Dongeng Sibu Bayan (#020)
Sampailah penulis
di Kepanjen. Di dunia realitas, perjalanan dari Kondang Merak ke Kepanjen hanya
sekitar 2 jam. Namun perjalanan ini melintasi dunia pewayangan: dari Kondang
Merak yang jadi Wanamarta, hingga kisah Antareja di Sengguruh. Kepanjen saat
ini adalah kota kecil yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Malang,
berjarak sekitar 18 km dari kota Malang di sebelah Utara. Konon, Kepanjen
dulunya tempat pendidikan para ksatria sejak era Mataram Kuno. Meski saat ini
menjadi pusat pemerintahan kabupaten, namun keberadaan kota kecil ini
tersamarkan oleh gemerlap kota Malang.
Setelah berpisah dengan Gatotkaca dan Kresna, penulis melanjutkan perjalanan memasuki kota Kepanjen dari selatan, mata langsung tertarik pada saluran irigasi yang dikenal dengan nama “Molek”. Airnya masih mengalir lancar, menyusuri jejak lumbung-lumbung padi dari Kepanjen ke Kromengan, terus ke Sumberpucung. Di tengah bayang-bayang kejayaan pertanian masa lalu itu, penulis kembali bertemu sosok yang sudah beberapa kali muncul di episode-episode sebelumnya, Bagong. Kali ini dia lagi ribut bukan main, dengan dua orang yang dulu penulis temui waktu masih muda di Wanamarta. Sekarang mereka sudah dewasa, Nakula dan Sadewa, kembar cerdas ahli pertanian dan irigasi, tapi hari itu tampangnya lebih mirip pegawai proyek.
“Mas Penulis…….ini
ada dua orang kebangetan sekali! Katanya panen raya, stok beras melimpah,
lumbung penuh sampai tumpah-tumpah kayak sinetron Lebaran. Tapi kok harga beras
tetap naik?! Ini logika dunia mana?”
Penulis menoleh.
Nakula tampak rapi, mengenakan rompi penyuluh pertanian. Sadewa di sebelahnya
dengan laptop menyala, tabel-tabel warna-warni menari-nari di layar.
“Mas Bagong,” kata
Sadewa kalem, “berdasarkan data dari Badan Statistik Kahyangan (BSK), kita
mengalami surplus 2,8 juta ton beras. Artinya cukup, aman, terkendali.”
“Terkendali
matamu!” seru Bagong. “Harga di pasar malah naik terus. Nenek-nenek di warung
sebelah nangis waktu tahu harga beras kayak harga cicilan motor.”
Nakula buru-buru
membuka dokumen. “Kami hanya mengikuti perintah Batara Guru. Semua data valid,
ada QR Code dan cap jempol Kahyangan.”
“Lho... yang tanam
siapa? Yang metik siapa? Yang dihitung siapa? Yang makan siapa? Masak data
panen lebih dipercaya dari petani yang ngeluh tiap hari!”, Bagong masih nyolot.
Saat itulah, awan
menggulung di langit Kepanjen. Petir menyambar tipis-tipis, seperti efek suara
sinetron pukul tujuh malam. Dari balik mega, turunlah Batara Narada. Jubahnya
mengkilap. Tangannya membawa gulungan naskah bertuliskan:
“Surat Edaran
Narada No. 62/BERAS/RIIL tentang Penyesuaian Narasi Ketahanan Pangan.”
“Salam
transformasi pangan!” serunya gagah. “Kami telah menetapkan bahwa beras kita
melimpah. Kalau harga naik, itu berarti efek psikologis masyarakat. Bukan
karena pasokan.”
Bagong langsung
muntab.
“Psikologismu itu!
Wong emak-emak tiap pagi antre di warung minta jatah beras subsidi. Ini bukan
efek psikologis, ini efek lapar!”
Narada tetap
tenang, membentangkan grafik dari gulungannya. Tampak garis biru menanjak
tajam, diberi keterangan: “kepercayaan masyarakat”. Garis merah, harga
pasar, juga menanjak. Tapi yang paling aneh: garis hijau, panen petani bulan
satu sampai bulan ketujuh yang naik, padahal sekarang masih bulan tiga.
“Lho, ini gimana?
Panen saja belum, kok datanya surplus?” tanya Bagong masih sewot.
“Kami memakai
metode estimasi harapan.” jawab Sadewa. “Bukan hasil nyata, tapi potensi. Kayak
cita-cita. Jadi meskipun belum panen, kita percaya akan panen besar. Positif
thinking.”
Bagong mendecak. “Berarti
ini bukan negara agraris. Ini negara afirmatif!”
Narada tersenyum
sambil mengusap jenggot digitalnya. “Semua demi narasi optimis. Kalau rakyat
panik, nanti rating kahyangan turun. Ingat, realita bisa dibelokkan asal
datanya padat dan warnanya cerah.”
Tiba-tiba terdengar
suara gerobak. Seorang petani tua lewat, membawa karung berisi gabah setengah
kering. Ia berhenti sebentar, memandang rombongan tokoh wayang dan bertanya
polos:
“Maaf, ini
kumpulan pemain drama atau petugas survey?”
Tak ada yang
menjawab. Petani itu tersenyum getir dan melanjutkan perjalanan.
