Setelah meninggalkan padukuhan Karangdempel, penulis kembali kedunia  realitas menyusuri jalur Selatan Jawa Timur. Saat melewati desa perbatasan Blitar-Malang, penulis dikejutkan dengan perjumpaan tugu Semar di perempatan jalan Dusun Gondangrejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Patung Semar diatas tugu nampak sederhana, khas sesuai dengan karakter Kyai Semar yang baru dijumpai di universe lain.

Di bawah tugu Semar penulis melihat anak-anak muda berjaket almamater biru dari kampus terkenal di negeri +62. Mereka sepertinya sedang sibuk berfoto dengan wajah-wajah yang sumringah dan penuh dengan canda tawa. Peristiwa ini membawa penulis berimajinasi tentang KKN Kampus Karangdempel. Meski padukuhan kecil,  oleh warganya sering disebut sebagai ‘kampus’

Revolusi Jam 8: Falsafah Koperasi Bagong

 Dongeng Sibu Bayan (#011)

(Petruk, Bagong, Gareng)
Jam tangan penulis menunjukkan pukul 22.00. Entah WIB, entah waktu Karangdempel, yang kadang disesuaikan dengan rasa lapar. Belum terlalu larut malam, meski Gareng sudah menguap lebih dari sinyal WiFi di balai desa. Padahal tadi dia yang paling semangat cerita. Keluhannya panjang, mulai dari pupuk subsidi yang lebih sulit dari move on, sampai sinetron kerajaan yang rajanya ganteng tapi kebijakannya nganu. (baca: Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel  dan Save the Earth but First… Let Me Take a Selfie by Petruk)

Kami terdiam. Bukan karena nalar—tapi karena otak kami sedang ngunyah omongan ngalor-ngidul tadi. Rasanya kayak makan sambal mentah: pedes, tapi nampol. Tiba-tiba terdengar suara, "Tong… tong… tong tong tong… tong tong tong tong." Delapan kali.

“Lho… kok cuma delapan?” gumam penulis. Padahal jam tangan sudah pukul sepuluh.

Bagong langsung nyeletuk, “Itu pasti Cungik yang mukul kentongan… anaknya Gareng. Buat dia, waktu itu fleksibel. Hari ini jam 8, besok juga jam 8. Dia nggak terikat konsep waktu. Bagi Cungik, waktu itu opsional… kayak centang syarat & ketentuan. Kalender hidupnya berbasis perasaan.”

Save the Earth but First… Let Me Take a Selfie by Petruk

 Dongeng Sibu Bayan (#010)

(Kyai Semar, Gareng, Petruk dan Bagong)

Hari ini penulis dengan tidak terpaksa menginap di Dukuh Karangdempel. Selain karena sudah malam, arah menuju jalur lintas selatan Blitar–Malang entah ke mana perginya. Mungkin GPS ikut moksa. Entah sekarang ini berada di universe mana…(baca: Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel)

Sebuah pondok kecil di samping joglo tua telah disediakan oleh Kyai Semar dan keluarganya. Selepas mandi dan rebahan sebentar, penulis kembali duduk di tengah joglo, menikmati pisang rebus dan kopi pahit yang nendangnya bisa menghidupkan ingatan masa kecil.

Lampu minyak jarak menyala redup. Terdengar langkah kaki menyentuh lantai joglo. Dua bayangan panjang seperti angka sepuluh muncul dari pintu, tanda khas pasangan abadi, Petruk dan Bagong.

Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel

 Dongeng Sibu Bayan (#009)

(Kyai Semar)

Tidak terasa perjalanan sudah sampai di Kecamatan Kademangan, Blitar Selatan. Bersama kecamatan Kanigoro di sebelah timurnya, Kademangan pernah punya kisah kelam pada periode konflik horizontal antar anak bangsa berlatar belakang perbedaan ideologi. Penulis memperhatikan petunjuk tante Google Map saat tiba dipersimpangan Kademangan-Kanigoro. “Belok ke kanan lalu terus ke arah Selatan….”, mungkin menghindari kepadatan jalan arah Kanigoro. Jalanan yang dilalui semakin kecil dan semakin sepi. Setelah area persawahan yang kering setelah panen, jalan menuju hutan jati dan jalanan semakin sempit. Tak satu pun kendaraan dari depan dan di belakang kendaraan penulis. Hanya satu dua orang dari arah depan. Setelah diperhatikan secara seksama, penulis rasa...kok orang-orang ini berbeda dengan kebanyakan orang. Saat mobil melintasi gerbang bertuliskan huruf Kawi itu, angin berhembus pelan, seperti bisikan yang menyambut tamu tak diundang. Tangan reflek membuka Google Translator: “Sugeng Rawuh ten Padukuhan Karangdempel (jawa)” (Selamat datang di Padukuhan Karangdempel). Ada sesuatu yang berubah. Udara terasa lebih dingin, dan waktu seolah mengambang. Penulis mulai curiga, apakah ini hanya rute alternatif, atau pintu ke dunia lain?

