Dongeng SiBu Bayan (#018)
Penulis melirik
kaca spion. Bayangan hutan Wanamarta semakin menjauh, tapi kelembutan desah
angin dan aroma pepohonan masih terasa menguar di udara. Saat penulis masih
asyik mengunyah cerita tentang pembangunan di Wanamarta, Krisna tiba-tiba
berkata, “Mas Penulis, tahu nggak, kenapa Gatotkaca saya ajak ikut perjalanan
ke Kepanjen? Supaya dia cerita tentang dirinya. Meski dia seperti atlet UFC
yang siap bertarung kapan saja, dia sebenarnya sangat pemalu. Tapi ceritanya
penting untuk epik Bharatayudha nanti.” Dengan senyum misterius yang bikin
penasaran, Gatotkaca pun mulai membuka kisahnya.
“Dulu, setelah Pandawa membangun Amarta yang megah, lengkap dengan taman berkonsep smart farming dan jaringan irigasi otomatis, Bapakku Werkudoro merasa gelisah. Bukannya sombong, tapi rasanya hidupnya kok gitu-gitu aja. Maka dengan semangat yang lebih membara daripada sambal terasi di warung pinggir jalan, ia memutuskan berkelana ke negeri-negeri jauh untuk menegakkan keadilan dan belajar hal baru dan bonusnya..siapa tahu dapat istri seperti Paman Arjuna yang memang dari sononya sudah digemari para gadis dan emak-emak.
Suatu hari, bapak
sampai di Pringgadani, kerajaan raksasa. Di sana, ia bertemu Dewi Arimbi,
seorang raksesi, wanita raksasa, yang pintar, cantik, dan hobi menulis puisi
tentang filosofi pertanian berkelanjutan. Ya, siapa sangka, raksasa juga bisa
jadi intelektual yang paham agroekosistem.
Awalnya, Arimbi
menolak cinta Werkudoro. Katanya, “Kamu manusia kecil, aku raksesi besar. Kamu
punya jurus sakti, aku punya neraca karbon.” Tapi Werkudoro yang tak kenal
menyerah, malah ngelamar dengan cara modern: live streaming push-up di atas
bara api sambil membacakan puisi cinta. Tagar #WerkuBikinBaper pun jadi trending
topic kerajaan.
Akhirnya, mereka
menikah dengan restu Prabu Arimbaka dan para dewa yang ikut nonton live
streaming.
Tak lama, ibuku, Arimbi,
melahirkan bayi luar biasa bernama Jabang Tetuko, nama kecilku”, kata Gatotkaca
sambil berbinar matanya.
Kemudian dia
melanjutkan “Aku bukan bayi biasa, kulitku sekeras baja, ototku seperti kawat
tembaga berlapis emas, dan tali pusarku? Jangan harap bisa dipotong dengan
senjata biasa. Tali pusarnya hanya bisa diputus oleh keris legendaris, Keris
Kunto!”
Krisna menyela “eh..jangan
lupa ceritakan dramanya...”.
Gatotkaca pun melanjutkan ceritanya.
“Oh ya, Pamanku
Arjuna ditunjuk untuk memotong tali pusar Jabang Tetuko dengan keris sakti itu.
Tapi, karena ceroboh dan sibuk main TikTok, keris itu direbut oleh Pakdhe Karna,
saudara seibu yang menghamba di Hastina Kurawa. Paman Arjuna cuma dapat
warangka alias sarung kerisnya saja,” kata Gatotkaca sambil nyengir menyesali
perbuatan Pamannya, yang dikemudian hari akan menjadi sumber petaka bagi dirinya
dalam perang Bharatayudha.
“Namun, dengan
petunjuk Pak Dhe Krisna yang cerdas, Arjuna tetap membawa warangka itu ke
Werkudoro. Ternyata, warangka tersebut bisa “dipakai” memotong tali pusar, tapi
dengan efek samping kocak sekaligus tragis, warangka itu malah nyangkut dan
menyatu di perutku. Bayangkan ada sarung keris di perut bayi yang nantinya jadi
perut baja super kuat!, dunia pewayangan memang absurd, wajar kalau sulit
diangkat jadi film korea”, ujar Gatotkaca
Kami semua
terbahak mendengar ceritanya. Kemudia Gatotkaca melanjutkan.
