Memoar Penyesalan Puntodewo, Jalan Tol Menuju Karma

 Dongeng Sibu Bayan (#028)

(Puntodewo/Yudhistira)

“Puntodewo datang kemari seorang diri, matanya sembab, namun tak ada lagi air mata,” kata Cak Sigit. “Penyesalan sangat terlihat dari wajah dan seluruh gestur tubuhnya, bahkan kopi yang aku hidangkan sama sekali tidak disentuh, dia sama sekali tidak berbicara semenjak datang,” lanjut Cak Sigit, lelaki tambun asal Madura, sahabat Penulis yang tinggal di Lumajang. “Dari pagi sampai menjelang malam, dia hanya duduk termenung di kursi jati tua itu, sebelum akhirnya sedikit curhat sebelum pamit entah kemana.” (baca: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62

Penulis cukup terkejut dengan fakta yang disampaikan Cak Sigit. Rupanya yang bisa terjebak di dunia pewayangan bukan hanya penulis. Namun keterkejutan ini belum seberapa dibanding saat mendengar Gareng tiba-tiba muncul dari balik dapur membawa ketela goreng dan seikat daun kelor.

"Lho, Mas Gareng kok ada di sini?" tanya Penulis setengah heran.

"Aku ini laskar lintas alam dan lintas perut, Mas," jawab Gareng sembari duduk santai. "Kalau ada kabar raja nyesel, itu sinyal bahwa rakyat kudu siap-siap—soalnya biasanya, setelah raja nangis, giliran rakyat yang disuruh hemat."

Cak Sigit ngakak. "Gareng ini dari tadi nunggu Puntodewo ngomong. Tapi katanya, begitu raja mulai curhat, dia malah nyelutuk, 'Wah, cocok jadi influencer tobat!'"

Gareng cengar-cengir. "Ya piye maneh, cak. Raja zaman now nyesel tuh viralnya lebih cepet dari berita resesi."

Sambil menyalakan rokok kretek kesayangannya, Cak Sigit berdehem pelan, seolah hendak membuka tabir kegundahan tamunya. “Kusingkirkan ayam jago dari halaman, takut gaduh. Tapi sunyi malah makin berat, Dik (begitu cak Sigit biasa memanggil Penulis)".......Cak Sigit diam sejenak, "Hanya napas Puntodewo yang terdengar, pendek-pendek, seperti orang menahan gelombang laut di dadanya.”

“Sampeyan tahu, Dik,” lanjut Cak Sigit sambil menggoyang-goyangkan sandal jepitnya, “biasanya raja datang itu bawa iring-iringan, pengawal, mungkin sedikit angin surga. Ini lho, Puntodewo datang kayak orang habis diputus pacar, bawa badan, bau keringat, sama sesal.”

“Dia diam saja, matanya menatap kosong ke pohon sukun di halaman. Aku sempat bertanya: ‘Mau makan? Mau mandi?’ Tapi dia cuma geleng pelan. Aku tahu, bukan karena lapar atau capek, tapi karena hatinya nyesek. Kayak orang habis nelen utang negara sendirian.”

Cak Sigit menggeser posisi duduknya. "Dan tahu nggak, Dik, setelah peristiwa dadu itu, Pandawa jadi bubrah. Mereka tak lagi duduk satu meja. Werkudoro minggat ke pedalaman, Arjuna diam-diam mengajar yoga di negeri seberang, Nakula-Sadewa balik ke hutan buat tanam porang. Mereka tak percaya lagi pada Puntodewo. Bahkan Drupadi pun menjauh."

"Lho, kenapa Drupadi?" tanya Penulis.

"Katanya merasa diabaikan. Waktu dia dipermalukan Dursasana, Puntodewo cuma diam. Dia malu, merasa kotor, merasa bukan lagi bagian dari keluarga yang tega diam saat kehormatannya diinjak. Padahal dulu dia ikut menanggung derita bersama Pandawa dari hutan ke hutan. Sekarang, Puntodewo malah sibuk meresmikan jalan tol."“Aku telah menjual keyakinanku pada dadu,” ucap Cak Sigit menirukan nada Puntodewo. “Dan dadu itu, kisanak, menjelma aspal — panjang, hitam, membentang tanpa tujuan. Tiap lembar dadu yang kuhempaskan sama saja menusuk bumi, menimbun sawah, menelan hutan. Kurawa menepuk-nepuk bahuku, berkata ‘Pembangunan itu ibadah, Maharaja.’ Aku percaya.”

