Antasena Berseru, Laut Tidak Butuh Pagar

 Dongeng Sibu Bayan (#025)

(Antasena bin Werkudoro)

Penulis sudah sampai lagi di Jalur Lintas Selatan. Jalanan ini menyusur bibir pantai dari Balekambang sampai entah di mana, mungkin sampai ujung mimpi kebijakan pesisir. Berkendara sendirian memberi waktu untuk merenung, mengapa sepanjang perjalanan ini, dunia nyata dan dunia pewayangan terus bertabrakan kayak dua kapal tanpa radar? Penulis sempat berharap tak akan berjumpa lagi dengan tokoh-tokoh absurd dari dunia wayang. Tapi harapan itu kandas.

Di tikungan yang begitu dekat dengan ombak, penulis dihentikan sosok setengah baya berbaju proyek, lengkap dengan rompi dan topi merah menyala. Ia tengah mengatur posisi teodolit, siap membidik garis pantai, mungkin untuk mengukur masa depan. “Mas Penulis! Ketemu lagi!” teriaknya ceria. “Aku Werkudoro. Sekarang jadi mandor pemetaan pantai.” Penulis menepuk jidat. “Wayang lagi…Werkudoro?” (baca juga: Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga)

“Betul,” jawab Werkudoro, kini dipercantik ID card bertuliskan Project Supervisor – Coastal Mapping Division. “Apa kabar Mas….kini aku surveyor garis pantai. Biar laut punya KTP, Mas!”

Sebelum penulis sempat menjawab, Werkudoro menoleh ke laut dan berseru lantang, “Senaa... keluar dulu! Saya kenalkan Mas Penulis.

Air laut terbelah dan sosok pemuda muncul dengan sigap. Rambut basahnya digerai angin, kulit bersisik hijau‑biru memantulkan cahaya bagaikan neon diskotik di malam cengkerama.

Penulis baru akan bertanya, tapi sebuah kepala dengan rambut awut-awutan plus topi daun kelapa tiba‑tiba turun dari pohon bak lampu panggung. Ya…, Bagong lagi, manusia serba tahu dan serba nyinyir.

“Oi!” teriak Bagong sambil menepuk pundak penulis. “Belum kenal Antasena ya? Ini anak Pak Werku, ibunya Dewi Urangayu, putri Batara Baruna, raja laut yang kalau batuk bikin gelombang tinggi lalu minta maaf pakai sirene tsunami BMKG.”

Bagong menyerocos seperti komentator bola: “Antasena sakti tapi aneh, setengah reptil, mata bening kayak air kelapa muda, rambut soggy, rasa shampoo iklan, bisa hilang di air, napas di dasar laut, dan kalau bad mood manggil pasukan udang galah. Kekurangan: susah selfie, sinyal 5G di palung masih E‑Edge.”

“Sudah, Gong…,” potong Werkudoro, “ini bukan sesi unboxing keturunanku. Aku mau cerita  kerjaan serius: Pagar Laut Selatan.” Ia menepuk teodolit seakan menepuk bahu kuda perang. “Tanggul beton bakal dibangun dari Balekambang sampai ujung harapan. Katanya buat lindungi pantai, tapi diam‑diam biar laut nggak kelewatan, sekarang laut doyan hantam properti miliaran, kan repot.”

“Bukannya pagar laut di Utara, laut Jawa?”, sanggah penulis

“Oh…itu di negeri +62, di negeri wayang kebalikannya”, kata Werkudoro

Penulis diam, coba memaklumi saja. Jalan paling aman dan menentramkan di negeri ini memang “HARAP MAKLUM”

Bagong rebahan di tumpukan karung semen, “Pagar laut?” gumamnya. “Laut itu rumah ikan, bukan maling. Yang maling justru kapal asing bersubsidi solar, tapi dibiarkan demi grafik ekspor. Nelayan lokal? Disuruh bikin laporan keuangan sebelum tarik jaring, lengkap tanda tangan pejabat dusun.”

