Dongeng Sibu Bayan (#021)
Mengapa Kepanjen? Pertanyaan
ini masih terngiang-terngiang sejak keluar dari dunia pewayangan Wanamarta atau
di dunia realitas adalah Kondang Merak. Alih-alih terus menyusuri jalus
Selatan, penulis diminta Kyai Semar untuk menuju Kepanjen dulu, diantar Krisna
dan Gatotkaca. Apakah pertemuan dengan Nakula, Sadewa, Betara Narada, Dewi Sri
dan Bagong adalah jawabannya? (baca: Nakula dan Sadewa, Ahli Pertanian Magangdi Proyek Narasi)
Setelah kepergian para ksatria dan dewa kahyangan, penulis dengan ditemani Bagong menuju bengkel mobil untuk memeriksa kendaraan penulis setelah menempuh perjalanan jauh semenjak dari Bogor hingga Kepanjen. Di bengkel ini ada beberapa anak muda yang sibuk bekerja. Rupanya Bagong sangat mengenal bengkel mobil ini, “Apa kabar…Den Abi…, makin ramai saja bengkelnya. Bagaimana pesanan drone penyemprot sawah…?”, kata Bagong dengan lantang. Penulis merasa kikuk dan dalam hati bertanya, "Ini bengkel mobil atau…..?"
“Sudah selesai lik
Bagong..”, jawab sosok muda yang dipanggil sebagai Abi. Terlihat jelas, kalau
anak muda ini pemimpin di bengkel ini. “Mas Penulis…kenalkan ini Den Abimanyu,
putra Arjuna”, ujar Bagong sambil terkekeh. Penulis membatin, “wah…mungkin ini
jawaban pertanyaan tadi, mengapa Kepanjen?, kota kecil ini dulu dikenal sebagai
tempat pendidikan para panji atau ksatria.
“Ya, inilah Den
Abi,” ulang Bagong, masih terkekeh. “Dulu lahir di hutan pengasingan, sekarang
malah jadi tukang bongkar-mbangun mesin. Ironi dunia, tho?”
Abimanyu, di
bengkel dipanggil Den Abi, menyodorkan tangan berminyak gemuk. “Maaf, Mas
Penulis, tangan saya bau solar. Tapi setidaknya baunya nyata, beda sama janji
kampanye,” candanya. Tawa para montir meledak, terdengar seperti obeng jatuh
serempak.
Bagong langsung
duduk di atas ban truk bekas, seolah panggung monolog pribadinya.
“Kau tahu nggak, Mas Penulis,” katanya sambil menyalakan rokok linting, “waktu Den Abi masih orok, ia sudah nyulik rahasia perang dari obrolan bapaknya. Sayang, sinyal dalam rahim jelek, yang ke‑download cuma cara masuk labirin cakrabyuha, cara keluar buffering selawase!”
Abimanyu tertawa. “Makanya sekarang saya bikin drone sawah, biar generasi petani nggak terjebak labirin tikus harga pupuk.”
Bagong menyeringai sambil mencoretkan nama-nama yang tak asing, pemimpin-pemimpin
muda +62, di samping nama Abimanyu, dihubungkan dengan tanda tanya besar.
“Yang satu lahir di hutan pengasingan, yang satu di ruang AC beraroma popok steril
dan influencer digital.”
Penulis baru sadar
kap mobil sendiri sudah terbuka. Seorang montir remaja memeriksa radiator—di
punggung kausnya tertulis “GARASI CAKRABYUHA SERVICE”. Nama yang terlalu
dramatis untuk bengkel terpencil, pikir Penulis, tapi begitulah Kepanjen: kota
kecil yang gemar bercanda dengan legenda.
Bagong mulai
berkisah, suara seraknya mendadak khidmat,
“Pandawa lagi
bokek, diusir ke hutan Kamyaka. Jadi Den Abi lahir numpang di gubuk, bukan di
kamar VIP. Kalau sekarang anak pejabat lahir ditembak lampu sorot IG
Live, Den Abi lahir ditembak nyamuk malaria.”
“Guru pertamanya,
Krisna, raja paling lihai marketing politik. Bayi Abimanyu digendong keliling
istana Dwaraka sambil dengerin kuliah Public Relations 101: cara janji
tanpa sumpah, cara senyum tanpa nurani.”
“Begawan Wiyasa
ngajari yoga, tapi matrasnya daun jati. Jadi fleksibel,jiwa agile,
istilah startup. Cuma ya itu: strateginya incomplete download.”
Bagong mendadak
berdiri dan menggambar silsilah di dinding bengkel dengan spidol bekas. Garis‑garis
kerabat muncul seperti skema rangkaian listrik yang korsleting.
