Dongeng Sibu Bayan (#017)
Saat hendak berpamitan dari Wanamarta, Kyai Semar memanggil pria kurus setengah baya, hitam legam. Sekilas tampak biasa, bahkan lusuh. Namun saat berdiri di hadapan Kyai Semar, tubuhnya yang ringkih memancarkan keagungan yang sulit dijelaskan, seakan bumi sendiri mengakui kehadirannya. “Tolong antarkan Mas Penulis, ya,” kata Kyai Semar sambil ngelus perut buncitnya. Si Mas Hitam itu nggak ngomong sepatah kata pun. Langsung jalan. Penulis ikut saja, walau dalam hati nyeletuk, “Ini siapa, ya? Kok auranya kayak dosen filsafat yang abis puasa ngomong lima tahun.” (baca kisah sebelumnya: Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga)
Kami menyusuri hutan lewat jalur aneh yang kayaknya nggak ada di Google Maps. Penulis mulai mikir, ini jalan menuju mobil yang entah bagaimana kondisinya, karena parkir di tepi jalan lintas selatan yang membelah hutan lindung Kondang Merak. Tiba-tiba si Mas Hitam ngomong datar tapi nancep, “Santuy aja. Udah dikondisikan.” Lah?! Ini orang bisa baca pikiran?
Sampai di mobil,
penulis deg-degan, tapi mobilnya masih utuh, bahkan jam di dashboard masih
nunjukin waktu yang sama seperti saat ditinggal. Lebih absurd lagi, di sebelah
mobil berdiri anak muda gagah, tegap, kumis tebal kayak iklan minyak cem-ceman.
“Nggih, Paman
Krisna, mobilnya aman saya jagain,” katanya sambil senyum.
“Maturnuwun, Nak Gatot… Mas Penulis ini kudu lanjut perjalanan,” jawab si Mas
Hitam.
Penulis langsung
nge-freeze. Paman Krisna? Nak Gatot? Gatotkaca?? Wah gila… ini bukan
cuma jalan-jalan ke hutan, ini udah masuk Netflix-nya dunia wayang.
“Hutan yang aneh…” batin penulis.
“Saat Mas Penulis nanti kembali ke sini, hutan ini sudah menjadi kerajaan yang
agung,” ujar Krisna sambil memperkenalkan diri. Dia juga menyampaikan pesan
Kyai Semar agar Krisna menemani penulis sampai kota Kepanjen. Meski agak
menyimpang dari rencana, penulis mengiyakan, siapa tahu dapat cerita baru dari
teman perjalanan, Krisna dan Gatotkaca.
Di sepanjang jalan
menuju Kepanjen, penulis duduk di balik setir, konsen nyetir tapi kuping pasang
radar. Di kursi sebelah, duduk manis sosok yang katanya Krisna—iya, yang itu,
Dewa Konsultan Strategisnya Pandawa. Tenang, kalem, bajunya sederhana, tapi auranya
kayak habis meditasi di Gunung Semeru sambil ngedit RUU.
Di jok belakang,
Gatotkaca. Badannya gedé, duduk aja jok mobil bunyinya meringis, ngiiik.
Kumisnya tebal kayak pengawas ujian di kampus.
Penulis sempat
melirik ke Krisna. “Mas, ini beneran Krisna? Yang bikin Kaur Ekonomi Kurawa
pingsan gara-gara debat?”
Krisna senyum,
“Itu mah dulu. Sekarang debat kalah sama trending topic.”
Mobil meluncur
pelan melewati hutan yang mulai berubah jadi calon perumahan cluster.
Penulis mendesah pelan. “Ini semua dulunya ladang, ya…”
****
Jalanan mulai berkelok, dan di antara sunyinya pepohonan, penulis merasa seperti melewati lorong waktu. Padahal ini masih di dashboard Google Maps—eh, maksudnya, seolah di dashboard Google Maps. Tapi sinyal ilang, dan realitas pun goyah.
“Sekarang kita
masuk ke Wanamarta,” kata Krisna, nada suaranya mendadak khidmat.
Penulis menengok.
“Tadi katanya udah keluar dari Wanamarta?”
“Kita memang sudah
keluar dari hutan secara fisik, tapi kamu belum keluar dari cerita ini,” kata
Krisna.”
“Wanamarta bukan
soal tempat. Ini semacam ide yang terus diusir, tapi nggak pernah mati,” jawab
Gatotkaca sambil ngetok-ngetok atap mobil. “Dulu ini rimba yang nggak dianggap.
Tapi Pandawa datang bukan buat jadi penguasa, mereka datang karena diusir dari istana.
Mereka tahu, hidup itu bukan soal tahta, tapi tanah.”
Krisna mengangguk
pelan. “Dulu Wanamarta itu hutan yang kami buka jadi Amarta, kemudian menjadi pusat
pertanian, pusat peradaban. Sekarang, hutan dibuka buat pangan, tapi itu
gimmick, kayunya lebih laku dijual buat mebel mahal daripada buat nyediain
beras. Lah, sawahnya malah dijadikan vila dan kolam renang yang dikasih label ‘eco’
biar kedengeran keren dan peduli lingkungan.”
