Wisanggeni Gugat, Pandawa Kecanduan Judol

 Dongeng Sibu Bayan (#026)

catatan penulis: Kisah ini adalah pengantar ke permainan dadu legendaris Pandawa vs Kurawa

(Wisanggeni bin Arjuna)

Penulis akhirnya sampai di Pronojiwo, tempat yang oleh Google Maps disebut “perbatasan Kabupaten Malang dan Lumajang”, tapi oleh warga disebut “ya situ-situ aja, mas.” Lereng Selatan Semeru menyambut dengan jalanan berkelok seperti logika pejabat saat debat publik: penuh belokan, kadang longsor.

Di sinilah lahar dari Semeru memilih jalannya, mulai dari Curah Kobokan, Sumberwuluh, hingga entah ke mana, mungkin langsung masuk ke kantor kementerian yang katanya peduli bencana tapi anggarannya lebih cocok untuk seminar di hotel. Tanah ini bukan sekadar geologi; ia adalah kisah cinta antara air dan api yang tidak pernah disetujui oleh mertua.

Pronojiwo yang berarti “penglihatan jiwa” adalah nama yang terlalu puitis untuk desa yang sinyal internetnya sekuat janji kampanye. Tapi di balik kabut tipis dan pohon kopi yang menggoda, tempat ini seolah menyimpan rahasia: bahwa di negeri ini, bahkan gunung lebih jujur daripada tokoh agama.

“‘Anak ini terlalu kuat,’ kata Batara Narada. ‘Jika tumbuh besar, dia tak hanya bisa menembus langit, tapi membocorkan segalanya, rahasia surga, aib Pandawa, kebijakan fiktif dewa-dewa’.”

Ia terkekeh, getir. “Bahkan Kresna tak bisa bersaing melawan admin telegram yang kasih link deposit.”
Ia menarik napas panjang. “Kalau neraka punya anak cabang, mungkin sudah buka kantor di aplikasi slot.”
Wisanggeni mengangguk. “Termasuk siapa yang sebenarnya memegang kunci server situs judi itu. Termasuk siapa yang mengatur alur transaksi ke rekening luar negeri. Termasuk siapa yang menggunakan hasil judi untuk resolusi konflik internal partai.”

Di warung yang menjual kopi robusta, pulsa, dan chip slot Mahakala777, penulis bertemu dengannya Wisanggeni, pemuda berambut api dan mata menyala seperti notifikasi pinjol. “Kau penulis?” tanyanya. “Aku Wisanggeni. Anak Arjuna. Yang tak diakui silsilah karena terlalu jujur untuk dimasukkan dalam narasi pembangunan.” Suaranya seperti gemuruh petir yang dikompres jadi suara panggilan WhatsApp dari debt collector.

Penulis belum sempat menjawab ketika Wisanggeni berkata, “Aku lahir bukan dari Candradimuka seperti Gatotkaca. Aku lahir dari pengasingan. Dari rahim Dewi Dresanala, yang disembunyikan karena cintanya pada Arjuna dianggap terlalu liar untuk disahkan oleh dinas kependudukan kahyangan. Ibuku adalah simbol dari kebenaran dan kekuatan yang ditolak sistem”

“Kelahiranku, lanjutnya, “adalah bug sistem dalam tatanan naskah suci Mahabharata. Sejak aku membuka mata, langit menggelap. Petir menyambar. Server Kahyangan down. Wahyu-wahyu mulai gagal login.

“Dewa-dewa panik. Bahkan Batara Guru langsung rapat darurat tanpa undangan media.”

“Kresna datang tergesa”, kata Wisanggeni, “seperti komisaris BUMN yang tahu kontraknya akan disorot. Ia membawa proposal: hapus Wisanggeni dari narasi utama. Jangan sebut dia cucu Pandu. Jangan beri dia panggung. Jika perlu, sebut saja dia mitos atau fan fiction liar.

“Pandawa…?” tanya Penulis pelan.

Wisanggeni tersenyum kecut. “Pak Dhe Puntodewo bilang aku terlalu emosional. Pak Dhe Werkudoro sibuk endorse pinjol berkedok syariah. Bapakku, Arjuna… diam. Mungkin karena takut istrinya yang kesekian marah.”

Wisanggeni lalu menunjuk ke layar LCD yang diduplikasi dari ponsel pemilik warung, menampilkan iklan "Slot Kahyangan: Bermainlah Demi Perekonomian!" muncul setelah tayangan ceramah agama dan sebelum siaran langsung sidang etik pejabat. “Dulu aku kira setan itu makhluk halus. Tapi ternyata ia berbadan hukum dan berlogo.”

Penulis melirik layar. Ada wajah pejabat berseragam yang berkata, “Kita akan tindak tegas judi online!” tapi di bawahnya muncul notifikasi: Transaksi berhasil: 3.000 chip Mahadewa88 telah ditambahkan ke akun Anda.

“Lucunya,” lanjut Wisanggeni, “yang jadi juru bicara antijudi justru pemilik saham silent partner. Yang katanya tokoh moral malah dapat jatah referral. Yang pasang spanduk 'Judi Adalah Musuh Negara' ternyata jadi host turnamen slot di balik layar.”

