Bambang Irawan, Footnote Jurnal Scopus Prof. Arjuna

 Dongeng Sibu Bayan (#031)

(ditulis atas ide sahabat penulis, Choirul Muna yang sehari-hari menjadi tempat curhat petani)

(Bambang Irawan)

Setelah ngobrol semalaman dengan Togog dan Bilung tentang Pandawa Dadu hingga Kresna yang ditolak Hastina, penulis disarankan untuk mengunjungi desa Tancak di lereng Gunung Argopuro. “Kalau mau tahu kenapa Pandawa sekarang sibuk bikin webinar dan bukan menanam padi, ke sanalah,” kata Bilung sambil menghembuskan asap rokok. Togog hanya mengangguk dengan senyum penuh misteri. “Kamu akan menemui realita Pandawa yang selama ini dianggap golongan putih,” katanya, seolah Pandawa adalah spesies langka yang butuh klarifikasi. (baca: Dadu Pangan, Werkudoro Muntab dan Petani Ter'Nerf' dan Food Estate Hastina Menolak Kresna dan Rakyat)

“Kalau kamu beruntung,” kata Togog sambil ngupil, “kamu bisa melihat petani yang lahir dari footnote jurnal scopus.”

“Kalau kamu apes,” timpal Bilung, “dia bisa nyangka kamu mau wawancara buat akreditasi kampus.”

Food Estate Hastina Menolak Kresna dan Rakyat

Dongeng Sibu Bayan #030

(Di ceritakan oleh Togog, mantan content creator Istana Hastina dengan ide dari sahabat penulis dan petani, Mas Nanta)

(Duryudana dan Kresna)

Setelah kejadian Pandawa Dadu yang viral itu, Amarta kacau balau. Negeri yang dulunya penuh prestasi, dari sawah subur sampai konten panen beras di TikTok, mendadak sepi, seperti akun medsos abis diblacklist. Gosipnya, Pandawa cerai-berai, mirip boyband bubar kontrak. Puntodewo katanya kabur ke gunung, Bima mencari air suci, Arjuna? Nggak jelas, terakhir kelihatan endorse pestisida di reels. Nakula dan Sadewa juga entah kemana. (baca: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62)

Para dewa di Kahyangan juga panik. Batara Guru yang dulu yakin banget skenario bakal sukses besar, sekarang cuma bisa ndelosor sambil ngopi, nyalahin skrip. “Salahnya Puntodewo ini lho, disuruh akal sehat malah milih harga diri,” gumamnya.

Kresna? Dewa satu itu sekarang pengangguran. Versi Togog sih, dia udah apply ke banyak tempat dan buka jasa konsultan spiritual untuk proyek-proyek yang katanya “berbasis ketahanan.” Terakhir, dia nekat daftar ke Hastina. “Kalau aku bisa bikin Amarta maju, masa Hastina nggak bisa? Tinggal upgrade dikit, seperti update software,” kata Kresna dengan pede.

Dadu Pangan, Werkudoro Muntab dan Petani Ter'Nerf'

(Diceritakan oleh Togog dan Bilung, berdasarkan kisah yang dituturkan kepada Penulis)
Dongeng Sibu Bayan (#029)

(Werkudoro, Togog dan Bilung)

Pagi itu, sebelum menuju Jember, penulis singgah sebentar di warung kopi dekat Jembatan Bondoyudo, Lumajang. Warung tua beratap seng, bau seduhan robusta, dan suara gemeretak truk pasir di kejauhan. Di sanalah aku bertemu dua sosok yang tampaknya bukan orang biasa, seorang tua bertubuh tambun, botak dan bermulut lebar, yang sibuk meniup kopi dan seorang lelaki kerempeng yang memakai jaket bertuliskan "Tim Kreatif Pangan Berkelanjutan". Mereka memperkenalkan diri sebagai Togog dan Bilung.

"Kami baru saja diusir dari Gedung Lumbung," kata Togog sambil menatap kosong ke arah aliran sungai. "Duryudana bilang kami tidak netral. Padahal yang kami lakukan cuma siaran langsung dari sisi petani."

"Kami bukan provokator, Mas," tambah Bilung. "Cuma kebetulan tahu cara pakai aplikasi editing data."