Cak Sigit menghembuskan asap rokok kreteknya. "Dik, sebenarnya ini kayak yang kita lihat sekarang. Puntodewo itu ya mantan Raja +62 juga. Dulu dielu-elukan, diarak, dijadikan simbol kesederhanaan. Tapi setelah proyek-proyek besar bikin utang numpuk, para pendukungnya malah cari selamat sendiri-sendiri. Ada yang loncat ke istana baru, ada yang ganti seragam dan mulai menjilat Raja baru. Nggak ada yang berani bilang: 'Aku dulu ikut bikin ini jadi begini.'""Lho, kenapa Drupadi?" tanya Penulis.

Penulis terdiam membayangkan adegan itu. Dalam benaknya, bayangan drone promosi infrastruktur melintas: jembatan melengkung macam ular sawah, kereta melesat bagai panah Arjuna, bandara sunyi yang jadi kandang kambing. “Lalu hutang?”

“Katanya,” sambung Cak Sigit, “hutang menetas seperti serangga malam. Angka pada layar istana melonjak, berubah warna merah, tapi mereka, Pandawa, terlambat membacanya. Mereka sibuk memoles prasasti peresmian, lupa menghitung musim panen yang hilang.”

Cak Sigit mengambil secarik koran; halaman depannya memuat foto mantan Raja +62 yang tengah duduk lesu dalam sebuah ruangan tertutup, dengan judul besar ‘Raja Lengser, Hutang Warisan Siap Jatuh Tempo’. “Katanya sekarang hidup lebih sepi, Dik. Bukan karena sakit, tapi karena karma. Banyak mantan rakyat yang dulu dielus sekarang mencibir. Mungkin itu ganjaran dari pembangunan yang tak sempat mendengar keluhan petani. Kata orang kampung sini, kalau terlalu tinggi membangun, jangan lupa menunduk—biar gak kepentok langit.”

Cak Sigit melipat koran itu perlahan. “Sekarang mantan Raja +62 kayak gelandangan politik. Dulu punya kekuasaan, punya loyalis, menguasai semua partai. Sekarang ditinggal semua. Yang dulu pasang baliho, sekarang pasang muka di istana baru. Anaknya memang jadi mahapatih lewat jalur ordal, tapi dia sendiri? Seperti Puntodewo, sendirian, menanggung beban tanpa siapa-siapa.” Penulis menatap kosong ke luar jendela. “Lalu kenapa curhat ke rakyat? Bukan ke Batara Dharma?”

Cak Sigit menjawab cepat. “Karena katanya rakyat yang paling tahu rasa sesungguhnya dari kebijakan itu. Yang kehilangan sawah demi jalan tol dan rest area. Batara Dharma cuma ngerti hukum, tapi tak pernah mencangkul. Ibu Kunti melahirkan mereka, tapi tak tahu berapa harga cabai minggu ini. Kebenaran sejati cuma ada di antara orang-orang yang hidup dari tanah yang digadaikan.”

Ia melanjutkan, “Kata Puntodewo, kekuasaan telah menyesatkannya. Dia percaya bahwa pembangunan bisa menjadi persembahan kepada negeri. Tapi salah menaruh kepercayaan. Dia tidak mencari pengampunan, cuma ingin didengar.”

Cak Sigit nyengir, “Nah, ini baru raja beneran. Kalau dulu datang cuma buat potong pita, kami rakyat bingung, itu pita buat ngeresmikan jalan, atau nutupin aib?”

Penulis merasakan hawa dingin menyeruak di antara kopi yang tak tersentuh. Gareng tiba-tiba nyeletuk, "Eh Mas, kalau ceritamu ini jadi viral, kira-kira Puntodewo bakal endorse sabun pembersih dosa gak?"

