Dadu Pangan, Werkudoro Muntab dan Petani Ter'Nerf'

(Diceritakan oleh Togog dan Bilung, berdasarkan kisah yang dituturkan kepada Penulis)
Dongeng Sibu Bayan (#029)

(Werkudoro, Togog dan Bilung)

Pagi itu, sebelum menuju Jember, penulis singgah sebentar di warung kopi dekat Jembatan Bondoyudo, Lumajang. Warung tua beratap seng, bau seduhan robusta, dan suara gemeretak truk pasir di kejauhan. Di sanalah aku bertemu dua sosok yang tampaknya bukan orang biasa, seorang tua bertubuh tambun, botak dan bermulut lebar, yang sibuk meniup kopi dan seorang lelaki kerempeng yang memakai jaket bertuliskan "Tim Kreatif Pangan Berkelanjutan". Mereka memperkenalkan diri sebagai Togog dan Bilung.

"Kami baru saja diusir dari Gedung Lumbung," kata Togog sambil menatap kosong ke arah aliran sungai. "Duryudana bilang kami tidak netral. Padahal yang kami lakukan cuma siaran langsung dari sisi petani."

"Kami bukan provokator, Mas," tambah Bilung. "Cuma kebetulan tahu cara pakai aplikasi editing data."

Mereka menawarkanku cerita, bukan sekadar kelakar dua tokoh Punokawan, tapi kesaksian dari pinggiran rapat dan luar layar proyektor. Dari sudut pandang Togog dan Bilung, inilah kisah Pandawa Dadu versi rakyat biasa, bagaimana ladang diubah jadi layar data, dan petani dijadikan latar panggung kekuasaan. (baca juga: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62)

Aku Togog, mantan penasihat raja, kini tukang bikin kopi di Istana Hastina Cabang +62. Yang nyuruh aku kerja sini ya… siapa lagi, kalau bukan nasib. Bersama anakku Bilung, kami ditugaskan sebagai tim dokumentasi rapat nasional: "Syukuran Surplus Beras Abadi" yang dibungkus dalam permainan dadu. Tugas mulia. Asal jangan tanya, siapa yang makan berasnya.

Aku Bilung, pakai ID Card palsu bertuliskan "Divisi Sensor Data". Tugasku ringan: ngedit angka jadi lebih hijau dan panjang. Kadang kalau ketahuan nipu data, tinggal bilang: "Sengkuni yang nyuruh, Mas!" Dia itu mentor sekaligus influencer internal, punya template narasi krisis yang bisa disesuaikan buat semua jenis bencana: gagal panen, banjir, bahkan demo petani. Kami biasa bilang, petani sekarang sudah di-'nerf', kayak karakter dalam gim yang sengaja dilemahkan supaya nggak ngalahin sistem. Mereka dibuat tampak bodoh, tak mampu bersaing, dan akhirnya dianggap perlu 'pendampingan digital'. Asal katanya 'narasi strategis', pasti lolos. Kalau data panen turun, tinggal dibalik. Kayak kaos oblong. Yang penting grafik naik, apalagi kalau raja lagi ulang tahun. Kadang, kalau grafik buntu, kita tinggal tambahkan kata "strategis" dan "berkelanjutan". Selesai.

Pagi itu, Gedung Lumbung Abadi dipenuhi para tokoh penting kerajaan. Suasana seperti pameran kekuasaan yang dibungkus jargon pangan. Di barisan depan, Duryudana—kini menjabat sebagai CEO Kurawa Agro Holding—duduk dengan jas linen dan sepatu impornya. Ia tampak sibuk mengunyah kata 'efisiensi' dan 'transformasi digital' seperti benih yang bisa tumbuh sendiri tanpa tanah. Di sampingnya, Dursasana mencatat slogan-slogan bombastis seperti "Stok Aman, Krisis Cuma Persepsi!", sambil membentak petugas katering yang telat menyajikan kopi saring. Sengkuni, kepala divisi komunikasi, mondar-mandir di pojok ruangan, sibuk menelepon wartawan: "Nanti kalau ada apa-apa, jangan pakai judul provokatif ya. Tulis saja: 'Petani Butuh Pendampingan Digital'."

Di tengah panggung, Puntadewa berdiri penuh wibawa, siap memaparkan keberhasilan program-program strategis dan berkelanjutan. Nakula dan Sadewa—saudara kembar yang kini menjadi konsultan pertanian lintas kerajaan—sibuk berdiskusi sambil membolak-balik slide tentang AI dan drone untuk sawah. Di sudut belakang, Resi Durna menatap tablet menyala terang, memoles grafik agar tetap bersahabat dengan sponsor. Tak jauh dari situ, Resi Bisma, sang tetua penuh wibawa, duduk tegak dalam balutan jas putih. Diamnya bukan tanpa makna, melainkan bentuk netralitas yang terlalu sering menjadi topeng ketidakberpihakan. Dan di deretan depan, Drupadi duduk anggun dengan busana dari serat etanol dan mahkota sertifikat tanah—senyumnya dilematis di tengah gempuran proyek dan propaganda yang mengatasnamakan keberlanjutan.