“Nah saat
kelahiranku, di kahyangan, suasana sedang panas, bukan karena sinar matahari,
tapi karena para dewa sibuk berdiskusi keras. Batara Guru berdiri di podium,
memegangi jenggot, berkata, “Kalau Jabang Tetuko ini tidak ditempa di Kawah
Candradimuka, jangan harap dia bisa jadi pahlawan yang kita butuhkan. Kalameru,
raksasa jahat yang kita hadapi, hanya bisa dilawan oleh manusia setengah dewa
dengan tubuh sekuat baja.”
Si Indra, sambil
sesekali ngupil, menambahkan, “Tapi kalau dia nggak masuk kawah itu, nanti
kulit baja-nya nggak meresap aura dewa. Bisa-bisa malah jadi robot, bukan
manusia!”
Batara Wisnu, yang
memang sering nyengir, bilang, “Ini bukan cuma soal kekuatan, tapi soal budi
dan dharma juga. Makanya, kita wajib kirim Jabang Tetuko ke Kawah Candradimuka.
Kalau tidak, siap-siap saja kita kalah oleh Kalameru dan para raksasa yang
nyari kerjaan susah.”
Akhirnya, atas
intervensi dan desakan para dewa ini, Bapak dan ibuku harus merelakan diriku
yang masih bayi diserahkan ke Kawah Candradimuka. Bayangkan betapa sedihnya
Werkudoro, harus melepaskan anaknya ke kawah panas penuh aura mistis, sambil
berharap ada es krim buat si bayi. Tapi demi nasib kayangan, ia pasrah.”
Krisna kemudian
menambahkan, “Batara Narada melempar Jabang Tetuko ke kawah sambil
terkekeh-kekeh…, kalau tidak ada Betara Guru…sudah aku sikat dia…., tapi memang
kehendak dewa sulit dimengerti. Setelah itu, Gatotkaca menjalani penempaan gaib
di Kawah Candradimuka. Berhari-hari berendam di kawah panas penuh aura magis,
sambil sesekali teriak minta es krim, yang tentu saja tak kunjung datang.”
Kami bertiga
tersenyum mendengarnya, kemudian Gatotkaca melanjutkan.
“Setelah keluar
dari kawah, aku bukan lagi bayi biasa, tapi pemuda sakti mandraguna yang mampu
terbang dan punya kulit sekuat baja. Aku menjadi simbol dharma dan pahlawan
harapan dalam perang Baratayudha.
Aku pun turun ke
medan perang. Dengan jubah baja dan warangka keris di perutku. Aku terbang ke
langit kahyangan sambil nyanyi rap. Akhirnya Kalameru tumbang, langit kahyangan
kembali cerah, dan para dewa ngacung jempol sambil ngasih tepuk tangan virtual.
Batara Guru bilang, “Gatotkaca, pendidikanmu di kawah Candradimuka harus dilanjutkan
di dunia nyata, masuk ke kampus pertanian terbesar di negeri ini, sehingga
dharma mu bukan hanya menjadi tukang pukul dewa”
“Tentu saja aku menolak...saat
itu aku akan melamar jadi anggota Avenger, toh aku manusia tersakti” kata
Gatotkaca sambil manyun. Kemudian dia melanjutkan “Namun kata ibuku, di jaman
now…sertifikat pendidikan tinggi lebih penting dari pada kesaktian. Akhirnya
aku masuk kampus”
Di kampus itu,
Gatotkaca harus hadapi pergantian kurikulum absurd, dari Kurikulum Merdeka ke
Kurikulum Berdampak. Rektor kampus yang mirip Batara Wisnu, dengan semangat 45,
berpidato, “Mahasiswa harus bikin dampak nyata! Bukan cuma belajar bebas, tapi
dampaknya harus bikin bumi tersenyum.”
