Abimanyu Bukan Pemimpin Muda +62

 Dongeng Sibu Bayan (#021)

(Abimanyu)

Mengapa Kepanjen? Pertanyaan ini masih terngiang-terngiang sejak keluar dari dunia pewayangan Wanamarta atau di dunia realitas adalah Kondang Merak. Alih-alih terus menyusuri jalus Selatan, penulis diminta Kyai Semar untuk menuju Kepanjen dulu, diantar Krisna dan Gatotkaca. Apakah pertemuan dengan Nakula, Sadewa, Betara Narada, Dewi Sri dan Bagong adalah jawabannya? (baca: Nakula dan Sadewa, Ahli Pertanian Magangdi Proyek Narasi)

Setelah kepergian para ksatria dan dewa kahyangan, penulis dengan ditemani Bagong menuju bengkel mobil untuk memeriksa kendaraan penulis setelah menempuh perjalanan jauh semenjak dari Bogor hingga Kepanjen. Di bengkel ini ada beberapa anak muda yang sibuk bekerja. Rupanya Bagong sangat mengenal bengkel mobil ini, “Apa kabar…Den Abi…, makin ramai saja bengkelnya. Bagaimana pesanan drone penyemprot sawah…?”, kata Bagong dengan lantang. Penulis merasa kikuk dan dalam hati bertanya, "Ini bengkel mobil atau…..?"

“Sudah selesai lik Bagong..”, jawab sosok muda yang dipanggil sebagai Abi. Terlihat jelas, kalau anak muda ini pemimpin di bengkel ini. “Mas Penulis…kenalkan ini Den Abimanyu, putra Arjuna”, ujar Bagong sambil terkekeh. Penulis membatin, “wah…mungkin ini jawaban pertanyaan tadi, mengapa Kepanjen?, kota kecil ini dulu dikenal sebagai tempat pendidikan para panji atau ksatria.

“Ya, inilah Den Abi,” ulang Bagong, masih terkekeh. “Dulu lahir di hutan pengasingan, sekarang malah jadi tukang bongkar-mbangun mesin. Ironi dunia, tho?”

Abimanyu, di bengkel dipanggil Den Abi, menyodorkan tangan berminyak gemuk. “Maaf, Mas Penulis, tangan saya bau solar. Tapi setidaknya baunya nyata, beda sama janji kampanye,” candanya. Tawa para montir meledak, terdengar seperti obeng jatuh serempak.

Bagong langsung duduk di atas ban truk bekas, seolah panggung monolog pribadinya.

“Kau tahu nggak, Mas Penulis,” katanya sambil menyalakan rokok linting, “waktu Den Abi masih orok, ia sudah nyulik rahasia perang dari obrolan bapaknya. Sayang, sinyal dalam rahim jelek, yang ke‑download cuma cara masuk labirin cakrabyuha, cara keluar buffering selawase!”

Abimanyu tertawa. “Makanya sekarang saya bikin drone sawah, biar generasi petani nggak terjebak labirin tikus harga pupuk.”

Bagong menyeringai sambil mencoretkan nama-nama yang tak asing, pemimpin-pemimpin muda +62, di samping nama Abimanyu, dihubungkan dengan tanda tanya besar.
“Yang satu lahir di hutan pengasingan, yang satu di ruang AC beraroma popok steril dan influencer digital.”

Penulis baru sadar kap mobil sendiri sudah terbuka. Seorang montir remaja memeriksa radiator—di punggung kausnya tertulis “GARASI CAKRABYUHA SERVICE”. Nama yang terlalu dramatis untuk bengkel terpencil, pikir Penulis, tapi begitulah Kepanjen: kota kecil yang gemar bercanda dengan legenda.

Bagong mulai berkisah, suara seraknya mendadak khidmat,

“Pandawa lagi bokek, diusir ke hutan Kamyaka. Jadi Den Abi lahir numpang di gubuk, bukan di kamar VIP. Kalau sekarang anak pejabat lahir ditembak lampu sorot IG Live, Den Abi lahir ditembak nyamuk malaria.”

“Guru pertamanya, Krisna, raja paling lihai marketing politik. Bayi Abimanyu digendong keliling istana Dwaraka sambil dengerin kuliah Public Relations 101: cara janji tanpa sumpah, cara senyum tanpa nurani.”

“Begawan Wiyasa ngajari yoga, tapi matrasnya daun jati. Jadi fleksibel,jiwa agile, istilah startup. Cuma ya itu: strateginya incomplete download.”