Puntodewo berdiri. Jubahnya berkibar, suara lantang:

"Saudara-saudara, kita patut bersyukur. Dalam setahun ini, kita surplus beras sebesar 25 juta ton! Bahkan rakyat tidak perlu makan, cukup kenyang oleh data!"

Ruang rapat riuh. Tepuk tangan. Slideshow berganti: peta food estate, panen raya virtual, foto selfie pejabat panen jagung pakai drone. Ada juga video petani tersenyum saat pupuk subsidi hilang: diedit pakai AI. Musik latarnya ganti-ganti, dari gamelan digital sampai remix mars pertanian.

"Pak, ini data dari mana ya? Lha kemarin aku ke lumbung di kampung, isinya cuma tikus diskusi," bisik Bilung.

"Ssst... itu kunjungan lapangan hanya buat kamera. Petani disuruh pulang dulu. Nanti disyuting ulang pakai aktor," jawabku.

Tiba-tiba, pintu belakang gedung dibuka. Werkudoro masuk. Bajunya penuh lumpur, sandal jepit sebelah putus, matanya menyala kayak obor dinas pertanian. Tanpa permisi, ia jalan ke tengah ruangan, mendekati panggung. Di tangannya ada dadu, besar, hitam, penuh lumpur sawah.

"Kakang Puntodewo," kata Werkudoro dengan suara berat, "berapa kali kau akan berjudi dengan nasib kami, petani? Berapa kali Drupadi kau serahkan atas nama proyek?"

Seluruh ruangan hening. Bahkan AC berhenti berdengung.

Resi Durna berdiri, memegang tablet, lalu bicara dengan nada setengah seminar, setengah ceramah: "Werkudoro, emosimu sah. Tapi kebijakan berbasis data tidak bisa dikalahkan oleh amarah lapangan. Tanpa validasi, perjuanganmu hanya opini."

Namun Werkudoro hanya menatap Durna, lalu menyentuh tanah yang masih menempel di bajunya. "Data kalian bersih karena tangan kami kotor."

Sementara itu, Resi Bisma yang sejak awal hanya diam, kini menunduk. Ia tidak berkata sepatah pun. Tapi tubuh tuanya gemetar. Ia tahu, kebenaran ada di depan matanya. Namun, sekali lagi, ia memilih untuk diam. Diam yang panjang. Diam yang membiarkan segalanya terjadi.

Kami menyaksikan bukan hanya kemarahan, tapi luka. Werkudoro, benteng petani terakhir, berdiri di tengah para dewa data dan investor.

"Kau bilang panen surplus," lanjutnya. "Tapi kemarin ladang kami banjir limbah. Pupuk langka. Gabah kami dihargai lebih rendah dari nasi kotak rapat ini!"

Ia melempar dadu ke layar proyektor. Grafik produksi pecah. Layar hitam. Di luar gedung, seekor burung hantu terbang rendah—entah kebetulan atau pertanda.

Duryudana berdiri terburu-buru, wajahnya merah padam. "Ini sabotase! Keamanan, usir dia!" serunya, tetapi tak seorang pun bergerak.

Sengkuni melangkah ke depan, wajah liciknya tetap tersenyum. "Tenang... tenang... Saudara-saudara. Werkudoro hanya sedang mengalami krisis persepsi. Mari kita kembali pada narasi besar kita, ketahanan pangan berkelanjutan! Jangan biarkan satu suara berlumpur mengacaukan presentasi yang telah dikurasi."

"Pak, kita nyiarin live ya? TikTok rame banget ini, Pak. Hashtag #WerkudoroNgamuk trending, Pak," kata Bilung.

"Teruskan, Lung. Kalau pemerintah gak bisa makan kejujuran, biar rakyat yang kunyah kebenaran," perintah Togog pada Bilung

-0-

Setelah layar pecah, suasana rapat menjadi limbung. Para pejabat mulai saling lirik, pencitraan retak, dan Wi-Fi mulai lemot. Bahkan sinyal dari satelit panen buatan Kurawa terputus, katanya karena hujan moral dari rakyat.

Puntodewo, yang tadinya berdiri tegap, kini mulai gemetar. Kakinya menginjak naskah MoU setebal katalog promo e-commerce. Ia tergelincir dan jatuh, bukan karena licin, tapi karena keraguan yang disapu lumpur kebenaran.

"Aku hanya menjalankan prosedur… Semua keputusan telah melalui kajian teknis dan riset pasar…" katanya. Suaranya tak lagi lantang, seperti baterai presentasi yang hampir habis.