“Nih tak terangke,
Penulis! Silsilah keluarga Den Abi itu kayak folder warisan Windows 98—buka
satu, muncul lima lagi,” kata Bagong sambil menggambar lingkaran-lingkaran
seperti roda.
“Bapaknya, Arjuna,
Playboy sak jagad, seneng ganti kostum dan ganti istri. Tapi ya pahlawan
sejati. Kalau sedang perang, satu panahnya bisa ngelamar tiga bidadari.”
“Ibunya, Sembodro,
Adik Kresna, gadis bangsawan Dwaraka. Waktu Arjuna nyulik dia, itu bukan cuma
asmara, tapi juga akuisisi politik. Cinta sekaligus merger.”
“Paman-pamannya, Kresna,
Dewa, raja, konsultan strategi, dan bisa jadi tim sukses segala zaman
dan Baladewa, kakaknya Kresna, keras kepala dan otot semua. Kakeknya, Pandudewanata,
mantan raja yang anak-anaknya pada kena karma silih waris tahta”
“Kakek buyutnya? Wah
itu sudah masuk zaman purba, turunan dari barisan dewa-dewa. Intinya, Den Abi
ini cicit ideologi Mahabharata, bukan cuma anak Arjuna.”
Bagong mundur dua
langkah, menatap gambarnya, lalu nyeletuk:
“Kalau silsilah
ini di QR code, pasti hape-mu panas. Berat, Mas! Den Abi itu anak
tunggal dari bapak luar biasa, cucu dari tahta patah-patah, dan keponakan dari
tokoh segala zaman. Gimana nggak pusing? Lha wong kebesaran nama keluarga bisa
bikin orang lupa belajar keluar dari labirin.”
Bagong menutup
dongeng silsilah Abimanyu dengan batuk keras, asap rokoknya menari di udara
seperti teaser sinetron.
Abimanyu menimpali,
“Makanya aku pilih hidup di Kepanjen. Kalau di istana, namaku jadi beban. Di
bengkel, namaku bisa jadi servis garansi.”
Bagong menatap lagi
gambar silsilah yang baru ia buat di dinding bengkel. Lingkaran-lingkaran nama
keluarga Abimanyu itu saling bersambung seperti rangkaian kabel colokan
multi-ujung.
“Nah, itu baru
silsilah sejati, Mas Penulis. Bukan cuma turunan genetik, tapi silsilah
penderitaan dan pengorbanan. Lha sekarang?”
Abimanyu cuma
geleng-geleng sambil menyeka keringat. “Lik Bagong, kamu ini bener-bener ndak
takut disomasi? Itu nanti dikira kurang ajar.”
“Lah, justru itu,
Den,” jawab Bagong sambil terkekeh. “Kalau yang disindir diam saja, berarti
sindiran itu tepat sasaran. Kalau marah, berarti jiwanya belum tahan oli
satire.”
Penulis tak bisa
menahan tawa.
Bagong pun lanjut,
seperti sedang menyusun tesis politik absurd,
“Abimanyu itu jadi
ksatria karena takdir sejarah, bukan endorsan keluarga. Waktu masih
dalam rahim ibunya, dia udah denger strategi perang. Kalau pemimpin-pemimpin
muda +62 ? Belum lulus ospek politik, udah dideklarasikan jadi penerus tahta
Megatronik Demokrasi.”
Bagong menunjuk
silsilah lagi, Abimanyu, Lahir di pengasingan → Dididik Kresna → Terjun ke
cakrabyuha → Gugur karena sistem penuh jebakan dan labirin. Pemimpin-pemimpin
muda +62, lahir di istana pemilu → Disponsori algoritma MK → Terjun ke pilpres
→ Menang karena sistem penuh shortcut.
Abimanyu mencoba
melerai. “Lik, semua orang punya jalannya sendiri…”
Bagong mengangguk,
serius sesaat.
“Ya, Den. Tapi
jalan yang terlalu licin kadang bikin lupa cara berjalan. Dan kalau jalan
dibuat khusus untuk satu orang, itu bukan demokrasi, itu treadmill
dinasti.”
Abimanyu menepuk
kap mobil Penulis, menambahkan ceritanya sendiri:
“Jujur saja, Mas
Penulis dan Lik Bagong. Sejak kecil aku tahu, labirin itu bukan cuma di medan
perang, tapi di kantor‑kantor ber-AC. Makanya aku pindah ke Kepanjen. Di sini,
kalau mesin macet, penyebabnya jelas, radiator bocor, bukan pasal konstitusi
disunat tengah malam.”
