Wanamarta, Alegori Peradaban Pertanian +62

 Dongeng Sibu Bayan (#017)

(Krisna dan Gatotkaca)

Saat hendak berpamitan dari Wanamarta, Kyai Semar memanggil pria kurus setengah baya, hitam legam. Sekilas tampak biasa, bahkan lusuh. Namun saat berdiri di hadapan Kyai Semar, tubuhnya yang ringkih memancarkan keagungan yang sulit dijelaskan, seakan bumi sendiri mengakui kehadirannya. “Tolong antarkan Mas Penulis, ya,” kata Kyai Semar sambil ngelus perut buncitnya. Si Mas Hitam itu nggak ngomong sepatah kata pun. Langsung jalan. Penulis ikut saja, walau dalam hati nyeletuk, “Ini siapa, ya? Kok auranya kayak dosen filsafat yang abis puasa ngomong lima tahun.” (baca kisah sebelumnya: Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga)

Kami menyusuri hutan lewat jalur aneh yang kayaknya nggak ada di Google Maps. Penulis mulai mikir, ini jalan menuju mobil yang entah bagaimana kondisinya, karena parkir di tepi jalan lintas selatan yang membelah hutan lindung Kondang Merak. Tiba-tiba si Mas Hitam ngomong datar tapi nancep, “Santuy aja. Udah dikondisikan.” Lah?! Ini orang bisa baca pikiran?

Sampai di mobil, penulis deg-degan, tapi mobilnya masih utuh, bahkan jam di dashboard masih nunjukin waktu yang sama seperti saat ditinggal. Lebih absurd lagi, di sebelah mobil berdiri anak muda gagah, tegap, kumis tebal kayak iklan minyak cem-ceman.

“Nggih, Paman Krisna, mobilnya aman saya jagain,” katanya sambil senyum.
“Maturnuwun, Nak Gatot… Mas Penulis ini kudu lanjut perjalanan,” jawab si Mas Hitam.

Penulis langsung nge-freeze. Paman Krisna? Nak Gatot? Gatotkaca?? Wah gila… ini bukan cuma jalan-jalan ke hutan, ini udah masuk Netflix-nya dunia wayang.
“Hutan yang aneh…” batin penulis.
“Saat Mas Penulis nanti kembali ke sini, hutan ini sudah menjadi kerajaan yang agung,” ujar Krisna sambil memperkenalkan diri. Dia juga menyampaikan pesan Kyai Semar agar Krisna menemani penulis sampai kota Kepanjen. Meski agak menyimpang dari rencana, penulis mengiyakan, siapa tahu dapat cerita baru dari teman perjalanan, Krisna dan Gatotkaca.

Di sepanjang jalan menuju Kepanjen, penulis duduk di balik setir, konsen nyetir tapi kuping pasang radar. Di kursi sebelah, duduk manis sosok yang katanya Krisna—iya, yang itu, Dewa Konsultan Strategisnya Pandawa. Tenang, kalem, bajunya sederhana, tapi auranya kayak habis meditasi di Gunung Semeru sambil ngedit RUU.

Di jok belakang, Gatotkaca. Badannya gedé, duduk aja jok mobil bunyinya meringis, ngiiik. Kumisnya tebal kayak pengawas ujian di kampus.

Penulis sempat melirik ke Krisna. “Mas, ini beneran Krisna? Yang bikin Kaur Ekonomi Kurawa pingsan gara-gara debat?”

Krisna senyum, “Itu mah dulu. Sekarang debat kalah sama trending topic.”

Mobil meluncur pelan melewati hutan yang mulai berubah jadi calon perumahan cluster. Penulis mendesah pelan. “Ini semua dulunya ladang, ya…”

****

Jalanan mulai berkelok, dan di antara sunyinya pepohonan, penulis merasa seperti melewati lorong waktu. Padahal ini masih di dashboard Google Maps—eh, maksudnya, seolah di dashboard Google Maps. Tapi sinyal ilang, dan realitas pun goyah.

“Sekarang kita masuk ke Wanamarta,” kata Krisna, nada suaranya mendadak khidmat.

Penulis menengok. “Tadi katanya udah keluar dari Wanamarta?”

“Kita memang sudah keluar dari hutan secara fisik, tapi kamu belum keluar dari cerita ini,” kata Krisna.”

“Wanamarta bukan soal tempat. Ini semacam ide yang terus diusir, tapi nggak pernah mati,” jawab Gatotkaca sambil ngetok-ngetok atap mobil. “Dulu ini rimba yang nggak dianggap. Tapi Pandawa datang bukan buat jadi penguasa, mereka datang karena diusir dari istana. Mereka tahu, hidup itu bukan soal tahta, tapi tanah.”

Krisna mengangguk pelan. “Dulu Wanamarta itu hutan yang kami buka jadi Amarta, kemudian menjadi pusat pertanian, pusat peradaban. Sekarang, hutan dibuka buat pangan, tapi itu gimmick, kayunya lebih laku dijual buat mebel mahal daripada buat nyediain beras. Lah, sawahnya malah dijadikan vila dan kolam renang yang dikasih label ‘eco’ biar kedengeran keren dan peduli lingkungan.”