“Lalu datang pinjol,” ia menunjuk ke langit. “Dari langit turunlah utang berbunga 700%. Masyarakat butuh makan, klik satu kali, dikirimi modal dengan embel-embel: Jadikan hidupmu lebih mandiri. Padahal itu cuma kata lain dari: Jadikan datamu jaminan sampai ajal.

Penulis mengangguk kecut. Di negeri ini, regulasi kadang lebih takut pada algoritma daripada pada nurani.

“Yang paling menyakitkan,” lanjut Wisanggeni, “adalah ketika rakyat lapor: anaknya kecanduan judi online, ibunya diteror pinjol, saudaranya depresi, tapi yang datang malah influencer bilang “mainlah dengan bijak.”

Sejak kecil, Wisanggeni sudah bisa membakar awan dengan napasnya. Tapi yang paling membakar, katanya, adalah mulutnya sendiri, karena jujur dan terlalu sangat transparan menyebut nama-nama yang harusnya tak disebut.

“Termasuk nama-nama pemilik slot online yang berkedok startup edukasi?”

Ia menunjuk ke drone yang melayang rendah. “Itu bukan pengintai musuh. Itu pengintai narasi.”

“Jadi kau dibungkam?” tanya Penulis

“Aku dibuang,” jawabnya. “Seperti berita tentang judi online yang lenyap sehari setelah trending. Seperti riset tentang dampak pinjol ke petani yang tiba-tiba dianggap tidak valid karena ‘kurang metodologi nasionalisme’.”

Penulis menatap gunung Semeru. Di kaki gunung yang tenang itu, suara Wisanggeni terasa seperti letupan kecil dari mulut kawah.

“Aku sudah tahu sejak awal,” katanya. “Negeri ini akan jatuh bukan karena perang senjata, tapi karena dadu. Karena Pandawa mulai menikmati spin. Karena kebajikan mulai cari diskon cash out. Karena wahyu mulai dikonversi jadi voucher cashback.”

“Mereka takut padaku,” katanya datar. “Karena aku tahu, yang diam-diam ikut judi itu bukan cuma orang biasa. Tapi juga pejabat, penasihat, bahkan para Pandawa sendiri.”

Penulis nyaris tersedak kopi. “Pandawa?”

“Ya. Awalnya hanya iseng, coba-coba link referral dari Bagong. Nakula dan Sadewa main gacha tanaman legendaris. Arjuna pasang parlay hasil ramalan bintang. Werkudoro kalah taruhan ayam jago virtual. Puntodewo? Ah, ia main dadu daring, dikira pelatihan diplomasi.”

Wisanggeni tertawa getir. “Katanya demi subsidi rakyat, tapi yang disubsidi malah saldo chip. Katanya revolusi digital, tapi isinya tautan curang yang menyaru jadi ekonomi kreatif.”

Pada awalnya, Pandawa merasa mereka bisa berhenti kapan saja. Tapi tiap kali menang, muncul notifikasi: “Selamat! Anda telah membuka level berikutnya: Kredit Kilat Seribu Kahyangan.”

Mereka klik. Tak baca syarat dan ketentuan. Dan dalam sekejap, mereka terjerat pinjol dengan bunga yang lebih subur dari sawah subak Bali.

“Werkudoro sekarang harus setor screenshot bukti setor tiap malam. Arjuna jadi duta turnamen Dadu Mahadewa ‘Dengan Seni, Kita Bermain’, katanya. Puntadewa... dia sedang menyusun naskah pidato tentang Ekonomi Etika Digital sambil cicil 23 aplikasi pinjaman,” kata Wisanggeni.

“Lalu kamu?” tanya Penulis pelan.

“Aku mengingatkan. Tapi mereka bilang aku terlalu emosional. Terlalu idealis. Terlalu tidak monetizable.”

Wisanggeni menatap Semeru sekali lagi, puncaknya samar di balik kabut, seolah enggan jadi saksi jatuhnya moral para ksatria era spin. Bara di matanya meredup, lalu berkobar lagi, seakan berkata: “Jika kelak meja dadu digelar dan chip‑chip kebajikan resmi dipertaruhkan, aku mungkin sudah dihapus dari daftar hadir. Tapi ingat Mas Penulis, nyala api tak perlu undangan untuk kembali. Saat angka ganjil jatuh dan negeri ini sadar semua saldo nurani minus, carilah aku di desis kawah, di retak tanah, di jeda antara bunyi sirine pinjol dan notifikasi jackpot, di sanalah kebenaran akan menyala lagi.” Ia menunduk pada lembah Pronojiwo ‘penglihatan jiwa’ seakan menitip pesan bahwa tempat ini akan selalu memantulkan nurani siapa pun yang berani menatapnya, sebab selama bara kejujuran masih bersembunyi di relung bumi, Pronojiwo akan menjadi cermin terakhir tempat kesadaran berpulang.

(Sibu Bayan)





No comments:

Post a Comment