Bagong menghela
napas.
“Nakula, Sadewa...
dulu kalian itu simbol petani cerdas. Yang bikin saluran irigasi dari hulu
sampai hilir. Sekarang kalian malah jadi anak magang proyek narasi.”
Nakula menunduk.
Sadewa menggulir layar spreadsheet-nya tanpa semangat.
“Lha, memang mau
bagaimana lagi? Kami ikut sistem.”
“Sistem mbahmu!”
maki Bagong. “Kalau sistem bikin petani tekor dan rakyat lapar, itu bukan
sistem. Itu jebakan!”
Penulis mencatat
semuanya. Ini bukan sekadar kisah panen atau harga beras. Ini kisah tentang
bagaimana logika dipelintir, data dijadikan mantra, dan rasa lapar
disembunyikan di balik presentasi.
Narada pamit
kembali ke Kahyangan. Tapi sebelum naik ke awan, ia berpesan:
“Ingat, kebenaran
bukan soal kenyataan. Tapi soal siapa yang pegang mikrofon.”
Bagong nyengir. “Mikrofonmu
tak celupin ke karung beras basi.”
Lalu semua diam.
Angin sore Kepanjen berhembus membawa bau padi yang belum dibayar. Dan air
irigasi Molek tetap mengalir. Langit mulai berwarna keemasan. Sebuah desir
angin membawa aroma lumpur dan padi. Bagong berhenti bersilat lidah. Penulis
terdiam. Bahkan spreadsheet Sadewa berhenti memuat. Ada yang datang.
Dari arah saluran
Molek, muncul sesosok perempuan dengan selendang berwarna tanah, rambutnya
dikepang seperti ilalang, dan kakinya telanjang menginjak rumput kering. Ia
berjalan pelan, membawa seikat padi yang tak lagi berisi.
Dewi Sri.
Bukan versi patung
di museum atau ilustrasi pada label pupuk subsidi. Ini Dewi Sri yang murung,
matanya tak menyala harapan tapi menyimpan letih ratusan musim tanam.
“Nakula...
Sadewa...” bisiknya.
Kedua saudara
kembar itu langsung berlutut, meletakkan laptop dan catatan anggaran.
“Kami cuma
mengikuti prosedur, Dewi.”
Dewi Sri tak
menjawab. Ia hanya meletakkan seikat padi itu ke tanah, lalu menatap langit.
Angin tiba-tiba terhenti. Bahkan molek pun seakan diam untuk mendengar.
“Kalian mencatat
angka,” katanya, pelan tapi menyayat. “Tapi lupa mencatat rasa.”
Ia memungut satu
butir gabah dari tanah.
“Ini, Sadewa. Ini
bukan komoditas. Ini air mata petani. Ini bukan surplus. Ini sisa. Sisa tenaga,
sisa harapan, setelah harga ditekan, setelah tanah dibeli developer, setelah
saluran irigasi kering karena proyek.”
Bagong berdiri di
sampingnya, mata berkaca-kaca.
“Aku dulu kira
kamu dewi. Tapi sekarang kamu seperti Ibu yang anaknya dibohongi terus oleh
presentasi.”
Dewi Sri tersenyum
miris. Ia menengok ke arah penulis.
“Tulis ini, Mas.
Tulis bahwa bukan beras yang kurang. Tapi kejujuran. Bukan panen yang gagal,
tapi empati yang hilang. Mereka membangun lumbung, tapi lupa siapa yang akan
mengisinya.”
Tiba-tiba dari
langit terdengar suara. Narada muncul lagi, agak tergesa.
“Maaf... ada rapat
koordinasi lintas dimensi. Kami perlu narasi baru tentang kedaulatan pangan.
Mungkin bisa pakai istilah: ‘Swasembada Lintasan Global’.”
Dewi Sri menoleh,
kali ini suaranya tajam.
“Kalau kalian
terus mengganti nama ladang jadi kawasan industri, mengganti padi jadi saham
pangan, maka jangan salahkan kalau panen berikutnya cuma menghasilkan
spreadsheet, bukan beras.”
Narada menunduk.
Laptop Sadewa mati total. Nakula membuka catatan irigasi tua yang pernah ia
pelajari dari resi di hutan. Bagong duduk di atas karung beras kosong,
memainkan sebatang batang jerami seperti suling.
Dewi Sri berjalan
pergi, satu jejak satu rumput tumbuh. Tapi padi tak bisa tumbuh di spreadsheet.
Ia butuh tanah. Ia butuh air. Ia butuh petani yang tak sekadar jadi angka dalam
laporan.
Malam jatuh di Kepanjen. Di kejauhan, lampu-lampu minimarket menyala lebih terang dari lumbung. Tapi irigasi tetap mengalir. Karena meski kertas bisa direvisi, air tidak. Ia tahu ke mana akar berasal. Spreadsheet bisa disunting. Tapi tanah yang hilang, tak bisa dicetak ulang. Tak ada tombol ‘undo’ bagi sawah yang jadi beton. Kalau para dewa sibuk menggubah narasi, biarlah rakyat menggali tanahnya sendiri, tanpa perlu restu langit.
(Sibu Bayan)
Cerita selanjutnya: Abimanyu Bukan Pemimpin Muda +62
No comments:
Post a Comment