Penulis diam. Kalimat itu nancep di ulu hati.

“Waktu kami pertama datang,” lanjut Krisna, “Wanamarta nggak cuma hutan liar. Ini tempat yang dikutuk. Katanya penuh jin, penuh kematian. Tapi Werkudoro bilang, ‘Kalau kita bisa berdamai dengan tanah dan hantu-hantu masa lalu, tempat ini bisa jadi rumah.’”

Maka dimulailah kisah itu: Pandawa membangun Amarta dari titik nol. Mereka tidak punya APBN, tidak ada investor asing, tidak juga konsultan branding. Tapi mereka punya waktu, otot, dan tekad. Karena ini bulan IKN di negeri +62.

Penulis nyengir kecut. Gatotkaya yang sedari tadi diam tiba-tiba menyela “Kadang heran, Mas… Negara agraris +62, tapi lahan sawah makin susah dicari. Yang ada malah café de sawah dan tempat healing pakai bean bag. Kampus pertanian juga makin aneh. Yang dulu belajar ilmu tanah, sekarang malah ngurus konten TikTok. Praktikum ganti jadi webinar.”

Krisna ketawa kecil. “Betul, perguruan tinggi pertanian paling gedé di negeri ini sekarang lebih bangga punya startup incubator daripada greenhouse. Dulu mahasiswa bawa cangkul, nyemplung ke sawah, ngeluh kena lumpur. Sekarang? Bawa laptop, nge-pitch ide startup. Pitching itu kayak jualan start-up ke investor biar dikasih duit, bukan jualan hasil panen ke pasar. Jadi bukan tanah yang digarap, tapi ‘powerpoint’ dan ‘Excel’ yang dipoles mulus.”

Gatotkaca nyaut, “Dosen juga, Mas. Lebih sering nulis paper bereputasi internasional daripada bantu petani di Karawang.”

“Negara ini,” lanjut Krisna, “katanya penghasil rempah sejak abad ke-12. Tapi sekarang beli benih, bibit dan pupuk aja harus impor. Yang lokal cuma slogan.”

Mobil melewati papan besar bertuliskan Zona Agri-Tech Inovatif Berkelanjutan, tapi di baliknya hanya gulma dan bekas spanduk seminar. Ironi yang terpampang nyata.

“Lihat tuh,” tunjuk Krisna, “dulu tempat seperti itu jadi lumbung pengetahuan pertanian. Sekarang jadi spot selfie dan basecamp diskusi tanpa tanah.”

Penulis mulai merasa seperti lagi disetir, padahal dia yang nyetir mobil. Hati mulai terusik. Krisna dan Gatotkaca terus membully kampus penulis.

“Di kampus pertanian sekarang,” kata Gatotkaca, “orang sibuk bahas smart farming dan drone penyemprot. Tapi lupa, siapa yang mau jadi petani?”

Krisna mengangguk. “Dan jangan lupakan: dulu kampus pertanian itu dibangun untuk kedaulatan pangan, sekarang malah lebih mirip pabrik konsultan. Semuanya digital, tapi tanahnya tetap terlantar.”

“Bahkan logo kampusnya udah nggak pakai gambar padi,” tambah Gatotkaca sambil tertawa getir.

“Katanya sih transformasi,” gumam penulis.

“Transformasi apanya?” kata Krisna. “Kalau petani nggak diajak mikir, mahasiswa disuruh jadi enterpreneur tapi lupa cara menanam, dan desa dianggap cuma data statistik… ya itu bukan transformasi. Itu penyamaran.”

****

“Kami temani kamu bukan cuma buat nostalgia,” ucap Krisna perlahan. “Tapi buat nyambung cerita. Supaya kamu nulis, supaya orang ingat… bahwa pertanian bukan kenangan. Tapi fondasi peradaban.”

Penulis menarik napas dalam, menatap jalanan yang membentang lurus menuju Kepanjen yang nampak bukan jalan aspal ke Kepanjen. Tapi jalan panjang kembali ke akar, ke tanah, ke lumpur, ke hutan yang ingin jadi ladang, bukan lapangan golf. Pikiran melayang jauh ke masa lalu, ke masa ketika membuka hutan berarti membuka harapan. Bukan sekadar membuka lahan untuk ruko atau rest area bertema “nusantara”.

“Jadi, Mas Krisna…” penulis mulai, pelan, “gimana caranya kalian dulu bisa buka hutan Wanamarta dan bikin jadi kerajaan?”

Krisna menyandarkan kepala ke jendela mobil, matanya menerawang. “Kami nggak datang dengan buldoser, apalagi izin konsesi. Kami datang dengan tekad dan…. Karena kami tahu, membuka hutan bukan buat menguasai, tapi buat hidup bersama.”

