Dongen Sibu Bayan #037
Rawabendo adalah desa kecil di kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi. Gerbang Taman Nasional Alas Purwo. Sejak jaman penjajahan Belanda sudah menjadi Cagar Alam, sampai kemudian diteruskan pemerintah Republik Indonesia menjadi Taman Nasional hingga saat ini. Tempat ini menyimpan berbagai kisah, yang bahkan diselimuti mitologi. Namun, tulisan ini tidak akan mengisahkan tentang kisah-kisah Alas Purwo, melainkan kisah yang dicatat penulis di penginapan tua desa Rawabendo. Penulis kembali bertemu dengan Wisanggeni. Tokoh yang sudah pernah bertemu di lereng Gunung Semeru. Tidak hanya Wisanggeni, Bagong dan Kyai Semar juga sudah siap di meja bundar. Ditemani singkong rebus, kopi pahit dan asap kretek kami ngobrol ngalor ngidul, kadang serius, kadang tertawa masam…ya begitulah. (baca juga: Wisanggeni Gugat, Pandawa Kecanduan Judol dan Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62)
“Saya baru tiba dari ibu kota Mas…., absurd sekali pemandangan demo disana…”
ujar Wisanggeni dengan nada satirnya.
“Di sana, jalanan tiba-tiba berubah jadi Kurusetra. Bukan debu pedang,
tapi asap bakar ban dan gas air mata. Bukan derap kuda perang, tapi deru motor
ojol yang parkir berderet seperti pasukan kavaleri.” Kata Wisanggeni kembali
“Panji-panji demo berkibar, toa teriak-teriak, gas air mata beterbangan,
semua persis kitab Mahabharata, hanya kostumnya diganti jaket almamater, helm
riot, dan kamera wartawan.
Tapi yang bikin aku ketawa kecut bukan itu. Ini bukan soal benar salah.
Mereka cuma ganti bendera, ganti jargon, ganti sponsor. Isinya tetap rebutan
kursi, rebutan gelar, rebutan siapa yang bisa selfie bareng rakyat paling lama
tanpa keringatan.
Menjelang senja, aku lihat para “prajurit muda” berguguran. Ada yang
pingsan kena gas, ada yang diangkut ambulans, ada juga yang sibuk live di media
sosial, berharap dapat like sebanyak mungkin. Jalan penuh sampah pamflet, botol
kosong, dan sandal jepit hilang sebelah, warisan klasik setiap palagan.
Bagong yang dari tadi sibuk bikin poster karton bertuliskan “Tunjangan
rumah Rp 50 Juta? Sini aku ikutan tidur di kursi empuk!” langsung nyeletuk,
“Lha aku jadi siapa, Kyai? Prajurit yang gugur duluan?”
“Begini, Gong,” kata Kyai Semar sambil nyulut rokok kreteknya.
“Ini bukan demo, ini Bharatayudha edisi reborn. Bedanya, yang main
bukan cuma para juragan kursi empuk di gedung kura-kura. Ada bayangan raja
uzur yang belum rela turun tahta, ada pasukan loreng penjaga palagan yang suka
nyelonong ke tengah arena, ada penjaga lalu lintas kebenaran yang sibuk tiup
peluit sambil nyari setoran, plus para saudagar kencana yang ngatur naskah dari
balik layar dan ruang rapat ber-AC.
Pandawa sama Kurawa? Heh, sama saja. Dua-duanya rebutan panggung,
rebutan gelar ‘yang mulia’. Rakyat kecil? Ya tetap jadi figuran, prajurit kelas
kambing, yang kalau gugur cuma dicatat di pinggir koran, bukan di kitab
sejarah.”
“Jelas. Di Bharatayudha, yang mati duluan itu prajurit rendahan. Yang
demo, kelindes kendaraan taktis ya ojol, buruh, mahasiswa. Senapati agung? Lagi
rapat anggaran, Gong.”
Wisanggeni menambahkan “Seketika sirine meraung-raung, seperti gendang
perang tapi fals nadanya, bikin rakyat malah pengin tutup kuping. Aparat maju
seperti pasukan gajah Hastinapura. Air mata rakyat bercampur gas air mata. Dari
toa gedung kura-kura terdengar suara resmi: “Kami mendengar aspirasi Anda.
Tapi tolong jangan bakar pagar!”
Bagong ngakak, “Lho, kok sama dengan lakon wayang, Kyai! Di
Bharatayudha, pagi-pagi sudah ada yang mati, namun Bisma masih dengan anggun
duduk di kereta perangnya. Para senapati masih rapat-rapat dan tidur di ruang ber-
AC, rakyat jadi tumbal!”
“Betul Gong…” kata Wisanggeni. “Aku ketemu Gatotkaca di atas langit.