Bagong mendadak berdiri dan menggambar silsilah di dinding bengkel dengan spidol bekas. Garis‑garis kerabat muncul seperti skema rangkaian listrik yang korsleting.

“Nih tak terangke, Penulis! Silsilah keluarga Den Abi itu kayak folder warisan Windows 98—buka satu, muncul lima lagi,” kata Bagong sambil menggambar lingkaran-lingkaran seperti roda.

“Bapaknya, Arjuna, Playboy sak jagad, seneng ganti kostum dan ganti istri. Tapi ya pahlawan sejati. Kalau sedang perang, satu panahnya bisa ngelamar tiga bidadari.”

“Ibunya, Sembodro, Adik Kresna, gadis bangsawan Dwaraka. Waktu Arjuna nyulik dia, itu bukan cuma asmara, tapi juga akuisisi politik. Cinta sekaligus merger.”

“Paman-pamannya, Kresna, Dewa, raja, konsultan strategi, dan bisa jadi tim sukses segala zaman dan Baladewa, kakaknya Kresna, keras kepala dan otot semua. Kakeknya, Pandudewanata, mantan raja yang anak-anaknya pada kena karma silih waris tahta”

“Kakek buyutnya? Wah itu sudah masuk zaman purba, turunan dari barisan dewa-dewa. Intinya, Den Abi ini cicit ideologi Mahabharata, bukan cuma anak Arjuna.”

Bagong mundur dua langkah, menatap gambarnya, lalu nyeletuk:

“Kalau silsilah ini di QR code, pasti hape-mu panas. Berat, Mas! Den Abi itu anak tunggal dari bapak luar biasa, cucu dari tahta patah-patah, dan keponakan dari tokoh segala zaman. Gimana nggak pusing? Lha wong kebesaran nama keluarga bisa bikin orang lupa belajar keluar dari labirin.”

Bagong menutup dongeng silsilah Abimanyu dengan batuk keras, asap rokoknya menari di udara seperti teaser sinetron.

Abimanyu menimpali, “Makanya aku pilih hidup di Kepanjen. Kalau di istana, namaku jadi beban. Di bengkel, namaku bisa jadi servis garansi.”

Bagong menatap lagi gambar silsilah yang baru ia buat di dinding bengkel. Lingkaran-lingkaran nama keluarga Abimanyu itu saling bersambung seperti rangkaian kabel colokan multi-ujung.

“Nah, itu baru silsilah sejati, Mas Penulis. Bukan cuma turunan genetik, tapi silsilah penderitaan dan pengorbanan. Lha sekarang?”

Abimanyu cuma geleng-geleng sambil menyeka keringat. “Lik Bagong, kamu ini bener-bener ndak takut disomasi? Itu nanti dikira kurang ajar.”

“Lah, justru itu, Den,” jawab Bagong sambil terkekeh. “Kalau yang disindir diam saja, berarti sindiran itu tepat sasaran. Kalau marah, berarti jiwanya belum tahan oli satire.”

Penulis tak bisa menahan tawa.

Bagong pun lanjut, seperti sedang menyusun tesis politik absurd,

“Abimanyu itu jadi ksatria karena takdir sejarah, bukan endorsan keluarga. Waktu masih dalam rahim ibunya, dia udah denger strategi perang. Kalau pemimpin-pemimpin muda +62 ? Belum lulus ospek politik, udah dideklarasikan jadi penerus tahta Megatronik Demokrasi.”

Bagong menunjuk silsilah lagi, Abimanyu, Lahir di pengasingan → Dididik Kresna → Terjun ke cakrabyuha → Gugur karena sistem penuh jebakan dan labirin. Pemimpin-pemimpin muda +62, lahir di istana pemilu → Disponsori algoritma MK → Terjun ke pilpres → Menang karena sistem penuh shortcut.

Abimanyu mencoba melerai. “Lik, semua orang punya jalannya sendiri…”

Bagong mengangguk, serius sesaat.

“Ya, Den. Tapi jalan yang terlalu licin kadang bikin lupa cara berjalan. Dan kalau jalan dibuat khusus untuk satu orang, itu bukan demokrasi, itu treadmill dinasti.”

Abimanyu menepuk kap mobil Penulis, menambahkan ceritanya sendiri:

“Jujur saja, Mas Penulis dan Lik Bagong. Sejak kecil aku tahu, labirin itu bukan cuma di medan perang, tapi di kantor‑kantor ber-AC. Makanya aku pindah ke Kepanjen. Di sini, kalau mesin macet, penyebabnya jelas, radiator bocor, bukan pasal konstitusi disunat tengah malam.”

