Dongeng Sibu Bayan (#024)
Penulis memutuskan
untuk meninggalkan kota Kepanjen, setelah Abimanyu membatalkan pergi ke
Kahyangan. Ia tampak kecewa, setelah dipermalukan oleh perselingkuhan bapaknya
sendiri, Arjuna dengan Banowati. Namun kekecewaan paling menyakitkan adalah pat‑gulipat
urusan pangan rakyat: dari data surplus palsu sampai harga gula yang lebih
manis dari janji kampanye. (baca:
Penulis berpamitan dengan Abimanyu di jembatan Kali Brantas, Desa Kedung Pedaringan, batas antara Kepanjen dan Gondanglegi, antara brang kulon dan brang wetan, antara nasi rawon dan es tebu. Dari tanaman padi ke tanaman tebu, dari sawah ke manis-manisan yang bisa bikin diabetes dan hutang luar negeri.
Abimanyu tahu
bahwa penulis akan melewati Desa Clumprit, Pagelaran. Ia menitipkan sasmita
dan uang buat ibunya, Sembodro, yang katanya kini tinggal bareng menantunya,
Dewi Uttari, putri Prabu Matsyapati, raja Kerajaan Wirata. Mereka tinggal
bersama menunggu harga gula naik, atau setidaknya, menunggu giliran dibohongi
distributor.
Sepanjang perjalanan dari Gondanglegi ke Clumprit, penulis menyaksikan saksi bisu kejayaan tebu di wilayah ini. Tergambar jelas era Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada masa kolonial, saat Gubernur Jenderal Van den Bosch tahun 1830-an, mewajibkan petani harus menanam tebu di lahannya dan menyerahkan hasilnya ke pemerintah kolonial dengan harga murah.
Mencari rumah
Sembodro tidak sulit. Tinggal tanya warga: “Mana rumah ibu aktivis tani yang
kulitnya sawo matang, anaknya gugur di Baratayuda, dan menantunya mirip artis
FTV?” Semua pasti menunjuk rumah panggung di tepi sawah. Di teras sudah ada dua
kursi rotan, teko teh, dan kucing dengan ekspresi penuh inflasi.
Sembodro menyambut
ramah. “Oh, kamu utusan Abimanyu? Masuklah, Nak. Tapi jangan injak bibit tebu,
itu hasil musyawarah malam Jumat Kliwon.”
Uttari muncul
sambil bawa teh. Cantik, anggun, dan tampak sudah lelah melihat angka rendemen.
"Ini teh pakai gula batu dari panenan kami. Masih manis, walau
kadang-kadang pahitnya kayak berita ekonomi."
Kami baru mau
menyeruput, ketika….
"PRIIITT!!
Hoi! Masih minum teh tanpa ajak-ajak?" Bagong, entah dari mana, menuruni
pohon mangga dengan sandal jepit sebelah.
Bagong duduk tanpa
permisi. “Aku ini auditor independen kadar manis—sekaligus penegak satir
ketatanegaraan.”
Sembodro terkekeh.
“Kamu belum ganti baju dari jaman revolusi industri, Gong.”
"Belum, Bu.
Soalnya sejarah belum selesai. Tebu pun belum selesai diperbudak!"
Bagong melongok
keluar, matanya menyipit melihat arah barat. “Ayo jalan-jalan sebentar. Aku
pengen liat bekas rel lori itu, tempat biasa tebu dibawa ke pabrik. Katanya
masih ada sisa sejarah di sana.”
Kami mengangguk
dan mengikuti langkah Bagong. Saat berjalan, penulis tak henti-hentinya mencuri
pandang ke arah Uttari. Betapa tidak, ia anggun, matanya jernih seperti embun
di ujung daun tebu, senyumnya pelan seperti janji reformasi agraria yang tak
kunjung lunas. Sayangnya, ia sudah menjadi istri Abimanyu.