Cak Sigit terbahak. "Wes, wes, Gareng! Iki raja lagi tobat, bukan lagi buka PO kaos dakwah."

Penulis menggeleng pelan, tapi senyum tak bisa ditahan. Di tengah penyesalan raja dan luka rakyat, Gareng seperti jeda yang mengingatkan bahwa hidup tak selalu harus serius—kadang, luka juga butuh ditertawakan agar tak membusuk.

“Dia berdiri pelan, Dik. Langkahnya goyah tapi pasti. Dia bilang, ‘Bantu aku. Ceritakan kisah ini bukan sebagai dongeng dadu, tapi sebagai kesaksian: ketika raja paling jujur dan sederhanapun bisa terpeleset oleh kilau proyek raksasa.’”

"Setelah berkata demikian, Puntodewo berpamitan. Ia berjalan pelan meninggalkan halaman, menyusuri jalan tanah menuju lereng gunung, tempat ia akan menjalani pengasingan sebagai bentuk pertobatan.

"Aku hanya bisa memandangi punggung Puntodewo yang perlahan menghilang di balik kabut senja. "Ora gampang, Dik. Tapi paling tidak, dia nggak kabur ke luar negeri bawa koper."

Gareng mengangguk. "Dan dia nggak ngaku-ngaku reformis, toh dia juga nitip anaknya di kursi kekuasaan."

Tiba-tiba terdengar suara serak tapi lantang dari pojok dapur. Ternyata Petruk sudah duduk dari tadi, entah sejak kapan, sambil mengunyah rujak petis.

"Cak Sigit, Gareng, Mas Penulis... kalau soal ini, aku mau nambahi dikit," ujar Petruk sambil mengibas-ngibaskan sandal jepitnya yang bolong. "Itu lho, yang dulu dielu-elukan rakyat, dipuji tiap sore di televisi. Sekarang? Jadi gelandangan politik. Dulu punya partai, punya loyalis, punya pengawal khusus. Sekarang ditinggal semua."

Gareng nyeletuk, "Tapi anaknya jadi mahapatih."

Petruk mengangguk cepat. "Ya itu... lewat ordal. Bapaknya jadi legenda yang ditinggal zaman, anaknya naik karena jalur warisan. Ironi negeri ini, yang membangun jalan ditinggal, yang numpang lewat malah naik pangkat."

Cak Sigit mengangkat gelas kopinya dan tertawa pahit. "Lha piye, Truk. Zaman sekarang yang penting bukan warisan nilai, tapi warisan jabatan."

Petruk menambahkan, "Makanya jangan terlalu percaya dadu. Kadang keluar angka bagus cuma buat nutupi luka yang dalam. Puntodewo sadar dan memilih ngilang. Yang satu lagi, sibuk cari panggung buat pamitan, tapi tak tahu ke mana pulang." Mirip Puntodewo, tapi nggak punya keberanian buat minta maaf ke rakyat.”

Di luar, lampu jalan menyala satu per satu, menggambarkan garis panjang seperti ular besi, jejak pembangunan yang belum lunas. Penulis tahu, malam ini, ia tak sekadar mendengar cerita. Dalam suara lirih Puntodewo, seolah-olah ia juga sedang mendengar suara lain, suara pemimpin yang pernah dielu-elukan rakyat, kini menanggung beban warisan proyek dan janji. Barangkali, penyesalan Puntodewo ini bukan hanya milik pewayangan, tapi gema dari penyesalan seorang mantan raja yang perlahan tersadar: bahwa jalan-jalan megah tak selalu membawa pulang kebahagiaan. Cerita ini sedang merekam pengakuan dosa seorang raja, sekaligus memoar sebuah negeri yang pernah percaya bahwa beton bisa menyelesaikan segalanya.

Pada akhirnya, Puntodewo tidak mendaki kahyangan atau bersemedi di hutan. Ia duduk di kursi kayu tua milik rakyat biasa, mengakui kesalahannya. Sebab di situlah dharma yang sejati bisa kembali tumbuh: di tanah yang pernah ia abaikan.

(Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya: Dadu Pangan, Werkudoro Muntab dan Petani Ter'Nerf'

 



No comments:

Post a Comment