Dongeng Sibu Bayan (#019)
Sampailah kami di
Sengguruh, desa kecil berjarak 8 km dari kota Kepanjen. Setelah melewati
jembatan Kali Brantas, kami berhenti sejenak di warung kecil yang menghadap ke
Selatan. Nampak tebing-tebing bukit kapur telanjang di desa Gampingan yang baru
kita lewati. Tiba-tiba Gatotkaca bergumam, “Aku jadi ingat adik tiriku, si
Antaraja. Tadinya aku berpikir, kalau aku anak semata wayang bapak, rupanya
bapak selain menikahi anak raksasa, ibuku, juga menikahi anak naga. Memang
seleranya luar biasa, tidak kalah sama Paman Arjuna”.
Kemudian Gatotkaca berkisah tentang adik tirinya itu.
“Semua bermula
dari kesembronoan Pakdhe Puntodewo. Berani-beraninya main dadu sama Kurawa,
sehingga kami sekeluarga Pandawa dipermalukan dan diasingkankan. Bapakku juga
naif, sudah tahu gurunya, Pandito Durno, guru yang omdo dan hipokrit masih saja
dipatuhi”
“Setelah para
Pandawa kalah dalam permainan dadu melawan Kurawa, mereka harus menjalani
hukuman pembuangan di hutan selama 13 tahun. Dalam masa pengembaraan itu, bapakku
mendapat perintah dari gurunya, Pandito Durna, untuk mencari Air Suci Tirta
Pawitra, sebagai syarat menyempurnakan ilmu dan kesaktiannya.
Bapakku melintasi
hutan, gunung, dan lembah hingga akhirnya tiba di sebuah gua di dasar bumi,
yang merupakan Kerajaan Ular, tempat bersemayamnya Batara Antaboga, raja para
naga.
Di dalam kerajaan
itu, bapak bertemu dengan Dewi Nagagini, putri dari Batara Antaboga. Sang naga
tua menyambut kedatangan Werkudara dengan hormat, sebab ia mengetahui kalau
bapak adalah ksatria utama Pandawa yang ditakdirkan menegakkan kebenaran di
muka bumi. Antaboga pun menawari Bima untuk tinggal sementara, karena dia
melihat bahwa Bima membawa cahaya takdir besar.
Batara Antaboga
bermaksud menjalin hubungan persaudaraan dengan Pandawa, dan oleh karena itu ia
menjodohkan putrinya, Dewi Nagagini, dengan Werkudara. Bapak sempat ragu, karena
ia adalah manusia dan Nagagini adalah bangsa naga, tetapi karena restu dari
Antaboga dan juga dorongan batin spiritualnya untuk menempuh laku, bapak akhirnya
menerima. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang anak yang berwujud manusia
setengah naga, yaitu Antareja. Aku membayangkan malam pertamanya gimana ya……”
kata Gatotkaca sambil tersenyum sendiri
Gatotkaca mengaduk
kopi saset di gelas plastik bening. Asapnya naik-naik tipis seperti asap pabrik
smelter ilegal. Ia masih termenung sambil sesekali melirik tebing kapur di
kejauhan, lalu melanjutkan kisahnya.
“Antareja itu
beda. Ia bukan ksatria biasa. Lidahnya aja bisa bikin orang mati. Iya, lidah, bukan
pedang, bukan pasukan. Cukup menjilat sedikit tanah yang diinjak lawan,
langsung terhubung ke energi bumi dan... pfftt, lawan musnah.” Ia
membuat gerakan jilat yang berlebihan, sampai wedang jahe di gelas ikut
bergelombang.
“Adikku, Antareja,
itu anak yang unik,” katanya. “Separuh manusia, separuh naga, separuh tidak
jelas. Antareja itu punya kekuatan aneh, bisa menyusup ke dalam tanah, menyatu
sama bumi. Bayangin, dia bisa nyelonong lewat lapisan mantel bumi kayak maling
tambang nikel yang nggak punya izin tapi punya kenalan pejabat.”
“Waduh,” kataku.
“Berarti dia cocok banget kerja di konsesi tambang nikel.”
“Nah, itu dia
masalahnya!” Gatotkaca mendelik. “Dia anak polos dan naif, karenanya dia sempat
direkrut sama perusahaan tambang yang logonya warna biru absurd. Namanya PT Sejahtera Bumi Lestari, anak usaha dari Grup Danayud Energi, berkantor di lantai 66
Menara Hastina. Dia pikir…itu aktivitas profesional biasa untuk cari nafkah”
“Sebentar sela
penulis…” sela penulis. “Kata Danayud belum pernah aku dengar di dunia pewayangan”
“Danayud itu
singkatan Duryudana dan Yudhistira. Meski mereka bermusuhan secara politik dan
mental, tapi kadang-kadang mereka juga bisa bersatu..apalagi kalau kalau urusan
duwit dan kekayaan bumi” ucap Gatotkaca dengan getir
Penulis menyedot
kopi tubruk yang semakin nikmat saat mendekati ampas. Krisna sibuk ngemil
kripik singkong. Gatotkaca pun dengan semangat melanjutkan ceritanya.
