Food Estate Hastina Menolak Kresna dan Rakyat

Dongeng Sibu Bayan #030

(Di ceritakan oleh Togog, mantan content creator Istana Hastina dengan ide dari sahabat penulis dan petani, Mas Nanta)

(Duryudana dan Kresna)

Setelah kejadian Pandawa Dadu yang viral itu, Amarta kacau balau. Negeri yang dulunya penuh prestasi, dari sawah subur sampai konten panen beras di TikTok, mendadak sepi, seperti akun medsos abis diblacklist. Gosipnya, Pandawa cerai-berai, mirip boyband bubar kontrak. Puntodewo katanya kabur ke gunung, Bima mencari air suci, Arjuna? Nggak jelas, terakhir kelihatan endorse pestisida di reels. Nakula dan Sadewa juga entah kemana. (baca: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62)

Para dewa di Kahyangan juga panik. Batara Guru yang dulu yakin banget skenario bakal sukses besar, sekarang cuma bisa ndelosor sambil ngopi, nyalahin skrip. “Salahnya Puntodewo ini lho, disuruh akal sehat malah milih harga diri,” gumamnya.

Kresna? Dewa satu itu sekarang pengangguran. Versi Togog sih, dia udah apply ke banyak tempat dan buka jasa konsultan spiritual untuk proyek-proyek yang katanya “berbasis ketahanan.” Terakhir, dia nekat daftar ke Hastina. “Kalau aku bisa bikin Amarta maju, masa Hastina nggak bisa? Tinggal upgrade dikit, seperti update software,” kata Kresna dengan pede.

Beberapa hari kemudian, setelah antre bareng pedagang pupuk oplosan dan distributor drone semprot otomatis, akhirnya Kresna dipanggil ke ruang rapat utama yang full AC dan dipenuhi LCD presentasi strategi ketahanan pangan.

Duryodana menyilakan duduk. Di sekelilingnya, sudah siap para pengambil kebijakan: Pandito Durna sibuk buka data satelit, Sengkuni siap live-tweet dengan caption: #MenujuPanenAbadi, Bisma yang sudah setengah ngantuk, jenderal cadangan dan konsultan media dari lembaga swadaya investor.

Kresna tak datang sendiri. Ia membawa Semar, profesor tak bergelar dari Kampus Karangdempel, perguruan tinggi rakyat yang tidak masuk ranking internasional tapi masuk ke hati para petani. Ia dikenal sebagai akademisi yang menolak semua proyek riset berjudul “optimalisasi potensi lahan” kalau tidak ada rakyat di dalamnya. Di ruang seminar, ia lebih suka duduk di belakang, mencatat diam-diam sambil nyruput kopi jagung. Di kelas, ia selalu membuka kuliah dengan pertanyaan, “Sudah nyiram tanamanmu pagi ini?”

Di belakang mereka berdiri para Punokawan: Gareng si teknisi saluran air sawah Karangdempel; Petruk, spesialis demo plot lokal non-anggaran; dan Bagong, alumnus gagal panen IP 200 yang sekarang buka pelatihan bertani tanpa pupuk subsidi.

Kresna berdiri, membuka map yang bukan PowerPoint tapi kitab lontar berisi kalender tanam, peta irigasi rakyat, dan coretan hasil rembug dusun. Ia berkata:

“Saya menawarkan dua hal untuk rencana food estate Hastina

Pertama, pendekatan rakyat, bottom-up, bersama para petani dan kiai tanah yang tiap pagi membaca arah angin, bukan hasil survei.
Kedua, Tentara Dwarawati—Tentaraku. Mereka adalah Tentara tempur, lulusan barak dan medan perang, terlatih buka lahan dalam kondisi ekstrem. Mereka biasa operasi militer, tapi bisa juga disuruh tanam padi dan palawija, asal komandonya waras. Tapi ingat, mereka itu tenaga. Tanpa arah, bisa jadi gundala.”

Semar menimpali dengan suara berat tapi ngademi, “Kalau tanah ini ibu, maka jangan dipaksa operasi sesar. Dengarkan dulu detak nadi airnya. Jangan asal tanam demi IP 300, tapi lupa musim dan sabda angin.”

Petruk angkat tangan, “Kami tahu cara ngebedain lahan ngambek sama lahan minta pupuk. Nggak perlu sensor drone, cukup Gareng berdiri di pojokan dan lihat arah alang-alang.”

Bagong nyelutuk sambil makan tahu isi, “Kalau nyari panen cepat buat laporan kementerian, silakan. Tapi kalo nyari restu leluhur tanah, ya pelan-pelan. Tanah bukan excel sheet, Mas Duryud.”

Kresna menutup presentasinya dengan kalimat:

“Kami bisa bantu proyek food estate, tapi bukan sebagai penonton. Biarkan rakyat ikut menulis skenario. Jangan jadikan mereka hanya figuran di demo plot yang sudah disusun dari ibu kota.”