Mereka menawarkanku cerita, bukan sekadar kelakar dua tokoh Punokawan, tapi kesaksian dari pinggiran rapat dan luar layar proyektor. Dari sudut pandang Togog dan Bilung, inilah kisah Pandawa Dadu versi rakyat biasa, bagaimana ladang diubah jadi layar data, dan petani dijadikan latar panggung kekuasaan. (baca juga: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62)

Memoar Penyesalan Puntodewo, Jalan Tol Menuju Karma

 Dongeng Sibu Bayan (#028)

(Puntodewo/Yudhistira)

“Puntodewo datang kemari seorang diri, matanya sembab, namun tak ada lagi air mata,” kata Cak Sigit. “Penyesalan sangat terlihat dari wajah dan seluruh gestur tubuhnya, bahkan kopi yang aku hidangkan sama sekali tidak disentuh, dia sama sekali tidak berbicara semenjak datang,” lanjut Cak Sigit, lelaki tambun asal Madura, sahabat Penulis yang tinggal di Lumajang. “Dari pagi sampai menjelang malam, dia hanya duduk termenung di kursi jati tua itu, sebelum akhirnya sedikit curhat sebelum pamit entah kemana.” (baca: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62

Penulis cukup terkejut dengan fakta yang disampaikan Cak Sigit. Rupanya yang bisa terjebak di dunia pewayangan bukan hanya penulis. Namun keterkejutan ini belum seberapa dibanding saat mendengar Gareng tiba-tiba muncul dari balik dapur membawa ketela goreng dan seikat daun kelor.

Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62

 Dongeng Sibu Bayan (#027)

(Pandawa)

Setelah bertemu dengan Wisanggeni, kini penulis sedikit dapat mengerti mengapa Pandawa sampai terjebak pada peristiwa dadu yang mempermalukan seluruh generasi Pandawa. Pedalangan wayang versi Jawa menampilkan peristiwa ini dengan judul ‘Pandawa Dadu’. Lakon yang mengkisahkan kekalahan telak Pandawa dari Kurawa, sehingga mereka harus hidup dalam pengasingan selama 13 tahun. Pandawa kehilangan segalanya.

Versi India maupun versi Jawa sama-sama menceritakan Raja Amarta, Sulung Pendawa, yaitu Puntodewa yang diajak bermain dadu oleh putra mahkota Hastina, Duryudana, atas undangan Prabu Drestarastra raja Hastina sekaligus ayah Duryudana. Pandawa dijebak oleh Sengkuni, paman Duryudana yang licik, yang menggunakan dadu curang. Dengan segala kenaifannya, Puntodewo mempertaruhkan kerajaannya, saudara-saudaranya, dirinya sendiri, bahkan Dewi Drupadi, istrinya. Semua berakhir dengan tragis.

Apakah benar demikian? Cerita Wisanggeni dan kisah yang penulis dapatkan saat di Lumajang sedinkit banyak dapat menguak tabir-tabir lain dalam kisah itu.

Ya, Penulis tiba di Kota Lumajang, nama yang tercatat di Prasasti Mula Malurung (1255 M) sebagai wilayah penting Singhasari; markas Patih Nambi saat membangkang Majapahit (1316 M); dan kelak jadi ladang transmigrasi Madura‑Mataram era kolonial. Sejarahnya tebal, jalan rayanya tipis.

Baru melintasi gerbang barat, ponsel bergetar, “Sy tgu di wrg pecel telo Mbok Waginah, ada yg blm kami ceritakan (Sengkuni dan rekan).” Pesan WA dari nomor +62xxx, aneh.

Wisanggeni Gugat, Pandawa Kecanduan Judol

 Dongeng Sibu Bayan (#026)

catatan penulis: Kisah ini adalah pengantar ke permainan dadu legendaris Pandawa vs Kurawa

(Wisanggeni bin Arjuna)

Penulis akhirnya sampai di Pronojiwo, tempat yang oleh Google Maps disebut “perbatasan Kabupaten Malang dan Lumajang”, tapi oleh warga disebut “ya situ-situ aja, mas.” Lereng Selatan Semeru menyambut dengan jalanan berkelok seperti logika pejabat saat debat publik: penuh belokan, kadang longsor.