Matanya menatap rangka drone di meja kerja: kipas karbon, tangki semprot 10 liter, sensor GPS bekas ponsel rusak.

“Petani butuh teknologi, bukan retorika. Drone ini bisa menutup lahan satu hektare 15 menit, lebih cepat ketimbang thread X bermenit‑menit soal makan siang gratis.”

Penulis tergelitik, bertanya, “Jadi, Den Abi tak tertarik masuk politik seperti… katakanlah seperti pemimpin-pemimpin muda negeri +62?”

Abimanyu menyeringai. “Masuk, sih, mau saja. Tapi kusaring dulu, ini undangan kemudi atau cuma kursi penumpang? Dengar-dengar, di Kahyangan ada formasi baru, Cakrabyuha MK, syarat usia dibengkokkan layaknya leher bebek, biar mobil dinasti bisa belok mulus.”

Bagong menimpali, “Bedanya jelas, Mas Penulis. Pemimpin-pemimpin muda +62 itu masuk labirin naik escalator VIP, ada sensor karpet merah, pintu keluar dijagain ajudan. Abimanyu? Dulu terjun bebas pakai mental, pintu keluar digembok bareng kunci inggris!”

Suasana bengkel meledak lagi, kali ini oleh ketukan palu dan tawa para montir yang merasa obrolan itu bukan sekadar dongeng.

Tiba‑tiba, sepucuk amplop emas diantar kurir berhelm wayang, menyalip lalu menaruhnya di meja oli. Bagong mengerling: Logo Mawar bersayap wifi, khas Partai Solider Kahyangan.

Abimanyu membuka perlahan. Isinya hanya kalimat singkat:

“Kami butuh wajah segar dan narasi hijau. Datanglah, bergabunglah, jadilah simbol. Teknis kami yang urus.” TTD: Tim Kreatif Strategi

Abimanyu terkesiap. “Simbol, ya? Mereka mau aku seperti stiker fuel additive, ditempel biar mesin tua kelihatan bertenaga.”

Bagong mendecak. “Hati‑hati, Den. Simbol gampang dicetak, tapi kalau macet, yang disalahkan kertasnya.”

Sore menjelang malam, Penulis diajak menonton uji terbang drone di pematang. Baling‑baling berdesing, menebar kabut pupuk organik yang harum. Bulan samar mulai mengintip di atas Gunung Kawi. Kepanjen sunyi, hanya suara kodok yang mulai terdengar.

Di sinar lampu LED drone, Abimanyu berujar lirih.

“Kalau akhirnya aku harus masuk istana kahyangan, aku mau bawa ini, knowledge petani. Kalau tidak boleh, lebih baik aku tinggal di sini. Mati satu Abimanyu sudah cukup, jangan dua kali.”

Bagong menyalakan rokok lain, menatap langit, lalu menoleh ke Penulis:

“Catat, Mas. Kalau drone ini suatu hari menyemprot air mata, itu berarti labirin menang lagi. Tugas kita, jaga jalur keluar. Lagian, kupikir Kepanjen dipilih Kyai Semar bukan kebetulan, di sinilah dulu para panji ditempa; mungkin sekarang giliran kita menempanya kembali.”

Lampu drone padam perlahan, meninggalkan titik lampu merah berkelip. Hening

“Mas Penulis…” suara Abimanyu memecah keheningan, “…besok aku harus ke Kahyangan, memenuhi undangan Partai Solider Kahyangan. Tapi sebelum berangkat, kita ke pasar dulu beli onderdil kebenaran. Katanya, di kahyangan, suku cadang integritas sudah langkah.”

“Aku pernah masuk labirin, Mas. Dulu. Dan tak ada pintu keluar. Tapi sekarang aku belajar: kalau pintu tak ada, kita buat jendela sendiri. Atau, minimal, kita terbang di atasnya.”

Bagong nyeletuk, “Makanya Den Abi bikin drone, bukan dinasti.”

Kepanjen mulai temaram. Tapi pembicaraan ini seperti membuka satu lorong keluar dari labirin bernama sejarah, yang selalu ingin berulang, tapi lupa bahwa rakyat punya ingatan.

 (Sibu Bayan)

Cerita selanjutnya: Cinta Terlarang Arjuna & Banowati, Skandal di Mega Food Estate

(catatan penulis: kisah ini akan bersambung tentang Abimanyu gugur dalam peristiwa labirin cakrabyuha pada perang Bratayudha) 



No comments:

Post a Comment