Palagan Kurusetra: Geger Awal

 Dongen Sibu Bayan #037

Rawabendo adalah desa kecil di kecamatan Tegaldlimo, Banyuwangi. Gerbang Taman Nasional Alas Purwo. Sejak jaman penjajahan Belanda sudah menjadi Cagar Alam, sampai kemudian diteruskan pemerintah Republik Indonesia menjadi Taman Nasional hingga saat ini. Tempat ini menyimpan berbagai kisah, yang bahkan diselimuti mitologi. Namun, tulisan ini tidak akan mengisahkan tentang kisah-kisah Alas Purwo, melainkan kisah yang dicatat penulis di penginapan tua desa Rawabendo. Penulis kembali bertemu dengan Wisanggeni. Tokoh yang sudah pernah bertemu di lereng Gunung Semeru. Tidak hanya Wisanggeni, Bagong dan Kyai Semar juga sudah siap di meja bundar. Ditemani singkong rebus, kopi pahit dan asap kretek kami ngobrol ngalor ngidul, kadang serius, kadang tertawa masam…ya begitulah. (baca juga: Wisanggeni Gugat, Pandawa Kecanduan Judol dan Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62)

“Saya baru tiba dari ibu kota Mas…., absurd sekali pemandangan demo disana…” ujar Wisanggeni dengan nada satirnya.

“Di sana, jalanan tiba-tiba berubah jadi Kurusetra. Bukan debu pedang, tapi asap bakar ban dan gas air mata. Bukan derap kuda perang, tapi deru motor ojol yang parkir berderet seperti pasukan kavaleri.” Kata Wisanggeni kembali

“Panji-panji demo berkibar, toa teriak-teriak, gas air mata beterbangan, semua persis kitab Mahabharata, hanya kostumnya diganti jaket almamater, helm riot, dan kamera wartawan.

Tapi yang bikin aku ketawa kecut bukan itu. Ini bukan soal benar salah. Mereka cuma ganti bendera, ganti jargon, ganti sponsor. Isinya tetap rebutan kursi, rebutan gelar, rebutan siapa yang bisa selfie bareng rakyat paling lama tanpa keringatan.

Menjelang senja, aku lihat para “prajurit muda” berguguran. Ada yang pingsan kena gas, ada yang diangkut ambulans, ada juga yang sibuk live di media sosial, berharap dapat like sebanyak mungkin. Jalan penuh sampah pamflet, botol kosong, dan sandal jepit hilang sebelah, warisan klasik setiap palagan.

Bagong yang dari tadi sibuk bikin poster karton bertuliskan “Tunjangan rumah Rp 50 Juta? Sini aku ikutan tidur di kursi empuk!” langsung nyeletuk, “Lha aku jadi siapa, Kyai? Prajurit yang gugur duluan?”

“Begini, Gong,” kata Kyai Semar sambil nyulut rokok kreteknya.

“Ini bukan demo, ini Bharatayudha edisi reborn. Bedanya, yang main bukan cuma para juragan kursi empuk di gedung kura-kura. Ada bayangan raja uzur yang belum rela turun tahta, ada pasukan loreng penjaga palagan yang suka nyelonong ke tengah arena, ada penjaga lalu lintas kebenaran yang sibuk tiup peluit sambil nyari setoran, plus para saudagar kencana yang ngatur naskah dari balik layar dan ruang rapat ber-AC.

Pandawa sama Kurawa? Heh, sama saja. Dua-duanya rebutan panggung, rebutan gelar ‘yang mulia’. Rakyat kecil? Ya tetap jadi figuran, prajurit kelas kambing, yang kalau gugur cuma dicatat di pinggir koran, bukan di kitab sejarah.”

“Jelas. Di Bharatayudha, yang mati duluan itu prajurit rendahan. Yang demo, kelindes kendaraan taktis ya ojol, buruh, mahasiswa. Senapati agung? Lagi rapat anggaran, Gong.”

