Karna, Dendam yang Dipupuk di Ladang Ibu

 Dongeng SiBu Bayan (#023)

(Adipati Karna)

Peristiwa di lahan Mega Food Estate Hastina masih menyisakan luka yang tak bisa diobati bahkan oleh pupuk subsidi sekalipun. Abimanyu, ksatria muda jebolan Sekolah Tinggi Irigasi dan Cinta, memilih istirahat sejenak. Konon katanya, dia sempat mengundurkan diri dari Kahyangan sementara waktu, konon katanya karena “burnout” akibat kebijakan pangan yang berubah tiap musim tanam.

Di sisi lain, Raja Duryudana mengalami krisis eksistensial. Hatinya porak-poranda seperti gudang logistik pangan pasca audit. Program swasembada pangannya yang digadang-gadang sejak debat calon raja kini berantakan gara-gara satu nama: Arjuna, lelaki licin berambut klimis, anak Betara Indra dan Ibu Kunti. Arjuna telah merebut segalanya, ladang cinta dan ladang padi sekaligus. (Baca: Cinta Terlarang Arjuna & Banowati, Skandal di Mega Food Estate)

Lebih menyakitkan lagi, bukan Arjuna yang datang menyerang. Tapi Banowati, istri sah Duryudana, yang tiba-tiba viral karena video mesranya dengan si pemanah itu tersebar lewat akun @BanowatiDaily. Begitupun dengan anaknya, Lesmana yang setengah ksatria.

Duryudana tetap lelaki normal. Meski di Mahabharata ia dicitrakan sebagai epicentrum kejahatan dan diktator manipulatif, ia tetap punya perasaan. Dendam? Sudah pasti. Sakit hati? Lebih perih dari disubsidi separuh tapi tetap rugi. Maka, setelah tiga hari tiga malam mengurung diri di kamar berlapis marmer dan spanduk “Menuju Hastina Mandiri Pangan 2030”, ia mengirim telegram rahasia ke tiga tokoh penting. Patih Sengkuni (ahli strategi & lulusan kursus singkat Deep State), Pandita Durna (guru spiritual sekaligus konsultan survei elektabilitas) dan Dursasana (kepala bidang keamanan, lingkungan, dan pengamanan atau Kapolhas).

Rapat digelar di ruang bawah tanah Istana Hastina, lengkap dengan kopi robusta lokal dan cemilan non-organik dari hasil barter proyek lumbung. Di sana, teori-teori konspirasi dipetakan: mulai dari sabotase data panen, penyusupan dewa-dewa oposisi, hingga kemungkinan bahwa Arjuna disponsori oleh Korporasi Bawang Tunggal Internasional.

Dursasana yang sejak kecil mengidap ADHD (Ambisius Dalam Hal Dendam) langsung menyela, “Sudah, kita habisi saja si Arjuna itu! Kita jebak dia pakai Banowati sebagai umpan. Satu jebakan, dua hasil, skandal dan kudeta!”

Sengkuni mengangkat alisnya yang sudah dilatih ikut lomba ekspresi licik tingkat nasional.

“Oh tidak, ananda. Kita harus cerdas. Ibarat makan bubur ayam panas: jangan dari tengah, nanti lidah melepuh. Dari pinggir dulu, seret pelan-pelan.”
Kunti tak menjawab. Matanya berkaca-kaca, bukan karena debu, tapi karena sejarah yang kini menggigit balik.

Pandita Durna yang sejak tadi sibuk menghitung angka keberuntungan Arjuna tiba-tiba bersuara. “Menghabisi Arjuna bukan perkara mudah. Di belakangnya masih ada Werkudara dan Puntadewa, dua influencer moral Pandawa. Tapi… ada satu ksatria yang bisa menandingi dia.”

“Tapi aku tak suka dia,” gumamnya sambil menyeduh teh tanpa gula.

Sengkuni menyambar, “Karna! Dia jawabannya. Ksatria terbuang. Saudara seibu yang dikutuk sejarah. Sakit hati harus dibalas dengan sakit hati. Pengkhianatan harus dibalas pengkhianatan. Dan untuk lebih dramatis… fokuskan pada jantung Pandawa: Ibu Kunti. Sang ibu bangsa, sang simbol kasih sayang, sang kesayangan para dewa.”