Nasi Lodho Ibu Kunti di Negeri +62

 Dongeng Sibu Bayan (#008)

(Ibu Kunti)

Perjalanan penulis sudah sampai di Tulungagung yang siang itu panasnya menggigit. Penulis mampir di sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Niatnya cuma pengin numpang kenyang, tapi malah jadi pengalaman spiritual. Di depan penulis terhidang sepiring nasi dengan kuah kuning keemasan, kental, harum, dan menggoda iman. "Lodho, Mas. Masakan khas sini. Gimana... maknyus, kan?" sapa ibu pemilik warung.

Penulis mendongak. Ibu ini anggun, tutur katanya lembut tapi mantap. Senyumnya adem. Dalam hati Penulis berkata, "Ibu ini lebih cocok jadi ibu negara daripada jualan di warung begini." Tapi hidup di negeri +62 memang suka bercanda. Yang layak memimpin malah ngulek sambal, yang doyan korup malah naik jabatan.

"Bu, ini Lodho enak banget. Rasanya kaya opor tapi lebih nyambung sama nasi."

"Iya, Mas. Dulu saya belajar masak waktu hidup di pengasingan. Nemenin anak-anak saya ngungsi, tidur di hutan, makan seadanya. Lodho ini resep warisan masa susah."

Dalam hati penulis membatin. “Ibu ini siapa sih sebenarnya?”

Seolah mengerti bahasa batin penulis, beliau tersenyum, lalu matanya menerawang jauh.

"Saya ini... Kunti. Ibu dari Pandawa."

Terowongan Tokoh Ormas (Empu Kanwa)

 Dongeng Sibu Bayan (#007)


(Empu Kanwa Jaman Now)
Jalanan Trenggalek-Tulungagung melalui Tanggunggunung berkelok-kelok melalui tebing dan jurang yang curam. Perjalanan penulis terhambat karena ada longsor yang menutup jalan. Warung kecil di pinggir jalan menjadi pilihan penulis untuk beristirahat sambil menunggu jalan dibersihkan dari longsoran, sekalian memesan es kelapa muda. Di warung inilah penulis ketemu sosok tua yang kekar dengan tato “Mata Elang” seperti diceritakan Resi Bhisma. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Empu Kanwa. Sekarang menjadi mandor tukang gali yang membersihkan longsoran, sebagai dharmanya. “Pas ini...dia bisa cerita pengalamannya bikin terowongan untuk menyelamatkan Pandawa dalam tragedi Bale Sigala-gala” (baca juga: http://banyuseger.blogspot.com/2025/05/tragedi-bale-sigala-gala.html)

Sosok Empu Kanwa ini seperti tokoh preman tua dari Ormas penguasa tanah sengketa yang telah tobat. Konon, sebagai pertobatannya, dia menjandi pertapa yang bijak, rendah hati, dan penuh wibawa spiritual. Ia bukan ksatria atau raja, tetapi kekuatannya berasal dari laku tapa, ilmu kasunyatan, dan hubungan erat dengan alam semesta. Namun ya begitu….karakter Ormas penjaga tanah sengketa sepertinya belum hilang. 

Tragedi Bale Sigala-gala

 Dongeng Sibu Bayan (#006)

(Resi Bhisma)

Bangun pagi ini terasa segar karena udara sejuk Pacitan. Penulis berkemas hendak meninggalkan losmen untuk melanjutkan perjalanan. Banyuwangi masih jauh, kalau jalanan lancar, mungkin malam nanti baru sampai. Penulis memutuskan akan menyusuri jalur selatan agar bisa singgah di Dongko, Trenggalek sesuai pesan dari Kyai Yamawidura.  Sebelum berpisah di perbatasan Wonosari dan Wonogiri, beliau sempat menitipkan surat untuk Resi Bhisma yang tidak bisa penulis tolak, meski ini akan menghambat perjalanan penulis. (baca: Ngopi Bareng Kyai Yamawidura: Curhat Kutukan dan Kekuasaan)

Di Dongko, penulis menemui Resi Bhisma di pondok sederhana dengan warung alat pertanian di sebelahnya. Rupanya sejak diturunkan kembali ke negeri +62, Resi Bhisma memilih jadi pedagang alat pertanian untuk dharmanya, alih-alih menjadi guru dan penasehat istana. Beliau menyambut penulis dengan senyum yang tulus, khas orang tua yang bijak, namun tetap dengan sorot mata yang tajam. Penulis dipersilakan singgah di pondoknya, tak lupa beliau menyuguhkan kopi dan singkong goreng.