Wisanggeni menambahkan “Seketika sirine meraung-raung, seperti gendang perang tapi fals nadanya, bikin rakyat malah pengin tutup kuping. Aparat maju seperti pasukan gajah Hastinapura. Air mata rakyat bercampur gas air mata. Dari toa gedung kura-kura terdengar suara resmi: “Kami mendengar aspirasi Anda. Tapi tolong jangan bakar pagar!”

Bagong ngakak, “Lho, kok sama dengan lakon wayang, Kyai! Di Bharatayudha, pagi-pagi sudah ada yang mati, namun Bisma masih dengan anggun duduk di kereta perangnya. Para senapati masih rapat-rapat dan tidur di ruang ber- AC, rakyat jadi tumbal!”

“Betul Gong…” kata Wisanggeni. “Aku ketemu Gatotkaca di atas langit. Gatotkaca menoleh heran dari angkasa, “Lha kok aku belum dijadwal gugur? Biasanya lakon paling heboh adalah saat aku yang dikorbankan!”

“Ya aku samperin si Gatotkaca, tenang…. Ini masih geger awal. Baru hari pertama. Yang mati duluan prajurit lapis bawah. Kamu simpen energi, gugurmu besok lusa, pas trending topic.”

Wisanggeni mensruput kopi pahitnya…., kemudian dia melanjutkan

“Kini gelanggangnya jalanan kota dan kurusetra berubah jadi aspal berdebu. Spanduk warna-warni berkibar seperti panji-panji perang. Pedagang kaki lima berderet mirip logistik bala tentara, menyiapkan gorengan, kopi sachet, dan air mineral yang jadi bekal prajurit sehari-hari.

Toa berbunyi keras, persis terompet sangkakala, memanggil barisan untuk maju. Asap flare bercampur dengan debu jalanan, membuat suasana seperti kabut tipis di tengah palagan.

“Dan geger ini baru pemanasan, Mas Penulis. Besok masih ada babak baru, dengan lakon-lakon lain yang lebih aneh: janji manis yang basi, kursi-kursi yang makin lengket, sampai tumbal-tumbal baru yang akan ditulis dengan huruf kecil di pinggir berita.

Di barisan depan, mahasiswa berjaket almamater berdiri tegak, bukan dengan busur atau gada, tapi dengan karton bertuliskan tuntutan. Di sisi lain, barisan tameng berkilat, lengkap dengan helm dan pentungan, siap maju mundur seperti resimen Kurawa. Teriakan “Hidup rakyat!” bersahut-sahutan, bagai gemuruh gendang perang.”

Mendengar ini, Kyai semar hanya geleng-geleng.

“ya begitulah mas Penulis. Bharatayudha itu memang abadi. Hanya ganti kostum, ganti lokasi, ganti sponsor. Tapi lakonnya tetap sama: yang jatuh korban ya rakyat jelata. Yang ketiban berkah? Tentu saja para dewa palsu di balik layar.”

Wisanggeni melanjutkan kisahnya….

“Menjelang senja, palagan mulai bubar. Para prajurit mahasiswa mundur, sebagian terhuyung kena gas air mata. Ambulans lewat, mengangkut tubuh yang pingsan, entah karena sesak napas atau karena terlalu kenyang gorengan lima ribuan. Jalan penuh sampah pamflet dan sisa air mineral botol, seperti ladang perang penuh perisai patah dan kereta kuda terbalik.

Lalu muncul drama wajib, di layar kaca, para elit politik tampil dengan wajah duka.

Ada yang bilang, “Kami prihatin.”

Ada yang menambahkan, “Kami akan evaluasi.”

Ada pula yang lihai berjanji, “Besok akan dibentuk tim investigasi…kami dengar suara rakyat…”

Kami semua tersenyum kecut. Karena kami tahu, tim investigasi itu cuma semacam kotak amal kosong di depan warung: ramai-ramai diisi janji, tapi hasilnya entah masuk ke mana.

Bagong hanya menepuk jidat. “Halah…. Itu mah bukan tim investigasi, tapi tim ilusi. Fungsinya cuma satu, bikin rakyat percaya besok akan ada perubahan. Padahal lakonnya ya tetap, Bharatayudha akan berlanjut sampai entah kapan, sampai semua prajurit habis, sementara kursi-kursi di atas sana tetap utuh.”