Di sinilah lahar dari Semeru memilih jalannya, mulai dari Curah Kobokan, Sumberwuluh, hingga entah ke mana, mungkin langsung masuk ke kantor kementerian yang katanya peduli bencana tapi anggarannya lebih cocok untuk seminar di hotel. Tanah ini bukan sekadar geologi; ia adalah kisah cinta antara air dan api yang tidak pernah disetujui oleh mertua.

Pronojiwo yang berarti “penglihatan jiwa” adalah nama yang terlalu puitis untuk desa yang sinyal internetnya sekuat janji kampanye. Tapi di balik kabut tipis dan pohon kopi yang menggoda, tempat ini seolah menyimpan rahasia: bahwa di negeri ini, bahkan gunung lebih jujur daripada tokoh agama.

Antasena Berseru, Laut Tidak Butuh Pagar

 Dongeng Sibu Bayan (#025)

(Antasena bin Werkudoro)

Penulis sudah sampai lagi di Jalur Lintas Selatan. Jalanan ini menyusur bibir pantai dari Balekambang sampai entah di mana, mungkin sampai ujung mimpi kebijakan pesisir. Berkendara sendirian memberi waktu untuk merenung, mengapa sepanjang perjalanan ini, dunia nyata dan dunia pewayangan terus bertabrakan kayak dua kapal tanpa radar? Penulis sempat berharap tak akan berjumpa lagi dengan tokoh-tokoh absurd dari dunia wayang. Tapi harapan itu kandas.

Di tikungan yang begitu dekat dengan ombak, penulis dihentikan sosok setengah baya berbaju proyek, lengkap dengan rompi dan topi merah menyala. Ia tengah mengatur posisi teodolit, siap membidik garis pantai, mungkin untuk mengukur masa depan. “Mas Penulis! Ketemu lagi!” teriaknya ceria. “Aku Werkudoro. Sekarang jadi mandor pemetaan pantai.” Penulis menepuk jidat. “Wayang lagi…Werkudoro?” (baca juga: Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga)

“Betul,” jawab Werkudoro, kini dipercantik ID card bertuliskan Project Supervisor – Coastal Mapping Division. “Apa kabar Mas….kini aku surveyor garis pantai. Biar laut punya KTP, Mas!”

Sembodro, Kesetiaan pada Ladang Tebu dan Arjuna

Dongeng Sibu Bayan (#024)

(Sembodro)

Penulis memutuskan untuk meninggalkan kota Kepanjen, setelah Abimanyu membatalkan pergi ke Kahyangan. Ia tampak kecewa, setelah dipermalukan oleh perselingkuhan bapaknya sendiri, Arjuna dengan Banowati. Namun kekecewaan paling menyakitkan adalah pat‑gulipat urusan pangan rakyat: dari data surplus palsu sampai harga gula yang lebih manis dari janji kampanye. (baca: Cinta Terlarang Arjuna & Banowati, Skandal di Mega Food Estate)

Penulis berpamitan dengan Abimanyu di jembatan Kali Brantas, Desa Kedung Pedaringan, batas antara Kepanjen dan Gondanglegi, antara brang kulon dan brang wetan, antara nasi rawon dan es tebu. Dari tanaman padi ke tanaman tebu, dari sawah ke manis-manisan yang bisa bikin diabetes dan hutang luar negeri.

Abimanyu tahu bahwa penulis akan melewati Desa Clumprit, Pagelaran. Ia menitipkan sasmita dan uang buat ibunya, Sembodro, yang katanya kini tinggal bareng menantunya, Dewi Uttari, putri Prabu Matsyapati, raja Kerajaan Wirata. Mereka tinggal bersama menunggu harga gula naik, atau setidaknya, menunggu giliran dibohongi distributor.

Sepanjang perjalanan dari Gondanglegi ke Clumprit, penulis menyaksikan saksi bisu kejayaan tebu di wilayah ini. Tergambar jelas era Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada masa kolonial, saat Gubernur Jenderal Van den Bosch tahun 1830-an, mewajibkan petani harus menanam tebu di lahannya dan menyerahkan hasilnya ke pemerintah kolonial dengan harga murah.