Setelah membaca surat itu dengan pelan dan penuh makna, Resi Bhisma melipat kertasnya kembali. Ia menatap ke arah luar jendela, ke pepohonan yang diam tertimpa cahaya pagi. Suasana hening sesaat, hanya terdengar detak waktu dan suara sendok kecil yang mengaduk kopi di cangkir tanah liat.

“Berceritalah untuk kegetiran kita bersama…” ucapnya, seperti membacakan mantra lama yang hanya dikenal oleh jiwa-jiwa yang pernah patah oleh sejarah. Rupanya hanya kalimat itu yang ditulis dalam surat Kyai Yamawidura.

Ia menyeruput kopi, lalu mulai bicara, tidak dengan terburu-buru, tetapi dengan ritme yang membuat waktu seakan melambat.

Pandito Durno, Dosen Tersesat di Negeri +62

 Dongeng Sibu Bayan (#005)

(Pandito Durno)

Malam ini penulis memutuskan menginap di Pacitan. Sebuah losmen kecil di pinggir kota jadi pilihan. Jam masih menunjukkan pukul sebelas malam, belum terlalu larut. Setelah memesan kopi dan krecek, cemilan khas Pacitan, kepada penjaga losmen, penulis memilih duduk kongkow di teras kamar. Tak lama, kopi datang diantar oleh penjaga tua yang agak bungkuk dengan wajah tak biasa, hidungnya besar dan bengkok, matanya sedikit juling.

“Monggo, Mas… ini kopi dan cemilannya,” ucapnya dengan suara yang terdengar sopan, tapi menyimpan nada manipulatif, seperti orang yang biasa bicara separuh jujur, separuh jebakan. Lalu ia menambahkan pelan, “Mas, tadi ketemu ananda Dursasana ya?” (baca: Dursasana, Memoar Salah Asuahan)

Penulis tertegun. Wah, siapa ini? batin penulis. “Kakek siapanya Dursasana?”

“Aku guru dia, Pandito Durna.”

Selayaknya dosen dalam kuliah daring, kemudian bapak tua yang menyebut dirinya Pandito Durna itu tiba-tiba saja memberikan kuliah umum ke penulis. “Wah mantab ini...bisa jadi dongeng menjelang tidur”, batin penulis.

Dursasana, Memoar Salah Asuhan

 Dongeng Sibu Bayan (#004)

(Dursasana)

Tidak terasa, perjalanan ini sudah memasuki kota Pacitan, kota kecil yang melahirkan tokoh besar negeri +62, Presiden RI ke-6. Perut sudah keroncongan. Warung kupat tahu khas Pacitan di pinggir kota jadi pilihan makan malam. Menjelang jam 9 malam, warung tampak sepi. Hanya ada satu pengunjung yang asyik ngopi sambil hisap kretek. Aroma tembakau srintil dan cengkeh menguar, menghangatkan suasana.

Dia menoleh, ramah menyapa, “Silakan, Mas. Kupat tahu dan kopi di sini enak banget, lho.”

Sambil menunggu pesanan, dia memperkenalkan diri, “Aku Dursasana, Mas. Keponakan Sengkuni, anak kedua dari seratus Kurawa.” 

Penulis agak terkejut. Ternyata Dursasana sudah tahu kalau penulis pernah bertemu dengan Sengkuni, sang maestro drama politik Hastinapura yang kini mengaku barista tobat, jualan kopi pinggir jalan. (baca: Kata Sengkuni, Negara Rusak Bukan Karena Saya Saja)

Waduh, ini cerita bakal makin seru.

Sebelum sempat bertanya lebih jauh, dia sudah menambahkan, “Aku dengar kamu ngobrol lama sama Paman Sengkuni soal negara, wayang, dan politik angkringan.” Dia terkekeh. “Dia memang suka main-main sama logika orang.”
Lalu terkekeh lagi, “Pasti kamu sudah dapat ceramah panjang soal strategi dan kelicikan yang katanya ‘elegan’ itu.”

Kata Sengkuni, Negara Rusak Bukan Karena Saya Saja

 Dongeng Sibu Bayan (#003)

(Ki Sengkuni)

Alih-alih ketemu Bhisma yang bijak bestari bak dosen pembimbing skripsi (betulkah?), eh malah nyasar ketemu Sengkuni, makhluk paling toxic se-Hastinapura. Tukang adu domba, biang gosip, dan spesialis bikin grup WhatsApp keluarga bubar jalan. Semua gara-gara ban mobil kempes di tengah jalanan yang sepi di Pracimantoro, Wonogiri, dan si kakek berjanggut abu-abu ini muncul entah dari mana, langsung ngasih bantuin ganti ban sambil nyodorin bantalan kayu buat dongkrak. Dalam hati, wah kacau nih…kyai Yamawidura ngeprank (baca: Ngopi Bareng Kyai Yamawidura: Curhat Kutukan dan Kekuasaan)

"Capek juga, Mas bro," katanya, "mampir ngopi yuk, warung saya deket sini kok, warung Kopi Karma."