“Kita sudah
merdeka memilih mata kuliah, sekarang saatnya memberi dampak! Setiap tugas
minimal harus mengguncang kebijakan nasional atau memulihkan satu DAS. Kalau
bisa dua, lebih bagus.”
Mahasiswa panik.
Dosen terdiam. Kantin tetap setia menyajikan gorengan.
Semua mahasiswa
bingung. Aku sempat bertanya, “Kalau saya pukul dan bikin pohon tumbang, itu
dampak positif atau negatif, ya?”
Dalam kuliah Etika
Pertarungan Lintas Spesies, dosennya bertanya, “Kalau kamu membanting raksasa,
apakah itu menyumbang pada ketahanan pangan?”
Dengan wajah penuh
kegalauan, Gatotkaca melanjutkan ceritanya, “Aku bisa melayang 7 meter, tapi
tersandung saat menyusun key performance indicator. Aku mampu meninju
meteor, tapi tak paham perbedaan impact evaluation dan output report.
Aku mulai bertanya-tanya, Apakah kekuatan superku harus diuji dalam bentuk
rubrik penilaian berdampak?"
Saat mengisi
formulir beasiswa, bagian “Motivasi Pribadi” membuatku bimbang. Haruskah aku
menulis sebagai anak pejuang atau sebagai avatar perubahan iklim?
Dosen-dosenku
malah sibuk bikin seminar “Manajemen Limbah Pukulan Sakti” dan “Analisis Risiko
Sosial Jurus Pamungkas.” Ada kelas wajib bikin proposal “Inovasi Pukulan Sakti
dalam Meningkatkan Produktivitas Padi.” Kuliah jadi campur aduk antara ilmu
tanah, agroekologi, dan teori pukulan sakti berdampak rendah karbon.
Hampir setiap
malam, aku termenung membayangkan Kawah Candradimuka yang jelas dan terstruktur
kurikulumnya dibanding kampusnya yang penuh gebrakan. Aku ini mahasiswa atau
atlet UFC yang dipaksa ikut kuliah etika lingkungan?”
Gatotkaca terdiam
sejenak, dan kemudian dengan suara yang lebih tenang, dia melanjutkan.
“Pendidikan negeri
+62 memang absurd, penuh drama, plot twist, dan reboot tiba-tiba. Namun aku
seperti umumnya mahasiswa disana, tetap berjuang. Akhirnya aku lulus dengan
skripsi berjudul “Optimalisasi Pukulan Sakti dalam Menghadapi Krisis Iklim
dan Disinformasi Digital.” Sekarang aku jadi pahlawan sekaligus influencer
lingkungan, sering tampil di seminar dan podcast dengan jargon “Berlari,
memukul, tapi tetap berdampak.”
Bapakku Werkudoro?
Ia buka warung kaos bertuliskan, “Anakku Alumni Kampus Berdampak,” sambil
sesekali ikut kelas online Kartu Prakerja dan nge-endorse produk sayur
organik. Di kahyangan, para dewa masih sibuk ngoprek kurikulum. Betara Narada
sudah siap presentasi Kurikulum Visioner Berkelanjutan versi AI.”
Penulis merenungi
bagaimana mitologi dan kenyataan seringkali bersinggungan dalam cara yang tak
terduga, pahlawan sakti yang dilempar ke kawah dididik menjadi simbol harapan,
namun tetap kebingungan menghadapi kurikulum yang berubah-ubah dan birokrasi
kampus yang tak kalah mistis dari dunia para dewa. Mungkin, sebagaimana
Gatotkaca belajar menerima bahwa kekuatan saja tidak cukup tanpa pemahaman dan
dampak, penulis pun perlu mengasah kepekaan, daya tahan, dan imajinasi agar
bisa tetap waras dan berdampak dalam dunia yang terus berubah.
(Sibu
Bayan)
Cerita selanjutnya: Antareja Gugur, Ketika Surga Beraroma Nikel
No comments:
Post a Comment