Kami berjalan ke
bekas rel lori. Karatan, penuh rumput liar dan kenangan pahit petani. Sembodro
berujar, “Dulu, gula kita diekspor sampai ke Belanda. Sekarang, data ekspor
kita manis. Tapi di warung, harganya kayak digigit nyamuk elit, menyakitkan,
tak terlihat.”
Setelah itu, tiba-tiba
saja Bagong menendang batu dan kemudian mendongak ke langit seperti menatap
presentasi Canva di angkasa. “Dan jangan lupakan permainan impor gula!”
katanya lantang. “Impor itu seperti mantan yang datang bawa senyum tapi
nyusahin. Katanya buat stabilisasi, tapi yang stabil cuma rekening pejabat.”
Uttari ikut
menimpali, “Pabrik kita jalan, tapi tebunya dari luar. Petani lokal disuruh
sabar. Katanya bagian dari rantai pasok global. Padahal yang terikat cuma leher
kami.”
Bagong mengangguk
sok bijak. “Teori Ekonomi Absurdisme: makin banyak tebu, makin banyak gula, tapi
makin sedikit yang bisa beli. Karena gulanya datang dari kapal, bukan dari
kebun.”"
Sembodro
mengangguk. “Dan jangan lupa, yang impor itu bukan cuma gula, tapi juga akal
sehat. Ada mafia yang lebih licin dari cairan tetes, mengatur kuota, atur
tender, bahkan atur harga lewat bisik-bisik dan grup WhatsApp elite.”
Uttari menambahkan,
“Kartel gula itu seperti siluman, tak terlihat tapi bisa membuat petani panik,
pedagang bingung, dan rakyat diem-diem nambah utang. Setiap panen kami nunggu
truk. Kadang datang, kadang enggak. Tebu kami dipakai main catur pejabat. Yang
kalah selalu petani.”
Sembodro membuka
amplop dari Abimanyu. Di dalamnya cuma satu gelang dari serat tebu. "Waktu
kecil, Abimanyu bikin ini. Dia bilang, 'Bu, tebu itu seperti kita. Kalau
diperas, baru kelihatan manisnya.' Tapi sekarang, rasanya kayak diperas dan
dibuang ampasnya."
Bagong nyengir.
“Gula kita bukan sekadar komoditas, Bu. Dia sudah jadi filsafat. Negara ini
minum manis dari rakyat, lalu buang ampasnya ke petani.”
Kami baru saja
hendak kembali ke rumah ketika langit mendadak berkedip, bukan karena cuaca,
tapi karena ada yang turun dari awan seperti sinyal buruk di tengah diskusi
serius.
Betara Narada,
lengkap dengan jubah cahaya dan sandal emas, mendarat tepat di tengah jalan
lori. “Maaf mengganggu sore kalian. Aku utusan dari Kahyangan. Dikirim untuk
memantau ketimpangan kadar manis dan kegetiran sosial.”
Bagong langsung
memberi hormat sambil membungkuk seperti mau pura-pura tobat. “Wah, Gusti
Narada, sudah lama tak main ke sini. Apa kabar Dewan Kahyangan?”
Penulis membatin,
ini bisa-bisanya, dimana ada Bagong, kok Batara Narada ikutan nongol
Narada mendesah.
“Kacau. Para dewa sedang bingung, data di bumi manis, tapi laporan dari rakyat
pahit. Makanya, aku ditugaskan turun. Katanya, mungkin saja rasanya salah di
lidah atau salah di neraca.”
Sembodro
menyuguhkan tumbler yang berisi teh. “Silakan, Gusti. Ini teh rakyat.
Tidak manis, tapi jujur.”
Narada menyesap
perlahan, mengangguk. “Ya, ini baru jujur. Di Kahyangan, semua terasa manis
karena disaring birokrasi tiga lapis.”
Bagong mencatat
cepat. “Tambah satu Nar, jika Kahyangan ikut mengimpor kebijakan, pastikan
tidak kedaluwarsa!”
Kacau nih Bagong…beraninya
manggil ‘Nar’, batin penulis
Narada tertawa.