Penulis sempat curiga. Ini orang udah terkenal reputasinya di epik Mahabharata sebagai dedengkot keonaran, eh sekarang malah ngasih kopi gratis? Tapi rasa penasaran mengalahkan kewaspadaan. Ternyata setelah dibantai Bima di padang Kurusetra, dia “dikasih kesempatan hidup kedua,” katanya buat tobat, jadi barista, dan berbagi kisah hidup yang katanya "lebih dari sekadar dosa."

Ngopi Bareng Kyai Yamawidura: Curhat Kutukan dan Kekuasaan

 Dongeng Sibu Bayan (#002)

(Kyai Yamawidura)

Sore itu penulis lagi nongkrong melepas penat dalam perjalanan menuju Jawa Timur bagian Selatan. Masih jauh...diputuskan untuk ngopi dulu di warung pinggir jalan di hutan jati antara Wonosari dan Wonogiri. Suasana adem, bau tanah basah, dan suara jangkrik bikin kepala rileks. Tiba-tiba, datang sosok tua yang gagah, kumisnya putih dengan mata penuh cerita. Dia duduk di depan penulis dan dengan suara serak tapi lantang bilang,

“Mas bro, katanya kamu suka nulis? Kenalin bro, aku Yamawidura, dari Mahabharata. Mau curhat nih.” (baca juga: Legacy Satyawati: Politik Dinasti dari Masa ke Masa (+62))

Penulis nganga. Kok bisa ya tokoh Mahabharata nyasar ke sini? Ya sudahlah, di dengerin aja, tidak ada salahnya menghormati orang tua yang pingin curhat, sekalian untuk teman ngobrol.

Kyai Yamawidura mulai cerita, “Pandu, ayahnya Pandawa, itu pangeran kece yang kena kutukan sial. Katanya, kalau dia gaulin istrinya, dia langsung mati. Bayangin, bro, hidup kayak diet ketat, gak boleh deket sama yang dicinta. Pandu sampe stres berat, harus minggir dari istana, nyari tempat jauh buat ngindarin istrinya, Kunti dan Madrim.

Nah, Kunti itu bukan sembarangan ibu. Dia punya mantra sakti dari para dewa, bisa punya anak dari siapa aja, tapi… tanpa ayah biologisnya. Dari Dewa Yama lahir Yudhistira, si jago keadilan. Dari Bayu lahir Bima, si raksasa kuat. Dari Indra lahir Arjuna, jago panah. Madrim, istri kedua, dibantu dengan mantra sakti Kunti akhirnya juga punya anak kembar Nakula dan Sadewa, hasil mantra dari dewa kembar Aswin.

Tapi jangan kira ini cerita happy ending, Mas. Tragedinya baru mulai…”

Legacy Satyawati: Politik Dinasti dari Masa ke Masa (+62)

 Dongeng SiBu Bayan (#001)

(Dewi Satyawati)

Sebelum dadu dilempar dan nasib satu kerajaan digadaikan kayak motor butut akhir bulan, dua pangeran beda aliran darah dan klaim warisan udah duluan baku sindir. Puntodewa, anak spiritual dari mantra dewa, dan Duryudana, anak biologis raja sah, saling adu mulut. Ini bukan cuma soal siapa lahir dari siapa, tapi siapa yang lebih layak duduk di singgasana. Dan seperti biasa: silsilah jadi senjata, dharma cuma jadi slogan.

Puntodewa, anak sulung Pandawa yang katanya anak dewa (tapi lahirnya lewat mantra), buka suara dengan tenang tapi menusuk:
“Bro, darah biru itu bukan soal siapa nyusuin, tapi siapa yang dijalanin dengan dharma.”

Sementara Duryudana, anak kandung raja sejati, lahir normal, tanpa mantra dan tanpa bintang tamu dari kahyangan, langsung nyolot:
“Yaelah, lo anak siapa juga masih tanda tanya, tau-tau muncul dari asap dupa ngaku pewaris.”

Nasab pun jadi bahan debat nasional, apakah anak hasil kolaborasi spiritual lebih sah daripada anak sah dari ibu yang sabar dan bapak nyata? Jawabannya? Yuk lanjut membaca.....