“Awalnya Antareja
cuma bantu deteksi tanah yang mengandung nikel…semacam kerja eksplorasi lah,
lagipula dia master-nya geologi. Tapi lama-lama dia merasa bersalah. Soalnya
tiap kali dia mencium bau nikel, tidak lama kemudian desa-desa sekitarnya lenyap,
hutan menghilang, sawah berubah jadi danau beracun, dan anak-anak kehilangan
tempat bermain karena diganti jadi jalan hauling truk tambang. Belum lagi
nelayan yang cuma bisa narik botol Aqua isi lumpur.”
“Belum selesai,”
kata Gatotkaca, matanya nyala lagi. “Antareja pernah curhat ke saya…”Kang Mas
Gatot, kalau kakek Antaboga, raja naga, penguasa bawah tanah…hidup hari ini,
dia pasti udah kirim surat protes ke kementerian bumi dan kayangan. Soalnya
nikel-nikel itu dikeruk seenaknya. Urat-urat naga dikoyak paksa demi baterai
mobil listrik yang katanya ramah lingkungan. Padahal, hutan-hutan di +62
seperti di Morowali, pulau Halmehera, Obi…menjerit setiap malam. Tapi nggak ada
yang denger, karena semuanya pakai earphone TWS.”
Gatotkaca sejenak
termenung, kemudian melanjutkan, “Salah satu yang paling dia sesali adalah saat
mencium aroma nikel di surga yang dititipkan Batara Guru di bumi, kalau tidak
salah surga itu namanya Ratu Telu…mirip banget sama Raja Ampat di negeri +62.
Saat itu…surga itu langsung jadi rebutan elit Hastina dan kayangan, termasuk
para dewa, dan sekarang lenyap entah kemana”.
Penulis menelan
ludah, antara miris dan nggak tahu harus ketawa atau menangis. Krisna pamit
untuk mencari kamar kecil, dia kebelet..entahlah.
“Suatu malam, dia
menghadap Krisna,” lanjut Gatotkaca. “Minta nasihat.”
“‘Paman Krisna,’
kata Antareja, ‘aku resah. Aku bantu keluarga besar Hastina, tapi tambang ini
juga merusak kehidupan. Apa artinya keadilan kalau rakyat kehilangan tanah dan dicekik
asap smelter, tapi kita bilang itu demi pembangunan dan green energy?’”
Gatotkaca tertawa
miris sambil menengok ke arah kamar kecil. “Dan tahu nggak, Krisna bilang apa?”
“‘Keseimbangan,
le. Dunia ini perlu keseimbangan. Kalau semua bersih, investor nggak datang.
Kalau semua kotor, nanti demo. Jadi ya... dikotorin pelan-pelan aja.’”
Penulis terdiam.
Filosofi yang dalam… dan beracun.
“Antareja kecewa.
Tapi karena dia anak yang naif, dia tetap patuh ke Paman Krisna. Termasuk saat
menjelang perang Bharatayuda, lagi-lagi alasan keseimbangan….”
Nah..ini makin menarik,
batin penulis.
“Politik dan
perang Bharatayudha bukan soal benar atau salah, tapi... keseimbangan. Krisna,
sang pengatur strategi itu, khawatir kalau Antareja ikut perang Baratayuda,
keseimbangan kekuatan jebol. Pandawa bisa menang telak, dan dunia tidak belajar
apa-apa tentang penderitaan.”
“Jadi?” tanyaku,
walau sudah bisa menebak arah ceritanya.
“Antareja disuruh mati
duluan. Dengan siasat licik yang dibungkus kata ‘takdir’. Padahal, Paman Krisna
itu mirip-mirip elite tambang juga, demi menjaga ‘keseimbangan’, rakyat bawah
dijadikan korban. Paman tahu kalau kekuatan Antareja terlalu besar. Kalau dia
ikut Baratayuda, Kurawa bisa punah dalam 1 menit. Nggak dramatis.”
“Jadi gimana
nasibnya?”
“Ya…gugur,” sahut
Gatotkaca santai. “Antarareja menjilat tapak kakinya sendiri”
Kami sama-sama
terdiam.
Gatotkaca menatap
ke arah tebing, lalu berbisik, “Kadang aku iri sama Antareja. Walau mati muda,
setidaknya dia nggak sempat ikut rapat revisi AMDAL. Antareja mungkin mati
karena takdir, tapi tanah kita mati karena kerakusan.”
Kami tahu cerita
itu belum berakhir. Antareja hanyalah satu dari ribuan yang dikorbankan,
dibungkam atas nama “takdir pembangunan”. Di negeri ini, tambang lebih didengar
daripada rakyat, dan lidah naga yang dulu mematikan kini dibungkam birokrasi
dan kontrak kerja. Gatotkaca kembali menatap tebing, “Kadang aku berpikir,
kalau Bharatayuda terjadi hari ini, Pandawa dan Kurawa mungkin sama-sama duduk
di dewan komisaris.”
Penulis tak bisa
menanggapi, hanya berharap bumi masih bersedia memaafkan manusia.
(Sibu Bayan)
Baca kisah selanjutnya: Nakula dan Sadewa, Magang di Proyek Narasi
No comments:
Post a Comment