“Kalian ini memang lebih lucu dari Paruman Dewa di Kahyangan. Tapi aku serius.
Negeri ini perlu bukan cuma audit gula, tapi juga audit logika.” (ctt: paruman=musyawarah)
Setelah pernyataan
itu, Narada kembali menghilang dalam kepulan asap seperti potongan dongeng yang
belum selesai. Selalu begitu, Kahyangan yang tidak pernah tuntas.
Kami kembali ke
rumah. Matahari mulai miring, aroma tetes tebu dari pabrik PG Krebet menyeruak
seperti kenangan mantan. Bagong menunjuk cerobong. "Dulu cerobong itu
lambang produksi. Sekarang lambang pelupa: lupa hutang, lupa janji, lupa nasib
petani."
Sembodro tersenyum
miris. “Dulu cerobong itu berdiri gagah. Sekarang... ya masih gagah, cuma
isinya kebijakan setengah matang.”
Penulis mencatat
cepat: "Tebu adalah tanaman manis. Tapi ditanam di negeri absurd, ia bisa
berubah jadi lelucon beraroma kolonialisme."
Tiba-tiba Bagong
berdiri di atas meja, mengeluarkan gulungan kertas. "DENGARKAN! Aku
bacakan Undang-Undang Rasa! Pasal 1: Semua gula harus manis. Pasal 2: Jika
tidak manis, maka manisnya harus dijelaskan oleh Menteri. Pasal 3: Jika Menteri
tidak bisa menjelaskan, maka rakyat diminta bersabar."
Sembodro tertawa
sampai batuk. Uttari menepuk pundaknya. “Bagong ini memang cocok jadi menteri
sandiwara.”
"Ya,
sandiwara kita memang nyata," gumam penulis.
Matahari hendak tenggelam
di balik kebun tebu. Cerobong pabrik masih mengepulkan asap seperti sedang
mencoba mengecoh langit. Penulis bersiap pergi.
Sembodro masuk ke
dalam rumah sebentar, lalu kembali membawa sepotong gula merah yang dibungkus
daun pisang. "Buat bekal di jalan. Ini hasil panenan kami. Lebih manis
dari pidato tahunan."
Ia menatapnya sejenak, lalu berkata pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, “Gula itu seperti cinta. Kadang pahit, kadang manis. Tapi kalau sudah dicampur air kehidupan, ya harus tetap bisa ditelan.”
Ia terdiam
sebentar, lalu menambahkan, “Arjuna itu... bukan suami yang sempurna. Aku tahu
betul rasanya jadi bayang-bayang Banowati. Tapi aku tetap mencintainya. Bukan
karena dia pahlawan, tapi karena aku pernah memilihnya, di saat hidup kami
masih seperti ladang kosong yang butuh ditanami harapan.”
Ia mengelus gelang
dari serat tebu kiriman Abimanyu. “Aku pernah sakit hati. Tapi aku lebih takut
hatiku mengeras. Jadi ya sudah... aku pilih tetap manis, meski kadang jadi
ampas.”
Uttari menyelipkan
seikat bibit tebu ke dalam tas penulis. “Kalau kamu temukan tanah subur dan
hati jujur, tanamlah. Siapa tahu manisnya bisa tumbuh.”
Bagong tiba-tiba
muncul mengayuh sepeda ontel dari semak. "Hoi, Mas! Aku nemu peta
kebijakan pangan di tong sampah belakang pabrik. Mau ikut nyortir data?”
Aku tertawa.
"Kau ini selalu muncul tiba-tiba, Gong."
Bagong mengedip.
“Yaiyalah. Kalau aku munculnya terencana, nanti dikira lembaga negara."
Dan di negeri ini,
yang paling manis, selain janji, adalah tawa yang belum dilarang.
(Sibu Bayan)
Cerita selanjutnya: Antasena Berseru, Laut Tidak Butuh Pagar
No comments:
Post a Comment