Dongeng Sibu Bayan (#022)
Malam ini, penulis
memutuskan untuk menginap di Kepanjen. Penulis masih ditemani Bagong dan
Abimanyu. Aroma kopi khas Wonosari Gunung Kawi dan tembakau srintil memenuhi
kedai ‘Kopi Rakyat’ di pinggir jalan utama Kepanjen-Malang.
“Mas Penulis,
besok kita ikut ngantar Den Abimanyu ke kahyangan. Sekalian nanti kita ke sawah
percobaan milik ‘Mega Food Estate Hastina’. Ada Grand Launching Lumbung
Pangan Negeri, proyek kebanggaan Raja Duryudana untuk membuat negeri ini
swasembada sekaligus swasemawa,” ujar Bagong sambil mengunyah tempe krispi khas
Kepanjen. (baca cerita sebelumnya:
Setengah berbisik
Bagong menambahkan, “Di sana ada skandal yang lebih gurih dari rendang—kisah
Arjuna, bapaknya Den Abi, dengan Raden Ayu Banowati, permaisuri Duryudana, raja
Hastina.”
Abimanyu yang terlanjur mendengar bisikan Bagong hanya terkekeh. “Jangan harap objektivitas penuh. Kisah itu masih membuat hatiku uring-uringan. Bayangkan, ayahku sang kesatria idola justru dicurigai menjalin romansa terlarang dengan Banowati, permaisuri Kurawa”.
Keesokan pagi,
kami sampai di Mega Food Estate Hastina. Dan semua drama ini meledak di tengah
program lumbung pangan yang katanya akan ‘menjadikan negeri ini etalase beras
dunia’. Sungguh klenik modern.
Gema gamelan
digital menggoyang auditorium futuristik yang sengaja didirikan di atas bekas
hutan. Kata pamflet: “Padi lebih hijau daripada pohon.” Duryudana tampil
mengenakan blazer motif bulir padi, bros padi emas, dan dasi hijau pupuk
hayati. Di sampingnya, Banowati berseri dalam kebaya berkilau seolah tembaga
papan nama tambang. Sebelum acara dimulai, seluruh tamu dipersilakan menikmati
bubur organik.
Saat jamuan itu,
kami menyelinap ke balik panggung. Arjuna berdiri dekat Banowati. Ruangan
mendadak bau melati dan konspirasi. Tanpa sadar ia merapikan selendang
Banowati, gestur halus yang tertangkap mata laser gosip Bagong.
“Ups, Mas Arjuna,
itu selendang atau selendap?” celetuk Bagong.
Arjuna terkesiap.
“Ehem... hanya sopan santun.”
Banowati tersenyum
semanis sirup glukosa, “Bagong, jaga rahasia ya?”
Sambil menikmati
bubur entah-dari-mana, penulis mendengar lirih Banowati, “Reswara, kau
betul-betul mau mengajar di sini? Kau tahu siapa yang membiayai gedung kaca nan
megah itu.”
Reswara—panggilan
sayang Banowati pada Arjuna—menjawab, “Ilmu padi tak kenal dinding kekuasaan.
Biarkan benih belajar di mana saja.”
Bagong menyelipkan
komentar sambil ngunyah, “Benih sih bebas. Tapi kalau lahannya dicaplok program
food estate, ya tetap tanamannya yang meringis. He he.”
Banowati menatap
penulis, mungkin lupa kalau aku cuma teman punakawan, lalu berbisik ke Arjuna
soal kekhawatirannya. Proyek ini hanya topeng. Di balik janji swasembada,
Duryudana sudah menjual konsesi lahan ke korporasi benih transnasional. Arjuna
terdiam. Sorot matanya melepuh pelan seperti gabah kepanasan.
Sementara itu,
Lesmana, anak Duryudana dan Banowati, menarik lengan Abimanyu.
“Abi, mengapa
hatiku berdebar tiap lihat bapakmu? Ayahku baik... tapi Paman Arjuna—wah.”
Abimanyu menghela
napas tiga beat. “Les, kau kagum pada pahlawan? Oke. Tapi kalau pahlawan itu
rebut istri orang... ibumu?” Uring-uringan level dewa: +100.
Acara dimulai.
Duryudana berdiri
di mimbar, senyum setebal lapisan lilin. Di belakangnya layar presentasi
bertuliskan: “Data adalah Padi Masa Depan”. Slide-nya menampilkan sawah hijau
sempurna, lebih mirip wallpaper laptop. Lalu dia mengarahkan pointer laser
merah darah ke grafik lonjakan produksi padi 300% dalam satu musim.
“Ini produksi
tertinggi sepanjang sejarah negeri Hastina,” ucapnya bangga. “Berkat teknologi
alsintan, food estate, dan pupuk Kurawa Gro™.”
Bagong mendesis,
“Kalau grafiknya makin curam, bisa loncat ke bulan, cuk. Habis itu panen di
kawah.”
Bagong membisiki
penulis, “Lihat... grafik panen naik segitu curam, sampai kalau dipanjat bisa
ke surga tanpa akses lift. Padahal sawah sudah jadi beton.”