"Kau sudah pertaruhkan segalanya, Kakang… Tapi bukan untuk rakyat. Kau bertaruh demi proyek. Dan hari ini, rakyat membatalkan taruhan itu," jawab Werkudoro. Di tangannya, ia menggenggam segenggam tanah dari ladangnya.

"Pak, lihat tuh layar! Warga dari seluruh kerajaan mulai datang! Mereka bawa cangkul, bibit lokal, dan nasi bungkus!" seru Bilung.

"Rakyat datang bukan buat demo, Lung. Mereka datang buat panen... panen akal sehat," ujar Togog.

Kerumunan petani, nelayan, ibu-ibu rumah tangga, dan anak-anak muda muncul di depan Gedung Lumbung Abadi. Tapi mereka bukan disambut, melainkan diawasi. Mobil aparat berjajar di pinggir jalan. Drone berputar di atas kepala mereka, mencatat wajah, bukan suara. Beberapa spanduk dicopot. Plakat-plakat yang mereka bawa, yang bertuliskan "Data Tidak Bisa Dimasak" atau "Kami Lapar, Bukan Buta Statistik", diringkus petugas keamanan atas nama ketertiban. Tulisan "Drupadi Bukan Food Estate" direkam, tapi tidak pernah sampai ke siaran berita malam. Dan plakat viral hari itu: "Werkudoro for Menteri Pangan!", berubah jadi meme yang ditertawakan di grup internal kementerian. Sebuah teriakan putus asa yang tidak pernah sampai ke meja sidang.

Puntadewa, kini terduduk, membuka naskah MoU-nya, menemukan halaman yang kosong. Di situ hanya tertulis satu kalimat:

"Lumbung tanpa petani hanyalah gudang kosong yang menunggu dijarah kekuasaan."

Ia menatap Drupadi. Ia menatap Werkudoro. Dan untuk pertama kalinya, ia menunduk bukan karena khusyuk, tapi karena malu. (baca juga: Memoar Penyesalan Puntodewo, Jalan Tol Menuju Karma)

Kami menyaksikan hari ketika suara petani nyaring di tengah data yang dibungkam, ketika lumpur sawah lebih jujur dari tabel-tabel yang dirias, ketika satu lontaran kebenaran bisa membuat proyektor padam dan naskah MoU terasa hampa. Tapi itu tidak mengubah hasil akhir, tuntutan petani tetap diabaikan. Yang berubah hanyalah narasi, bukan nasib.

Werkudoro tidak jadi pemimpin. Ia tidak naik jabatan. Ia kembali ke ladang, bukan sebagai simbol harapan, tapi sebagai sosok yang dikeluarkan dari sistem yang tak bisa ia tundukkan. Ia memilih pulang dengan kepala tegak, bukan karena dihormati, tetapi karena tak ingin namanya ikut tercetak di laporan manipulatif yang menyebut kemiskinan sebagai peluang investasi. Ia tak diundang dalam evaluasi, tak disebut dalam notulen. Dan meski suaranya sempat mengguncang ruangan, akhirnya tak satu pun kebijakan berubah: petani tetap kalah, tanah tetap dicaplok, dan dadu terus bergulir di tangan yang sama.

Werkudoro tidak jadi pemimpin. Ia tidak naik jabatan. Ia kembali ke ladang. Tapi kali ini, bukan karena menang, melainkan karena tidak diberi tempat di panggung kekuasaan. Ia memilih pulang dengan kepala tegak, bukan karena dihormati, tetapi karena menolak ikut berjudi atas nama rakyat. Dan meski suaranya bergema, hasilnya tetap tak berubah: petani kalah, tanah terpinggirkan, dan dadu terus bergulir di tangan yang sama.

"Pak, akun kita diblok. Tapi videonya udah menyebar ke mana-mana," ujar Bilung.

"Tak apa, Lung. Data bisa disensor. Tapi rasa lapar... tak bisa dibohongi selamanya,"ujar Togog.

Di hari permainana dadu itu, setelah layar padam dan tepuk tangan mereda, yang tersisa hanyalah tanah dan luka. Aksi Werkudoro tak diabadikan dalam pidato, dan namanya dihapus dari notulen. Ia kembali ke ladang, bukan sebagai simbol, tapi sebagai bukti bahwa tak semua orang bisa dibeli data atau disuap jabatan. Ia tak menang, tapi juga tak ikut main. Sementara itu, sistem tetap berdiri, dadu tetap dilempar, dan statistik terus dibacakan di atas meja makan yang tak pernah mengenal lapar. Petani tetap kalah, tapi mereka juga tetap menanam. Dan mungkin, di luar ruang konferensi, di bawah matahari yang tak bisa disensor, kebenaran sedang tumbuh pelan-pelan, seperti benih yang tak tercatat, tapi tak bisa dihentikan.

(Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya: Food Estate Hastina Menolak Kresna dan Rakyat



No comments:

Post a Comment