Penulis diam.
Kalimat itu nancep di ulu hati.
“Waktu kami
pertama datang,” lanjut Krisna, “Wanamarta nggak cuma hutan liar. Ini tempat
yang dikutuk. Katanya penuh jin, penuh kematian. Tapi Werkudoro bilang, ‘Kalau
kita bisa berdamai dengan tanah dan hantu-hantu masa lalu, tempat ini bisa jadi
rumah.’”
Maka dimulailah
kisah itu: Pandawa membangun Amarta dari titik nol. Mereka tidak punya APBN,
tidak ada investor asing, tidak juga konsultan branding. Tapi mereka
punya waktu, otot, dan tekad. Karena ini bulan IKN di negeri +62.
Penulis nyengir
kecut. Gatotkaya yang sedari tadi diam tiba-tiba menyela “Kadang heran, Mas…
Negara agraris +62, tapi lahan sawah makin susah dicari. Yang ada malah café
de sawah dan tempat healing pakai bean bag. Kampus pertanian
juga makin aneh. Yang dulu belajar ilmu tanah, sekarang malah ngurus konten
TikTok. Praktikum ganti jadi webinar.”
Krisna ketawa
kecil. “Betul, perguruan tinggi pertanian paling gedé di negeri ini sekarang
lebih bangga punya startup incubator daripada greenhouse. Dulu
mahasiswa bawa cangkul, nyemplung ke sawah, ngeluh kena lumpur. Sekarang? Bawa
laptop, nge-pitch ide startup. Pitching itu kayak jualan start-up
ke investor biar dikasih duit, bukan jualan hasil panen ke pasar. Jadi bukan
tanah yang digarap, tapi ‘powerpoint’ dan ‘Excel’ yang dipoles mulus.”
Gatotkaca nyaut,
“Dosen juga, Mas. Lebih sering nulis paper bereputasi internasional daripada
bantu petani di Karawang.”
“Negara ini,”
lanjut Krisna, “katanya penghasil rempah sejak abad ke-12. Tapi sekarang beli benih,
bibit dan pupuk aja harus impor. Yang lokal cuma slogan.”
Mobil melewati
papan besar bertuliskan Zona Agri-Tech Inovatif Berkelanjutan, tapi di
baliknya hanya gulma dan bekas spanduk seminar. Ironi yang terpampang nyata.
“Lihat tuh,”
tunjuk Krisna, “dulu tempat seperti itu jadi lumbung pengetahuan pertanian.
Sekarang jadi spot selfie dan basecamp diskusi tanpa tanah.”
Penulis mulai
merasa seperti lagi disetir, padahal dia yang nyetir mobil. Hati mulai terusik.
Krisna dan Gatotkaca terus membully kampus penulis.
“Di kampus
pertanian sekarang,” kata Gatotkaca, “orang sibuk bahas smart farming
dan drone penyemprot. Tapi lupa, siapa yang mau jadi petani?”
Krisna mengangguk.
“Dan jangan lupakan: dulu kampus pertanian itu dibangun untuk kedaulatan
pangan, sekarang malah lebih mirip pabrik konsultan. Semuanya digital, tapi
tanahnya tetap terlantar.”
“Bahkan logo
kampusnya udah nggak pakai gambar padi,” tambah Gatotkaca sambil tertawa getir.
“Katanya sih
transformasi,” gumam penulis.
“Transformasi
apanya?” kata Krisna. “Kalau petani nggak diajak mikir, mahasiswa disuruh jadi
enterpreneur tapi lupa cara menanam, dan desa dianggap cuma data statistik… ya
itu bukan transformasi. Itu penyamaran.”
****
“Kami temani kamu
bukan cuma buat nostalgia,” ucap Krisna perlahan. “Tapi buat nyambung cerita.
Supaya kamu nulis, supaya orang ingat… bahwa pertanian bukan kenangan. Tapi
fondasi peradaban.”
Penulis menarik
napas dalam, menatap jalanan yang membentang lurus menuju Kepanjen yang nampak
bukan jalan aspal ke Kepanjen. Tapi jalan panjang kembali ke akar, ke tanah, ke
lumpur, ke hutan yang ingin jadi ladang, bukan lapangan golf. Pikiran melayang
jauh ke masa lalu, ke masa ketika membuka hutan berarti membuka harapan. Bukan
sekadar membuka lahan untuk ruko atau rest area bertema “nusantara”.
“Jadi, Mas
Krisna…” penulis mulai, pelan, “gimana caranya kalian dulu bisa buka hutan
Wanamarta dan bikin jadi kerajaan?”
Krisna
menyandarkan kepala ke jendela mobil, matanya menerawang. “Kami nggak datang
dengan buldoser, apalagi izin konsesi. Kami datang dengan tekad dan…. Karena
kami tahu, membuka hutan bukan buat menguasai, tapi buat hidup bersama.”