Gatotkaca menoleh heran dari angkasa, “Lha kok aku belum dijadwal gugur? Biasanya
lakon paling heboh adalah saat aku yang dikorbankan!”
“Ya aku samperin si Gatotkaca, tenang…. Ini masih geger awal.
Baru hari pertama. Yang mati duluan prajurit lapis bawah. Kamu simpen energi,
gugurmu besok lusa, pas trending topic.”
Wisanggeni mensruput kopi pahitnya…., kemudian dia melanjutkan
“Kini gelanggangnya jalanan kota dan kurusetra berubah jadi aspal
berdebu. Spanduk warna-warni berkibar seperti panji-panji perang. Pedagang kaki
lima berderet mirip logistik bala tentara, menyiapkan gorengan, kopi sachet,
dan air mineral yang jadi bekal prajurit sehari-hari.
Toa berbunyi keras, persis terompet sangkakala, memanggil barisan untuk maju.
Asap flare bercampur dengan debu jalanan, membuat suasana seperti kabut tipis
di tengah palagan.
“Dan geger ini baru pemanasan, Mas Penulis. Besok masih ada babak baru, dengan lakon-lakon lain yang lebih aneh: janji manis yang basi, kursi-kursi yang makin lengket, sampai tumbal-tumbal baru yang akan ditulis dengan huruf kecil di pinggir berita.
Di barisan depan, mahasiswa berjaket almamater berdiri tegak, bukan
dengan busur atau gada, tapi dengan karton bertuliskan tuntutan. Di sisi lain,
barisan tameng berkilat, lengkap dengan helm dan pentungan, siap maju mundur
seperti resimen Kurawa. Teriakan “Hidup rakyat!” bersahut-sahutan, bagai
gemuruh gendang perang.”
Mendengar ini, Kyai semar hanya geleng-geleng.
“ya begitulah mas Penulis. Bharatayudha itu memang abadi. Hanya ganti
kostum, ganti lokasi, ganti sponsor. Tapi lakonnya tetap sama: yang jatuh
korban ya rakyat jelata. Yang ketiban berkah? Tentu saja para dewa palsu di
balik layar.”
Wisanggeni melanjutkan kisahnya….
“Menjelang senja, palagan mulai bubar. Para prajurit mahasiswa mundur,
sebagian terhuyung kena gas air mata. Ambulans lewat, mengangkut tubuh yang
pingsan, entah karena sesak napas atau karena terlalu kenyang gorengan lima
ribuan. Jalan penuh sampah pamflet dan sisa air mineral botol, seperti ladang
perang penuh perisai patah dan kereta kuda terbalik.
Lalu muncul drama wajib, di layar kaca, para elit politik tampil dengan
wajah duka.
Ada yang bilang, “Kami prihatin.”
Ada yang menambahkan, “Kami akan evaluasi.”
Ada pula yang lihai berjanji, “Besok akan dibentuk tim investigasi…kami
dengar suara rakyat…”
Kami semua tersenyum kecut. Karena kami tahu, tim investigasi itu cuma
semacam kotak amal kosong di depan warung: ramai-ramai diisi janji, tapi
hasilnya entah masuk ke mana.
Bagong hanya menepuk jidat. “Halah…. Itu mah bukan tim investigasi,
tapi tim ilusi. Fungsinya cuma satu, bikin rakyat percaya besok akan ada
perubahan. Padahal lakonnya ya tetap, Bharatayudha akan berlanjut sampai entah
kapan, sampai semua prajurit habis, sementara kursi-kursi di atas sana tetap
utuh.”
Bagong menatap jalanan yang sepi, lalu nyeletuk, “Jadi, Ki Semar….ini
perang atau sandiwara?”
Kyai Semar mengembuskan asap rokok ke langit yang mulai merah, “Bedanya
tipis, Gong. Sandiwara lebih jujur, soalnya penontonnya tahu itu pura-pura.”
Wisanggeni nyeletuk, “Dan negeri ini sialnya kebanyakan suka nonton
sinetron, jadi betah-betah aja dibodohi.”
Wisanggeni menatap jauh ke arah barat, ke langit yang mulai gelap, lalu
berkata pelan,
"Palagan Kurusetra belum selesai. Geger awal ini cuma mukadimah. Kisah
lain akan segera datang, lebih ramai, lebih absurd, lebih bikin kita tertawa
getir.”
Penulis, Bagong, dan Kyai Semar terdiam sejenak. Asap kretek masih melayang
di udara, bercampur dengan aroma singkong rebus yang mulai dingin.
Di luar, malam Rawabendo turun perlahan. Hening, tapi seakan menyimpan
janji bahwa besok akan ada lagi cerita baru dari palagan yang tak pernah usai.
(Sibu Bayan)