Senyum licik merekah di wajah mereka. Dunia pertanian dan politik Hastina akan segera berubah. Bukan karena hasil panen, tapi karena cinta, dendam, dan strategi pangan berbasis drama dinasti politik.

*****

Namanya Karna, dikenal warga sebagai anak kusir tapi darahnya aristokrat, berkulit sawo mentah dengan tatapan tajam seperti harga gabah di musim panen: tidak stabil tapi penuh harapan. Ia lahir bukan dari rahim sembarangan, tapi dari Kunti, ibu Pandawa, mantan duta pertanian organik yang sempat viral karena kampanye “Panen adalah Perkara Cinta”.

Karna lahir di luar nikah, hasil eksperimen spiritual Kunti dengan mantra Trial Version yang ia ucapkan saat masih magang di Kahyangan. Mantra itu seharusnya hanya mengundang "semangat agraria", tapi malah mendatangkan Betara Surya, dewa matahari dan patron petani penggarap. Dalam sekejap, cinta satu malam berbuah satu bayi yang langsung dilengkapi armor dan anting, semacam bonus pre-order dari langit.

Takut skandal, Kunti membungkus bayi itu dengan kain bekas panen dan meletakkannya di sungai. Ia berharap bayi itu tumbuh bahagia sebagai rakyat biasa, karena, katanya, menjadi rakyat biasa itu suci. Meski kenyataannya, menjadi rakyat biasa artinya dapat pupuk subsidi hanya lewat mimpi.

Bayi itu ditemukan oleh sepasang suami istri miskin: Adiratha dan Radha, tukang kusir kereta dinas yang kerap ngetem di depan kantor Gubernuran Hastina. Mereka menyambut Karna dengan cinta penuh, tapi tidak bisa membelikan susu formula, hanya bubur beras sisa upacara. Karna tumbuh dalam aroma peluh dan ban kuda aus, tapi sejak kecil ia punya mimpi besar, menjadi ksatria dan punya sawah sendiri.

Sayangnya, dunia tak suka petani bermimpi.

Setiap kali Karna mendaftar ke sekolah bela diri elite (Akademi Hastina 1), ia ditolak karena tidak punya Kartu Keluarga ningrat. Ia sempat viral di media sosial karena pidatonya di depan gerbang akademi, “Saya memang anak kusir, tapi saya juga anak matahari! Kalau tidak bisa jadi raja, setidaknya izinkan saya jadi ketua kelompok tani!” Pidatonya disensor!

Ia lalu pergi ke tempat yang lebih gelap, Akademi Bela Diri Milik Pribadi Pandita Durna, kamp pelatihan semi-legal yang menerima siapa saja, asal bayar dan tidak banyak tanya. Di sana, Karna belajar memanah sambil cuci piring. Ia tidak hanya jago senjata, tapi juga paham lahan tidur, pajak pertanian, dan skema kredit macet.

Namun, di balik itu semua, Karna menyimpan luka, rasa haus akan pengakuan. Di setiap panen ia berdoa, agar suatu hari bisa membajak ladang dengan nama sendiri, bukan atas nama raja, dewa, atau lembaga keuangan.

Dan doanya kini terjawab. Duryudana dan Sengkuni melihat peluang besar.

“Mulai hari ini, Karna adalah Adipati Awang-Awang (Awangga). Aku angkat dia jadi ksatria utama Hastina!”

Tepuk tangan menggema. Karna menang. Tapi juga terjebak. Karena sejak hari itu, ia tak lagi bisa menyuarakan kebenaran ia sudah jadi bagian dari kekuasaan. Duryudana dan Sengkuni menang.

*****

Di Istana Pandawa, langit mendung sejak pagi. Bukan karena hujan, tapi karena algoritma media sosial terus menampilkan berita Karna, sang ksatria baru idola rakyat. Foto Karna menanam padi sambil tersenyum, karikatur Karna versus Arjuna dengan tajuk "Duel Anak Kunti Berebut Lahan Warisan", bahkan video Karna membacakan puisi tentang tanah dan ibu semua viral, semua menghantam jantung seorang ibu tua: Kunti.