Abimanyu menggigit
bibir. “Data itu punya lubang lebih besar dari parit irigasi jebol.”
Di bangku VIP,
semua pejabat tepuk tangan. Kecuali Lesmana. Ia malah menepuk-nepuk kursi,
matanya berbinar melihat Arjuna yang duduk santai, memainkan jemari seperti
memetik dawai busur. Lesmana menirukannya di udara, seolah murid setia.
“Bantu aku bongkar
akal bulus Ayah,” bisiknya pada Bagong dan Abi. “Sebagai asisten riset, aku
diminta mengedit tabel panen sampai padi tumbuh di sel Excel. Tapi aku
lebih percaya pahlawan sejati...” sambil menatap Arjuna di kejauhan
Abimanyu menepuk
bahunya. “Keberanianmu sudah separuh jalan menuju satria.”
“Sisanya butuh
keberanian menghadapi rapat anggaran,” timpal Bagong. “Lebih seram ketimbang
seratus Kurawa.”
Tiba-tiba Lesmana
berdiri. “Ayah! Data kita tidak jujur. Produksi padi stagnan, irigasi bocor,
petani terjerat utang. Ini fakta lapangan!”
Tayangan berganti:
drone menyorot saluran irigasi kering, petani nyangkul di lahan retak, tikus
pesta panen. Duryudana terhenyak. Banowati menutup mulutnya. Arjuna tersenyum
muram.
Bagong menyeruak
ke panggung dengan karung gabah. “Bukti fisik, Pak Raja Duryud! Gabah keriput,
bukan gabah gemuk seperti bros di jas Bapak.”
“Pengkhianatan!”
desis Duryudana. “Siapa dalangnya?”
Abimanyu
melangkah. “Bukan pengkhianatan, melainkan kesetiaan pada kebenaran. Data tak
busuk, Yang Mulia, manipulasinya yang busuk.”
Krisis data belum
reda, isu cinta meledak. Gara-gara Bagong sengaja (tapi pura-pura tidak)
memvideokan Arjuna dan Banowati berbalas pantun.
“Kau datang ke
sini karena aku?” bisik Banowati.
“Aku datang...
karena benih sepertimu butuh ladang jujur,” jawab Arjuna.
Video bocor ke
media sosial. #SelingkuhBenih trending. Netizen Hastina: “Skor Arjuna naik,
skor Duryudana drop!” “Banowati, queen of move on!”
Abimanyu mematikan
ponsel. Wajahnya masam.
“Ayah idola, tapi
kenapa begini?” gumamnya. “Di mana kesetiaan?”
Bagong menjawab,
“Ksatria pun kadang tersesat, Den Abi. Yang penting padi rakyat tak ikut
tersesat.”
Lesmana bicara ke
Raja, “Saya anak Raja, tapi juga saksi lapang. Data Ayah penuh cat semprot.
Sementara Paman Arjuna, meski urusan hati, masih mau turun langsung temui
petani.”
Abimanyu, masih
geram, berdiri. “Aku tidak bela affair Ayah. Tapi yang kita bahas di
sini legitimasi pangan negeri ini. Rakyat bukan ladang gosip, mereka butuh air, pupuk,
benih asli, bukan Excel cloud.”
Benih padi di meja
panggung berbisik (hanya terdengar oleh pembaca kritis), “Kami mau basah
lumpur, bukan basah tinta statemen.”
Publikasi data dan
video mengguncang takhta. Investor asing mundur. Duryudana mengumumkan “revisi
roadmap”. Banowati menggandeng Lesmana, mundur dari proyek dan berjanji
mengaudit ulang semua sawah.
Arjuna mendekati
Abimanyu. “Nak, maafkan...”
Abimanyu menghela
napas. “Bukan aku yang harus kau yakinkan. Tapi petani yang kehilangan ladang dan sawah”
Bagong menepuk
pundak mereka. “Ayo kita jernihkan sawah, bukan sekadar nama baik. Ngopi dulu?”
Senja jatuh. Kami
duduk di tanggul embung. Lesmana latihan memanah gaya Arjuna, Abimanyu menulis
catatan “Etika Kesatria Pangan”, Banowati entah kemana....Bagong corat-coret mural:
“Padi tumbuh
dengan air dan kejujuran, bukan retorika.”
Hujan rintik
turun. Alam seolah meng-endorse bab baru pertanian Hastina. Luka Abimanyu soal
ayahnya belum sembuh, tapi ia belajar: menjaga pangan bangsa kadang menuntut
menepikan luka pribadi.
Kata Bagong,
“Sakit hati bisa sembuh dengan teh tarik. Tapi sawah kering perlu sistem
irigasi. Itu baru romantis!”
Kami tertawa.
Lampu gudang benih menyala, siap menyemai generasi yang lebih jujur, selagi
kita tetap waras menertawakan absurditas.
(Sibu Bayan)
Cerita selanjutnya: Karna, Dendam yang Dipupuk di Ladang Ibu
No comments:
Post a Comment