Duryudana berdiri, sambil menggeser pointer presentasi, “Terima kasih, Kresna. Tapi kami sudah memutuskan. Kami akan ambil Tentara Dwarawati saja. Pompa? Sudah dibeli. Traktor? Sudah tender. Yang kami butuh, kecepatan dan laporan mingguan.”

Sengkuni menyambar sambil ngunyah keripik, “Bottom-up terlalu banyak diskusi. Ini sudah masuk triwulan ketiga, Bro. Kita butuh top-down action, komando langsung. Satu kata, tanam. Selesai. Langsung posting sebelum petang.”

“Terima kasih atas masukan idealisnya, tapi kami sudah punya rencana matang. Tentara Dwarawati akan dikerahkan—sebanyak dua batalyon tempur zeni dan 6.000 tamtama aktif”, lanjut Sengkuni.

“Selain itu, Hastina juga tengah merekrut 25 ribu tamtama baru. Judulnya, tentara jadi petani. Cita-citanya, Hastina jadi lumbung pangan global. Strateginya, tanam seragam, panen cepat, laporan masuk sebelum rapat kabinet.”

Pandito Durna buka folder, kemudian berkata, “Tentara Zeni sudah standby. Batalyon Tamtama Tempur juga sudah dikontrak jadi Tenaga Tanam Terlatih. Target tanam 5.000 hektar. Masa tanam dipercepat. Kalau perlu, satu minggu tiga panen. Kita sebut aja... IP 300 Jilid Dewa.”

Semar menghela napas. Petruk memutar mata. Gareng diam-diam mencatat koordinat mata air terakhir. Petruk membisikkan sesuatu ke telinga Gareng. Bagong berdiri dan berteriak, “Kalau tanam padi bisa pakai tentara, besok-besok bikin juga: Tentara elit panen semangka!”

Kresna hanya menatap layar yang menampilkan rencana pembukaan lahan skala besar di brang Wetan (Timur). Di situ tertulis:

Zona Proyek Hastina Raya – Food Estate Tahap 1, Target Panen: Agustus, Tayang: Juli.

Ia tahu, ini bukan ladang. Ini sudah panggung. “Kalau begitu,” kata Kresna pelan, “tanamlah. Tapi jangan salahkan tanah kalau nanti yang tumbuh bukan padi, tapi perlawanan.”

-0-

Rapat sudah bubar. Kresna dan rombongan turun dari istana, melewati taman imitasi yang katanya dirancang berdasarkan “prinsip harmoni” tapi tanamannya plastik semua.

Mereka berhenti sejenak di sebuah warung pinggir jalan, tempat para staf kecil dan sopir proyek biasa ngopi diam-diam sambil nyinyir dalam diam.

Bagong langsung pesan kopi item dan minta gorengan empat macam. “Lho, kita habis ikut rapat nasional, tapi perut kita tetap rakyat lokal,” katanya sambil nyeruput keras, seperti menantang seluruh kementerian.

Petruk duduk sambil membuka catatan, “Tentara tempur tanam padi. IP 300. Rencana 25 ribu tamtama bertani. Astaga, kita ini masih hidup di dunia nyata apa lagi syuting film parodi?”

Gareng geleng-geleng kepala, “Aku nggak habis pikir. Mereka mikir tanah itu kayak medan perang. Padahal tanah itu kayak kekasih. Kalau kamu paksain terus, dia ngambek, terus mandul.”

Semar duduk tenang. Ia tidak makan, tidak minum. Tapi dari matanya terlihat ia sedang berpikir dalam: antara marah, sedih, dan pasrah pada kelakuan elite zaman sekarang. “Mereka sudah lupa cara menanam,” katanya lirih. “Mereka pikir bertani itu soal alat, padahal itu soal hati. Mereka pikir panen itu angka, padahal panen itu syukur.”

Kresna menimpali, suara pelan tapi mantap, “Mereka memilih Tentaraku, tapi menolak aku. Seperti memilih keris tapi menolak tuahnya. Seperti memilih seragam tapi menolak isi kepala di baliknya.”

Gareng menyelipkan selembar daun ke saku Semar.

“Isinya catatan mata air terakhir di Timur. Siapa tahu nanti mereka butuh. Tapi kayaknya enggak akan dibaca…”

-0-

Beberapa minggu setelah rapat di Istana Hastina, berita mulai ramai di siaran wayang digital:

“Tentara Dwarawati Diterjunkan ke Timur, Siap Wujudkan Food Estate Hastina!”

Bersama berita itu, datanglah mereka: rombongan truk militer, drone pemantau, dan seragam loreng yang lebih banyak dari batang pohon yang masih berdiri.