Karna, Dendam yang Dipupuk di Ladang Ibu

 Dongeng SiBu Bayan (#023)

(Adipati Karna)

Peristiwa di lahan Mega Food Estate Hastina masih menyisakan luka yang tak bisa diobati bahkan oleh pupuk subsidi sekalipun. Abimanyu, ksatria muda jebolan Sekolah Tinggi Irigasi dan Cinta, memilih istirahat sejenak. Konon katanya, dia sempat mengundurkan diri dari Kahyangan sementara waktu, konon katanya karena “burnout” akibat kebijakan pangan yang berubah tiap musim tanam.

Di sisi lain, Raja Duryudana mengalami krisis eksistensial. Hatinya porak-poranda seperti gudang logistik pangan pasca audit. Program swasembada pangannya yang digadang-gadang sejak debat calon raja kini berantakan gara-gara satu nama: Arjuna, lelaki licin berambut klimis, anak Betara Indra dan Ibu Kunti. Arjuna telah merebut segalanya, ladang cinta dan ladang padi sekaligus. (Baca: Cinta Terlarang Arjuna & Banowati, Skandal di Mega Food Estate)

Lebih menyakitkan lagi, bukan Arjuna yang datang menyerang. Tapi Banowati, istri sah Duryudana, yang tiba-tiba viral karena video mesranya dengan si pemanah itu tersebar lewat akun @BanowatiDaily. Begitupun dengan anaknya, Lesmana yang setengah ksatria.

Duryudana tetap lelaki normal. Meski di Mahabharata ia dicitrakan sebagai epicentrum kejahatan dan diktator manipulatif, ia tetap punya perasaan. Dendam? Sudah pasti. Sakit hati? Lebih perih dari disubsidi separuh tapi tetap rugi. Maka, setelah tiga hari tiga malam mengurung diri di kamar berlapis marmer dan spanduk “Menuju Hastina Mandiri Pangan 2030”, ia mengirim telegram rahasia ke tiga tokoh penting. Patih Sengkuni (ahli strategi & lulusan kursus singkat Deep State), Pandita Durna (guru spiritual sekaligus konsultan survei elektabilitas) dan Dursasana (kepala bidang keamanan, lingkungan, dan pengamanan atau Kapolhas).

Cinta Terlarang Arjuna & Banowati, Skandal di Mega Food Estate

 Dongeng Sibu Bayan (#022)

(Arjuna dan Banowati)

Malam ini, penulis memutuskan untuk menginap di Kepanjen. Penulis masih ditemani Bagong dan Abimanyu. Aroma kopi khas Wonosari Gunung Kawi dan tembakau srintil memenuhi kedai ‘Kopi Rakyat’ di pinggir jalan utama Kepanjen-Malang.

“Mas Penulis, besok kita ikut ngantar Den Abimanyu ke kahyangan. Sekalian nanti kita ke sawah percobaan milik ‘Mega Food Estate Hastina’. Ada Grand Launching Lumbung Pangan Negeri, proyek kebanggaan Raja Duryudana untuk membuat negeri ini swasembada sekaligus swasemawa,” ujar Bagong sambil mengunyah tempe krispi khas Kepanjen. (baca cerita sebelumnya: Abimanyu Bukan Pemimpin Muda +62)

Setengah berbisik Bagong menambahkan, “Di sana ada skandal yang lebih gurih dari rendang—kisah Arjuna, bapaknya Den Abi, dengan Raden Ayu Banowati, permaisuri Duryudana, raja Hastina.”

Abimanyu yang terlanjur mendengar bisikan Bagong hanya terkekeh. “Jangan harap objektivitas penuh. Kisah itu masih membuat hatiku uring-uringan. Bayangkan, ayahku sang kesatria idola justru dicurigai menjalin romansa terlarang dengan Banowati, permaisuri Kurawa”.

Abimanyu Bukan Pemimpin Muda +62

 Dongeng Sibu Bayan (#021)

(Abimanyu)

Mengapa Kepanjen? Pertanyaan ini masih terngiang-terngiang sejak keluar dari dunia pewayangan Wanamarta atau di dunia realitas adalah Kondang Merak. Alih-alih terus menyusuri jalus Selatan, penulis diminta Kyai Semar untuk menuju Kepanjen dulu, diantar Krisna dan Gatotkaca. Apakah pertemuan dengan Nakula, Sadewa, Betara Narada, Dewi Sri dan Bagong adalah jawabannya? (baca: Nakula dan Sadewa, Ahli Pertanian Magangdi Proyek Narasi)

Setelah kepergian para ksatria dan dewa kahyangan, penulis dengan ditemani Bagong menuju bengkel mobil untuk memeriksa kendaraan penulis setelah menempuh perjalanan jauh semenjak dari Bogor hingga Kepanjen. Di bengkel ini ada beberapa anak muda yang sibuk bekerja. Rupanya Bagong sangat mengenal bengkel mobil ini, “Apa kabar…Den Abi…, makin ramai saja bengkelnya. Bagaimana pesanan drone penyemprot sawah…?”, kata Bagong dengan lantang. Penulis merasa kikuk dan dalam hati bertanya, "Ini bengkel mobil atau…..?"