“Dulu Pandawa itu
nggak punya tanah,” lanjut Gatotkaca. “Dikasih lahan bekas hutan rimba yang
penuh bahaya dan kutukan. Tapi mereka nggak minta proyek. Mereka turun tangan. Arjuna
membuka hutan dengan panahnya, bukan untuk perang, tapi untuk membelah semak
dan membuat jalan air. Werkudoro mencangkul tiap pagi sampai malam, tanpa
memikirkan followers. Puntodewo membuat peraturan desa…eh, kerajaan…yang
intinya satu: tanah untuk rakyat. Nakula dan Sadewa menanam dan merawat tanah
dengan ilmu yang bahkan belum diajarkan di kampus pertanian mana pun sekarang”.
Penulis terdiam,
membayangkan bayangan Pandawa di ladang. “Aneh ya, gotong royong kayak gitu
sekarang malah dibilang kampungan…”
Krisna tersenyum
pahit. “Karena zaman berubah, Mas. Dulu kalau orang nyangkul dianggap pejuang.
Sekarang, yang dianggap sukses itu yang bisa beli tanah pakai aplikasi.”
“Lagian sekarang,”
sela Gatotkaca, “petani malah dianggap gagal update. Lha wong yang lulus kuliah
pertanian aja ogah turun ke sawah. Semua pengin jadi analis food security,
tapi kalau suruh nanem singkong, langsung nyari WiFi.”
Penulis tertawa
miris. “Kayaknya ngebuka Wanamarta zaman sekarang butuh lebih dari sekadar
cangkul, ya.”
“Betul,” jawab
Krisna. “Zaman sekarang, hutan bisa dibuka oleh orang yang bahkan belum pernah
lihat hutan. Cuma modal peta, drone, dan niat buat bikin kota modern atau glamping
resort.”
Mobil melaju
pelan, melewati hamparan lahan kosong dengan plang besar bertuliskan “Segera
Dibangun: Agropolitan City of Future”. Tapi tak ada tanda-tanda kehidupan,
hanya alang-alang dan jejak ekskavator yang mandek.
“Dulu, Amarta
dibangun dari kerja dan keringat. Sekarang, cukup PowerPoint dan tender.
Semua seolah modern, padahal nilai-nilai dasarnya hilang—gotong royong,
keberlanjutan, hubungan manusia dengan tanah,” Krisna berkata pelan, hampir
seperti doa.
“Mas Penulis,”
kata Krisna, kini menatap lurus ke depan. “Kalau kamu mau menulis tentang
Wanamarta dan Amarta, tulislah bukan hanya kisah para Pandawa, tapi juga kisah
para petani yang tak tercatat. Mereka yang tiap hari membuka ‘hutan’ dalam
hidupnya, hutan kemiskinan, hutan kebijakan ngawur, hutan pendidikan yang tak
berpihak.”
“Dan jangan lupa,”
tambah Gatotkaca sambil nyengir, “kasih bumbu drama dikit. Biar orang baca
nggak ngantuk.”
Penulis tertawa.
“Siap, Gatot. Tapi jangan salahkan saya kalau nanti tulisan ini jadi
kontroversial.”
Krisna tersenyum
tipis. “Tulisan yang tidak mengguncang, tidak akan menggerakkan.”
Di kejauhan,
matahari mulai turun perlahan. Cahaya keemasan menyinari jalan yang kami
tempuh. Bukan hanya jalan ke Kepanjen, tapi jalan kembali ke akar: pada alam,
pada tanah, dan pada nalar sehat tentang apa itu membangun dan apa itu
benar-benar tumbuh.
Di luar, lanskap
mulai berubah. Hutan-hutan berganti sawah. Lahan-lahan yang tadinya kosong,
kini ramai. Tapi tak ada iklan properti. Tak ada villa estetik. Hanya suara
burung, gemericik irigasi, dan anak-anak kecil berlarian dengan kaki belepotan
lumpur.
“Selamat datang di
Amarta,” ujar Krisna.
“Ini… beneran
dibangun sama Pandawa?”
“Ya. Tapi bukan
mereka saja. Rakyatlah yang membangun. Pandawa cuma memulai,” jawab Krisna. “Mas
Penulis…tuliskan yang tak terlihat, menyuarakan mereka yang hidupnya dianggap
terlalu remeh untuk masuk headline.”
Penulis terdiam.
Di dashboard, waktu menunjukkan pukul yang sama seperti saat mereka berangkat.
Tapi di dalam hati, seperti sudah menempuh berabad-abad perjalanan.
Gatotkaca
menyenggol pundak penulis dari belakang. “Eh, jangan baper. Belum selesai ini
ceritanya. Masih banyak soal raja-raja palsu, pahlawan-pahlawan karbitan, dan
sistem yang lebih horor dari hantu hutan.”
Penulis tertawa.
“Oke. Gas. Kita mulai dari mana?”
Krisna tersenyum.
“Mulailah dari tanah. Karena dari situlah segalanya tumbuh.”
Penulis melirik
kaca spion. Bayangan hutan Wanamarta semakin jauh. Tapi kelembutan desahnya masih
terasa.
Cerita selanjutnya: Gatotkaca, dari Kawah Candradimuka ke Kampus Berdampak
(Sibu Bayan)
No comments:
Post a Comment