“Dulu Pandawa itu nggak punya tanah,” lanjut Gatotkaca. “Dikasih lahan bekas hutan rimba yang penuh bahaya dan kutukan. Tapi mereka nggak minta proyek. Mereka turun tangan. Arjuna membuka hutan dengan panahnya, bukan untuk perang, tapi untuk membelah semak dan membuat jalan air. Werkudoro mencangkul tiap pagi sampai malam, tanpa memikirkan followers. Puntodewo membuat peraturan desa…eh, kerajaan…yang intinya satu: tanah untuk rakyat. Nakula dan Sadewa menanam dan merawat tanah dengan ilmu yang bahkan belum diajarkan di kampus pertanian mana pun sekarang”.

Penulis terdiam, membayangkan bayangan Pandawa di ladang. “Aneh ya, gotong royong kayak gitu sekarang malah dibilang kampungan…”

Krisna tersenyum pahit. “Karena zaman berubah, Mas. Dulu kalau orang nyangkul dianggap pejuang. Sekarang, yang dianggap sukses itu yang bisa beli tanah pakai aplikasi.”

“Lagian sekarang,” sela Gatotkaca, “petani malah dianggap gagal update. Lha wong yang lulus kuliah pertanian aja ogah turun ke sawah. Semua pengin jadi analis food security, tapi kalau suruh nanem singkong, langsung nyari WiFi.”

Penulis tertawa miris. “Kayaknya ngebuka Wanamarta zaman sekarang butuh lebih dari sekadar cangkul, ya.”

“Betul,” jawab Krisna. “Zaman sekarang, hutan bisa dibuka oleh orang yang bahkan belum pernah lihat hutan. Cuma modal peta, drone, dan niat buat bikin kota modern atau glamping resort.”

Mobil melaju pelan, melewati hamparan lahan kosong dengan plang besar bertuliskan “Segera Dibangun: Agropolitan City of Future”. Tapi tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya alang-alang dan jejak ekskavator yang mandek.

“Dulu, Amarta dibangun dari kerja dan keringat. Sekarang, cukup PowerPoint dan tender. Semua seolah modern, padahal nilai-nilai dasarnya hilang—gotong royong, keberlanjutan, hubungan manusia dengan tanah,” Krisna berkata pelan, hampir seperti doa.

“Mas Penulis,” kata Krisna, kini menatap lurus ke depan. “Kalau kamu mau menulis tentang Wanamarta dan Amarta, tulislah bukan hanya kisah para Pandawa, tapi juga kisah para petani yang tak tercatat. Mereka yang tiap hari membuka ‘hutan’ dalam hidupnya, hutan kemiskinan, hutan kebijakan ngawur, hutan pendidikan yang tak berpihak.”

“Dan jangan lupa,” tambah Gatotkaca sambil nyengir, “kasih bumbu drama dikit. Biar orang baca nggak ngantuk.”

Penulis tertawa. “Siap, Gatot. Tapi jangan salahkan saya kalau nanti tulisan ini jadi kontroversial.”

Krisna tersenyum tipis. “Tulisan yang tidak mengguncang, tidak akan menggerakkan.”

Di kejauhan, matahari mulai turun perlahan. Cahaya keemasan menyinari jalan yang kami tempuh. Bukan hanya jalan ke Kepanjen, tapi jalan kembali ke akar: pada alam, pada tanah, dan pada nalar sehat tentang apa itu membangun dan apa itu benar-benar tumbuh.

Di luar, lanskap mulai berubah. Hutan-hutan berganti sawah. Lahan-lahan yang tadinya kosong, kini ramai. Tapi tak ada iklan properti. Tak ada villa estetik. Hanya suara burung, gemericik irigasi, dan anak-anak kecil berlarian dengan kaki belepotan lumpur.

“Selamat datang di Amarta,” ujar Krisna.

“Ini… beneran dibangun sama Pandawa?”

“Ya. Tapi bukan mereka saja. Rakyatlah yang membangun. Pandawa cuma memulai,” jawab Krisna. “Mas Penulis…tuliskan yang tak terlihat, menyuarakan mereka yang hidupnya dianggap terlalu remeh untuk masuk headline.”

Penulis terdiam. Di dashboard, waktu menunjukkan pukul yang sama seperti saat mereka berangkat. Tapi di dalam hati, seperti sudah menempuh berabad-abad perjalanan.

Gatotkaca menyenggol pundak penulis dari belakang. “Eh, jangan baper. Belum selesai ini ceritanya. Masih banyak soal raja-raja palsu, pahlawan-pahlawan karbitan, dan sistem yang lebih horor dari hantu hutan.”

Penulis tertawa. “Oke. Gas. Kita mulai dari mana?”

Krisna tersenyum. “Mulailah dari tanah. Karena dari situlah segalanya tumbuh.”

Penulis melirik kaca spion. Bayangan hutan Wanamarta semakin jauh. Tapi kelembutan desahnya masih terasa.

Cerita selanjutnya: Gatotkaca, dari Kawah Candradimuka ke Kampus Berdampak

(Sibu Bayan)



No comments:

Post a Comment