Nakula dan Sadewa, Ahli Pertanian Magang di Proyek Narasi

 Dongeng Sibu Bayan (#020)

(Nakula dan Sadewa)

Sampailah penulis di Kepanjen. Di dunia realitas, perjalanan dari Kondang Merak ke Kepanjen hanya sekitar 2 jam. Namun perjalanan ini melintasi dunia pewayangan: dari Kondang Merak yang jadi Wanamarta, hingga kisah Antareja di Sengguruh. Kepanjen saat ini adalah kota kecil yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Malang, berjarak sekitar 18 km dari kota Malang di sebelah Utara. Konon, Kepanjen dulunya tempat pendidikan para ksatria sejak era Mataram Kuno. Meski saat ini menjadi pusat pemerintahan kabupaten, namun keberadaan kota kecil ini tersamarkan oleh gemerlap kota Malang.

Setelah berpisah dengan Gatotkaca dan Kresna, penulis melanjutkan perjalanan memasuki kota Kepanjen dari selatan, mata langsung tertarik pada saluran irigasi yang dikenal dengan nama “Molek”. Airnya masih mengalir lancar, menyusuri jejak lumbung-lumbung padi dari Kepanjen ke Kromengan, terus ke Sumberpucung. Di tengah bayang-bayang kejayaan pertanian masa lalu itu, penulis kembali bertemu sosok yang sudah beberapa kali muncul di episode-episode sebelumnya, Bagong. Kali ini dia lagi ribut bukan main, dengan dua orang yang dulu penulis temui waktu masih muda di Wanamarta. Sekarang mereka sudah dewasa, Nakula dan Sadewa, kembar cerdas ahli pertanian dan irigasi, tapi hari itu tampangnya lebih mirip pegawai proyek.

Antareja Gugur, Ketika Surga Beraroma Nikel

 Dongeng Sibu Bayan (#019)

(Antareja)

Sampailah kami di Sengguruh, desa kecil berjarak 8 km dari kota Kepanjen. Setelah melewati jembatan Kali Brantas, kami berhenti sejenak di warung kecil yang menghadap ke Selatan. Nampak tebing-tebing bukit kapur telanjang di desa Gampingan yang baru kita lewati. Tiba-tiba Gatotkaca bergumam, “Aku jadi ingat adik tiriku, si Antaraja. Tadinya aku berpikir, kalau aku anak semata wayang bapak, rupanya bapak selain menikahi anak raksasa, ibuku, juga menikahi anak naga. Memang seleranya luar biasa, tidak kalah sama Paman Arjuna”.

Kemudian Gatotkaca berkisah tentang adik tirinya itu.

Gatotkaca, Dari Kawah Candradimuka ke Kampus Berdampak

 Dongeng SiBu Bayan (#018)

(Gatotkaca)

Penulis melirik kaca spion. Bayangan hutan Wanamarta semakin menjauh, tapi kelembutan desah angin dan aroma pepohonan masih terasa menguar di udara. Saat penulis masih asyik mengunyah cerita tentang pembangunan di Wanamarta, Krisna tiba-tiba berkata, “Mas Penulis, tahu nggak, kenapa Gatotkaca saya ajak ikut perjalanan ke Kepanjen? Supaya dia cerita tentang dirinya. Meski dia seperti atlet UFC yang siap bertarung kapan saja, dia sebenarnya sangat pemalu. Tapi ceritanya penting untuk epik Bharatayudha nanti.” Dengan senyum misterius yang bikin penasaran, Gatotkaca pun mulai membuka kisahnya.