Ia bangkit, mengambil papan kayu terdampar. Di ujung pantai, baliho raksasa tertera: WATERFRONT CITY OF HASTINA-Where Dreams Meet Waves. Logo konsorsiumnya menyerupai dua planet bertabrakan, entah pertanda sinergi atau kiamat.

“Dulu di sini konservasi penyu,” lanjut Bagong. “Sekarang penyu diwawancara: ‘Apakah Anda siap bertransformasi menjadi ikon NFT?’”

Penulis menatap teodolit Werkudoro yang kini diarahkan ke samudra. “Apa yang sebenarnya kalian ukur?”

“Kami mengukur batas kesabaran air asin,” jawab Werkudoro lirih. “Saat pasang tinggi, beton tak berarti. Tapi tender sudah cair, jadi biar logika menepi.”

Bagong terkikik. “Di negeri +62, kalau proyek menabrak etika, cukup ganti nama jadi ‘Program Lestari’. Tambah satu pasal UU, tempel stiker CSR, lalu fotokan ke media.”

Werkudoro tercenung. “Proyek pagar laut ini sepaket dengan reklamasi, Mas. Setelah tanggul berdiri, pantai diratakan, timbunan pasir dan tanah hasil memapas bukit, entah dari mana didatangkan. Jadilah pulau baru: zona transisi maritim‑urban, alias parkir yacht ber-helipad. Harga tanah? Tergantung seberapa dalam investor mau gali kantong.”

Antasena meneguk air laut, kebiasaannya jika gelisah, lalu berkata, “Reklamasi dibilang menambah daratan. Tapi daratan untuk siapa? Kami penghuni laut disuruh pindah ke keramba kontrakan, laut dijual meteran seperti kavling cluster Ocean Breeze Residence.”

Ia berjalan menyusuri bibir pantai yang kini dihiasi jejak ban alat berat. Di sela pecahan batu dan pasir yang tercabik, ia berlutut, menyentuh sebuah karang retak yang terdampar tak jauh dari pipa proyek. Jari-jari bersisiknya mengusap lembut permukaan karang yang dulu rumah bagi ribuan telur ikan. “Dulu aku mendengar nyanyian karang,” bisiknya lirih. “Sekarang tinggal desis besi.”

Seorang nelayan tua melintas, memanggul jaring yang sobek. Ia menatap Antasena dengan mata yang lama tak tidur. “Sena…tak mau ke laut lagi,” katanya pelan, “katanya laut sudah bukan laut. Sudah jadi jalan tol kapal besar.”

Antasena menunduk, matanya bening menampung langit yang makin suram. “Katakan padanya,” ujar Antasena pelan, “laut belum mati. Hanya terkurung.” Ia lalu bangkit, memandang ke cakrawala yang kini dipagari crane dan menara pemantau. Ombak di depannya pecah sunyi, seolah ragu untuk menyapa.

Tapi Werkudoro tiba-tiba berseru dari balik tripod teodolitnya, suaranya berat namun tegas: “Cukup, Sena! Jangan emosional terus. Aku tahu kau cinta laut, tapi dunia berubah. Kita tak bisa larut dalam romantisme karang dan udang galah.”

Antasena menoleh tajam, air di sekitarnya beriak seperti merespons amarah. “Romantisme? Ini bukan soal puisi, Bapa. Ini soal hidup, makhluk laut, nelayan, anak-anak yang berenang di air asin yang tak bisa lagi mereka kecap.”

Werkudoro mendesah, ID card-nya berkibar tertiup angin pesisir. “Kita tidak membunuh laut, kita menata. Pagar ini buat keamanan. Tsunami, abrasi, investasi. Tak semua proyek berarti pengkhianatan.”

“Tapi kenapa harus selalu dimulai dari pagar?” sahut Antasena. “Mengapa bukan dari dengar dulu suara air? Kenapa bukan dari nelayan yang perahunya tinggal satu? Mengapa selalu duluan beton sebelum bicara dengan terumbu?”