Tentara Dwarawati, dulunya Tentara elit perang yang pernah membebaskan kota dari penjajah TikTok, kini diubah jadi “Batalyon Tanam Cepat”. Mereka bawa traktor berat, pompa besar, dan semangat komando dari pusat:

“Tanam apapun. Panen sebelum akhir kuartal. Dokumentasikan semuanya!”

Komandan Zeni Tanam berdiri di atas batu sambil teriak ke pengeras suara, “Ingat, ini operasi pertanian. Bukan bertani! Target 3.000 hektare dalam dua minggu. Kalau gagal... evaluasi!”

Di balik keramaian itu, rakyat lokal hanya menonton. Mereka bukan tidak mau membantu, tapi dari awal mereka tidak diajak bicara. Beberapa tokoh lokal ditanya, tapi hanya sebagai “pengisi daftar hadir sosialisasi.” Air mata mereka tidak masuk laporan.

Hutan mulai dibuka, tapi tanahnya keras seperti menolak. Sungai dialihkan, tapi airnya meruak balik, menggenangi area demo plot. Bibit ditanam, tapi tak tumbuh. Konon katanya karena salah varietas. Tapi rakyat tahu: tanahnya belum direstui.

Salah satu tamtama, lulusan pelatihan tanam kilat selama dua minggu di barak selatan, bergumam ke rekannya:

“Bro, tanahnya beda ya. Di sini kayak... diam tapi galak. Kita tanam pagi, sore udah layu.”

Drone pemantau mengirim foto. Dari atas terlihat bagus: petak-petak rapi, seperti kotak di kuesioner. Tapi dari bawah? Lumpur, air yang tak surut, dan benih yang membusuk.

Tentara mulai panik. Komandan minta tambahan pupuk. Dikirim. Tapi tetap saja gagal.
Pompa dinyalakan siang-malam. Sungai jadi surut, ikan-ikan naik ke darat, protes.
Tanah retak. Udara panas. Tak ada burung. Daun-daun jatuh bahkan sebelum musim gugur.

Dalam logistik, tercatat sebagai “anomali proyek.” Dalam tradisi lokal, ini disebut, “Tanah sedang menolak.”

-0-

Di ibukota, Hastina menggelar konferensi pers dadakan. Lokasinya di lobi kementerian, backdrop-nya gambar sawah yang sebenarnya hasil editan, padinya terlalu hijau, awannya terlalu simetris.

Sengkuni tampil sebagai juru bicara utama. Ia berdiri di podium, penuh percaya diri, pakai batik food estate motif loreng.

“Pertama-tama, kami ingin sampaikan bahwa program ketahanan pangan di zona timur berjalan dengan baik. Meski ada tantangan kecil di lapangan seperti…eehh…kelembaban, angin lokal, dan sedikit kegaduhan vegetatif, secara umum progress tetap on track.”

Wartawan bertanya, “Jadi panennya gimana, Pak?”

Sengkuni tersenyum, “Kami menyebutnya panen strategis jangka menengah. Artinya, hasilnya belum terlihat sekarang, tapi sangat potensial di masa depan, sepanjang cuaca, modal, dan mood tanah mendukung.”

Duryudana ikut bicara, sambil menunjukkan grafik, “Lihat ini, grafik kepuasan lahan. Lahan A menunjukkan tren netral. Lahan B menunjukkan niat untuk tumbuh. Lahan C sudah mulai menunjukkan respon spiritual.”

Seorang wartawan menyela, “Tapi benihnya mati, Pak.”

“Itu bagian dari uji ketahanan. Benih yang kuat pasti tumbuh. Yang mati? Ya... proses seleksi alam. Kami menyebutnya: Natural Filtering Berbasis Ketahanan Nasional.

Wartawan lain tanya, “Bagaimana dengan keterlibatan masyarakat lokal?”

Sengkuni menjawab cepat, “Sudah kami libatkan secara simbolik. Nama-nama tokoh lokal kami masukkan ke daftar partisipan di halaman 47 laporan. Bahkan ada satu tokoh lokal yang kami beri kaus bertuliskan 'Petani Hastina Bangkit'.”

Konferensi ditutup dengan yel-yel:

“Tani kuat, negeri kuat!”
“Tentara tanam, padi tumbuh!”
“Gagal bukan soal hasil, tapi soal narasi!”

Sementara itu, di tanah... angin bertiup pelan. Lumpur mulai tenang. Dan dari celah antara dua batu yang tak tergusur buldoser, tumbuh sehelai daun kecil. Daun itu tak dilabeli, tak masuk laporan, tak difoto, tapi ia tumbuh.

Di dekatnya, Bagong mencatat sesuatu di buku lapuknya.

“Kalau kalian terus maksa panen dari angka, jangan heran kalau nanti yang tumbuh cuma utang dan luka.”

Gareng menambahkan, “Atau tumbuh cerita. Dan cerita... bisa lebih liar dari jagung.”

(Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya: Bambang Irawan, Footnote Jurnal Scopus Prof. Arjuna



No comments:

Post a Comment