“Dulu, setelah Pandawa membangun Amarta yang megah, lengkap dengan taman berkonsep smart farming dan jaringan irigasi otomatis, Bapakku Werkudoro merasa gelisah. Bukannya sombong, tapi rasanya hidupnya kok gitu-gitu aja. Maka dengan semangat yang lebih membara daripada sambal terasi di warung pinggir jalan, ia memutuskan berkelana ke negeri-negeri jauh untuk menegakkan keadilan dan belajar hal baru dan bonusnya..siapa tahu dapat istri seperti Paman Arjuna yang memang dari sononya sudah digemari para gadis dan emak-emak.

Wanamarta, Alegori Peradaban Pertanian +62

 Dongeng Sibu Bayan (#017)

(Krisna dan Gatotkaca)

Saat hendak berpamitan dari Wanamarta, Kyai Semar memanggil pria kurus setengah baya, hitam legam. Sekilas tampak biasa, bahkan lusuh. Namun saat berdiri di hadapan Kyai Semar, tubuhnya yang ringkih memancarkan keagungan yang sulit dijelaskan, seakan bumi sendiri mengakui kehadirannya. “Tolong antarkan Mas Penulis, ya,” kata Kyai Semar sambil ngelus perut buncitnya. Si Mas Hitam itu nggak ngomong sepatah kata pun. Langsung jalan. Penulis ikut saja, walau dalam hati nyeletuk, “Ini siapa, ya? Kok auranya kayak dosen filsafat yang abis puasa ngomong lima tahun.” (baca kisah sebelumnya: Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga)

Kami menyusuri hutan lewat jalur aneh yang kayaknya nggak ada di Google Maps. Penulis mulai mikir, ini jalan menuju mobil yang entah bagaimana kondisinya, karena parkir di tepi jalan lintas selatan yang membelah hutan lindung Kondang Merak. Tiba-tiba si Mas Hitam ngomong datar tapi nancep, “Santuy aja. Udah dikondisikan.” Lah?! Ini orang bisa baca pikiran?

Sampai di mobil, penulis deg-degan, tapi mobilnya masih utuh, bahkan jam di dashboard masih nunjukin waktu yang sama seperti saat ditinggal. Lebih absurd lagi, di sebelah mobil berdiri anak muda gagah, tegap, kumis tebal kayak iklan minyak cem-ceman.

“Nggih, Paman Krisna, mobilnya aman saya jagain,” katanya sambil senyum.
“Maturnuwun, Nak Gatot… Mas Penulis ini kudu lanjut perjalanan,” jawab si Mas Hitam.

Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga

 Dongeng Sibu Bayan (#016)

(Drupadi)
Jam tangan penulis menunjukkan pukul 10 pagi, walau baterainya tinggal satu bar, jadi mari kita percaya saja. Penulis duduk bersila di pojok gubuk sederhana di tengah hutan Wanamarta, tempat yang katanya sudah di-booking sejak semalam oleh Gareng dan Bagong lewat aplikasi NginepHutan.com. Ajakan mereka untuk ikut menyertai Pandawa ke hutan ini benar-benar susah ditolak, apalagi katanya bakal ada makan siang gratis dan konflik keluarga yang bisa dijadikan bahan tulisan. Siapa bisa nolak?

Di depan gubuk sudah ada Kyai Semar yang nampak sedang menghangatkan wedang jahe, dan Petruk yang sibuk nyari sinyal. Tapi yang membuat hati penulis terusik adalah absennya sosok Ibu Kunti. Pemimpin keluarga Pandawa, sekaligus CEO Rumah Tangga Dharma Inc., yang biasanya jadi pusat segala keputusan. Beliau biasanya hadir dengan aura karisma dan kemampuan multitasking luar biasa, bisa masak sambil menetapkan nasib anak-anaknya.

Tak lama kemudian, kelima Pandawa masuk sambil membawa kabar kemenangan mereka di sayembara Prabu Drupada. Mereka ceria, membawa bunga dan harapan. Tapi, ya begitulah… ceria itu cuma bertahan seumur jagung rebus. Karena saat mereka serahkan “hadiah” ke ibunya, Ibu Kunti langsung ambil alih acara. Tanpa basa-basi, tanpa musyawarah mufakat, ia berkata dengan tenang, “Drupadi akan menjadi istri kalian bersama.” (baca juga: Sayembara Prabu Drupada dan Jobfair)