Kunti duduk di teras belakang, memandangi tanaman toga yang layu karena tak disiram. Ia memeluk kain tua, bekas selimut bayi Karna, yang diam-diam ia simpan di peti, bersama surat-surat cinta yang tak pernah ia kirim. Suara hatinya bergema pelan:

“Anakku, kamu bukan hanya luka. Kamu adalah luka yang dipelintir jadi senjata propaganda.”

Di hadapannya, Nakula dan Sadewa sedang menyapu halaman, mengenakan baju magang bertuliskan “Pandawa Go Green, Go Organic”. Sejak gagal mengusulkan reformasi irigasi di parlemen Hastina, mereka kini fokus pada edukasi tani lewat TikTok.

Puntodewo, si sulung, terlihat murung. Ia baru saja menerima notifikasi bahwa sertifikat tanah rakyat di Amarta dibatalkan oleh kebijakan revisi batas kawasan hutan. Ia menggigit bibir sambil memelototi dokumen digital bertuliskan:

"Konversi lahan demi ketahanan pangan berbasis investasi transnasional — disahkan oleh Dewan Hastina Raya."

Ia menoleh ke ibunya. “Ibu… kenapa dulu Karna dibuang?”

Werkudoro, si paling vokal, baru pulang dari rapat petani yang dibubarkan aparat. Tangannya masih bau bensin dari traktor sitaan. “Sudahlah, kita lawan saja Karna! Mau dia itu saudara atau bukan, dia sudah jadi alat Duryudana! Semua sawah kita dia jadikan konten!”

Arjuna diam. Wajahnya suram seperti harga panen di bawah HPP. Dalam hati, ia tahu, Karna adalah dirinya dalam versi lain, versi yang dibuang dan diperalat. Tapi di mata publik, Arjuna kini tak lebih dari influencer jadul yang kalah saing. Sponsor-nya mulai pindah ke Karna. Bahkan bow-nya disita karena dianggap “senjata kuno tak ramah lingkungan.”

“Jangan buru-buru membenci Karna,” gumam Arjuna. “Dosa kita padanya lebih tua dari semua skandal yang viral itu.”

Kunti akhirnya berbicara. Suaranya pelan, tapi mengguncang,

“Karna itu anakku. Kakakmu. Saudara seibu yang hidup sebagai musuh karena ibunya terlalu takut pada aib.”

Semua terdiam. Bagong, yang entah dari mana tiba-tiba muncul sambil membawa nasi bungkus dan mikrofon, nyeletuk:

“Lha ini kalau dijadiin sinetron judulnya pasti ‘Ibuku Ibu Musuhku’, rating-nya naik terus tiap musim tanam.”

Kunti hanya tersenyum pahit. Bagong salah satu rakyat yang tak sekolah tinggi tapi selalu tahu arah luka.

Ia menoleh ke anak-anak Pandawa.

“Kita bukan keluarga suci. Kita hanya keluarga yang dipaksa terlihat sempurna. Dan itu lebih menyakitkan daripada tidak punya lahan.”

Yudistira menunduk. Bima mendengus. Arjuna menatap langit. Nakula dan Sadewa sibuk mem-videokan momen ini untuk konten edukatif.

Saat ini, tuntas sudah sakit hati Duryudana. Jantung Pandawa kini luka, sulit disembuhkan dan terus menggerogoti, mungkin satu-satunya jalan diamputasi. Nanti…saat Bharatayudha, diganti dengan luka baru.

Hastina kini tenang. Program pangan jalan terus. Karna bikin puisi, Arjuna jadi meme, Kunti menanam diam. Dan rakyat? masih terus bertani. Tanpa subsidi yang pasti, tanpa cuaca yang bersahabat, dan tanpa tahu besok siapa lagi yang akan dikorbankan demi ketahanan yang katanya nasional.

(Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya: Sembodro, Kesetiaan pada Ladang Tebu dan Arjuna



No comments:

Post a Comment