Mereka saling tatap. Bagong yang tadi rebahan kini diam, mendengar dua generasi Pandawa saling membentur prinsip. Werkudoro, yang pernah memecah raksasa demi keadilan, kini berdiri di sisi alat ukur dan peta zonasi. Antasena, yang lahir dari laut, berdiri dalam kabut asin yang semakin pekat.

“Aku... pernah bangga padamu, Bapa,” suara Antasena nyaris pecah. “Tapi sekarang aku tak tahu, apakah kau berdiri sebagai Pandawa atau hanya sebagai mandor tender.”

Werkudoro tertunduk, dadanya bergemuruh. Tapi ia tak menyangkal.

Bagong merusak suasana dengan tiba-tiba menunjuk ke udara. Drone melintas, lensanya menyorot penulis. “Itu bukan CCTV, Mas. Itu CCTV bersaham. Kalau kau berdiri terlalu lama, tanah di bawah kakimu bisa di‑NFT‑kan.”

Antasena menggeser sandal. “Aku lebih baik tinggal di dasar laut, daripada lihat pesisir jadi brosur investasi yang tak bisa dibaca orang pesisir.” Ia pun melangkah, seolah air menyambutnya pulang.

Dengan gelombang yang makin gaduh dan langit yang menahan amarah, Antasena berdiri mematung di batas air dan beton, di antara ombak dan ekskavator. Ia menatap jauh, seolah melihat masa depan yang penuh pagar, dermaga pribadi, dan laut yang dibungkam dalam spreadsheet dan kalkulasi investasi. Tapi sebelum perang besar Baratayudha benar-benar meletus—perang yang kini tak lagi soal takhta Hastina, melainkan siapa yang berhak bernapas di pesisir—akhirnya Antasena memilih moksa. Ia tidak gugur di medan laga, tidak tumbang oleh senjata, melainkan larut bersama arus, lenyap ke dasar samudra seperti rahasia purba yang menolak dikomersialkan. Tak ada api pembakaran, tak ada tugu peringatan. Hanya karang-karang yang bergumam pelan, “Ada yang lebih luhur dari kemenangan: menolak diperjualbelikan.”

Werkudoro berdiri membeku. Air matanya tak jatuh, tapi napasnya pendek-pendek. Ia menggenggam ID card Project Supervisor yang kini terasa lebih berat dari senjata andalannya, gada Rujakpala. Di balik seragam proyeknya, ada tubuh ksatria tua yang mulai ragu pada dirinya sendiri.

“Maaf, Nak,” gumamnya ke laut, tapi angin tidak menjawab.

Ia ingat ketika dulu menghunus senjata demi melawan ketidakadilan, bukan mengawal penggusuran. Dulu ia tahu mana lawan, mana kawan. Kini segalanya kabur, dilapisi dokumen, dipoles jargon pembangunan. Ia merasa seperti wayang kehilangan dalang, bergerak tapi tak lagi punya arah.

Bagong diam memandangi Werkudoro yang mendadak seperti patung di tengah proyek. Tak bersuara, tak bergerak, hanya matanya menatap laut yang baru saja menelan anaknya sendiri.

“Pagar bisa kau bangun, Kurdo,” kata Bagong pelan, “tapi pagar itu tak akan sanggup tahan gelombang yang kau simpan dalam dada sendiri.”

Werkudoro tidak menjawab. Ia mendongak ke langit, mendapati bahwa mendung yang menggantung itu tak hanya di atas laut, tapi juga di dalam dirinya.

“Mas,” bisik Bagong, menepuk lengan penulis, “ayo kita bergeser ke timur, ke kampung nelayan terakhir. Mereka mau rapat darurat, bikin pagar manusia sebelum pagar beton datang.”

Penulis mengangguk dan membatin, “tulisan takkan menghalau ekskavator, tapi mungkin bisa jadi batu kecil di sepatu pemodal”. Saat menyalakan mesin kendaraan, penulis sempat melirik spanduk terakhir yang tertiup setengah robek, LAUT UNTUK RAKYAT-DETAIL NANTI DIBAHAS.

(SiBu Bayan)

Cerita selanjutnya: Wisanggeni Gugat, Pandawa Kecanduan Judol



No comments:

Post a Comment