Matanya menatap
rangka drone di meja kerja: kipas karbon, tangki semprot 10 liter, sensor GPS
bekas ponsel rusak.
“Petani butuh
teknologi, bukan retorika. Drone ini bisa menutup lahan satu hektare 15
menit, lebih cepat ketimbang thread X bermenit‑menit soal makan siang
gratis.”
Penulis
tergelitik, bertanya, “Jadi, Den Abi tak tertarik masuk politik seperti…
katakanlah seperti pemimpin-pemimpin muda negeri +62?”
Abimanyu
menyeringai. “Masuk, sih, mau saja. Tapi kusaring dulu, ini undangan kemudi
atau cuma kursi penumpang? Dengar-dengar, di Kahyangan ada formasi baru, Cakrabyuha
MK, syarat usia dibengkokkan layaknya leher bebek, biar mobil dinasti bisa
belok mulus.”
Bagong menimpali, “Bedanya
jelas, Mas Penulis. Pemimpin-pemimpin muda +62 itu masuk labirin naik escalator
VIP, ada sensor karpet merah, pintu keluar dijagain ajudan. Abimanyu? Dulu
terjun bebas pakai mental, pintu keluar digembok bareng kunci inggris!”
Suasana bengkel
meledak lagi, kali ini oleh ketukan palu dan tawa para montir yang merasa obrolan
itu bukan sekadar dongeng.
Tiba‑tiba, sepucuk
amplop emas diantar kurir berhelm wayang, menyalip lalu menaruhnya di meja oli.
Bagong mengerling: Logo Mawar bersayap wifi, khas Partai Solider Kahyangan.
Abimanyu membuka
perlahan. Isinya hanya kalimat singkat:
“Kami butuh wajah
segar dan narasi hijau. Datanglah, bergabunglah, jadilah simbol. Teknis kami
yang urus.” TTD: Tim Kreatif Strategi
Abimanyu
terkesiap. “Simbol, ya? Mereka mau aku seperti stiker fuel additive, ditempel
biar mesin tua kelihatan bertenaga.”
Bagong mendecak.
“Hati‑hati, Den. Simbol gampang dicetak, tapi kalau macet, yang disalahkan
kertasnya.”
Sore menjelang
malam, Penulis diajak menonton uji terbang drone di pematang. Baling‑baling
berdesing, menebar kabut pupuk organik yang harum. Bulan samar mulai mengintip
di atas Gunung Kawi. Kepanjen sunyi, hanya suara kodok yang mulai terdengar.
Di sinar lampu LED
drone, Abimanyu berujar lirih.
“Kalau akhirnya
aku harus masuk istana kahyangan, aku mau bawa ini, knowledge petani.
Kalau tidak boleh, lebih baik aku tinggal di sini. Mati satu Abimanyu sudah
cukup, jangan dua kali.”
Bagong menyalakan
rokok lain, menatap langit, lalu menoleh ke Penulis:
“Catat, Mas. Kalau
drone ini suatu hari menyemprot air mata, itu berarti labirin menang lagi.
Tugas kita, jaga jalur keluar. Lagian, kupikir Kepanjen dipilih Kyai Semar
bukan kebetulan, di sinilah dulu para panji ditempa; mungkin sekarang giliran
kita menempanya kembali.”
Lampu drone padam
perlahan, meninggalkan titik lampu merah berkelip. Hening
“Mas Penulis…”
suara Abimanyu memecah keheningan, “…besok aku harus ke Kahyangan, memenuhi
undangan Partai Solider Kahyangan. Tapi sebelum berangkat, kita ke pasar dulu beli
onderdil kebenaran. Katanya, di kahyangan, suku cadang integritas sudah
langkah.”
“Aku pernah masuk
labirin, Mas. Dulu. Dan tak ada pintu keluar. Tapi sekarang aku belajar: kalau
pintu tak ada, kita buat jendela sendiri. Atau, minimal, kita terbang di
atasnya.”
Bagong nyeletuk,
“Makanya Den Abi bikin drone, bukan dinasti.”
Kepanjen mulai
temaram. Tapi pembicaraan ini seperti membuka satu lorong keluar dari labirin
bernama sejarah, yang selalu ingin berulang, tapi lupa bahwa rakyat punya
ingatan.
(Sibu Bayan)
Cerita selanjutnya: Cinta Terlarang Arjuna & Banowati, Skandal di Mega Food Estate
(catatan penulis:
kisah ini akan bersambung tentang Abimanyu gugur dalam peristiwa labirin cakrabyuha
pada perang Bratayudha)
No comments:
Post a Comment