Bagong menatap jalanan yang sepi, lalu nyeletuk, “Jadi, Ki Semar….ini perang atau sandiwara?”

Kyai Semar mengembuskan asap rokok ke langit yang mulai merah, “Bedanya tipis, Gong. Sandiwara lebih jujur, soalnya penontonnya tahu itu pura-pura.”

Wisanggeni nyeletuk, “Dan negeri ini sialnya kebanyakan suka nonton sinetron, jadi betah-betah aja dibodohi.”

Wisanggeni menatap jauh ke arah barat, ke langit yang mulai gelap, lalu berkata pelan,

"Palagan Kurusetra belum selesai. Geger awal ini cuma mukadimah. Kisah lain akan segera datang, lebih ramai, lebih absurd, lebih bikin kita tertawa getir.”

Penulis, Bagong, dan Kyai Semar terdiam sejenak. Asap kretek masih melayang di udara, bercampur dengan aroma singkong rebus yang mulai dingin.

Di luar, malam Rawabendo turun perlahan. Hening, tapi seakan menyimpan janji bahwa besok akan ada lagi cerita baru dari palagan yang tak pernah usai.

(Sibu Bayan)



Udyoga Parwa: Tanah untuk Siapa ?

Dongeng Sibu Bayan #36

(Diceritakan oleh Kyai Sanjaya di Curah Jati, Banyuwangi kepada Penulis. Lakon ini adalah prolog perang Baratayudha)

(Sanjaya)

Perjalanan penulis sudah mulai dekat dengan Alas Purwo. Penulis merasakan angin malam dari arah Alas Purwo yang bercampur dengan aroma kopi robusta. Malam itu, di beranda sebuah rumah kayu yang jadi kedai kopi di Curah Jati, penulis mendengarkan kisah dari orang tua bernama Kyai Sanjaya, yang saat ini menjadi barista. Dulu, di jaman pewayangan beliau adalah mata bagi Destarata yang buta, ayah para kesatria Kurawa. Beliau adalah murid terkasih Begawan Abiyasa dan bukan keturunan bangsawan Kuru atau Bharata.

Sanjaya duduk bersila di depan penulis, matanya tajam, suara beratnya serupa gemuruh yang diserap tanah. “Nak Penulis,” ucapnya lirih, “orang-orang selalu bilang aku hanya tukang catat. Tapi ingatlah, mencatat juga berarti ikut menanggung luka. Aku pernah melihat sendiri bagaimana darah dan tanah jadi rebutan, dari Kurawa sampai Pandawa. Dan kini, entah kenapa, kisah itu hidup lagi di tanahmu.”

“Begini, Nak Penulis,” katanya pelan, “Perundingan sebelum Perang Bharatayudha itu bukan sekadar kisah diplomasi. Itu soal tanah, kekuasaan, dan siapa yang boleh hidup di atas bumi. Sama seperti di negeri ini, tanah untuk rakyat katanya, tapi yang kenyang selalu para raja dan kesatria.”

Sabha Agung Jana Nagari

Dongeng Sibu Bayan #035
(Diceritakan oleh Baladewa pada Penulis di tepi Alas Gumitir)

(Baladewa)

Perbincangan di Curah Damar makin gayeng setelah kedatangan Baladewa. Dia adalah kakak dari Krisna, tindak tanduknya tegas tanpa basa-basi.

“Gong, bikin kopi ya…yang kental, gulanya seujung sendok saja!”

Tiba-tiba saja ia langsung minta Bagong bikin kopi

Bagong bengong sebentar, lalu nyeletuk, “Wah, sampeyan ini kayak pejabat lagi sidak, langsung minta kopi tanpa tanya tuan rumah. Oke siap, Kangmas! Tapi hati-hati, kalau kopinya kemanisan, jangan-jangan nanti dianggap gratifikasi.”

Tawa kecil terdengar, tapi Baladewa tetap serius. Ia menatap Penulis sambil berujar lantang:

“Oh…ini si Penulis yang diceritakan adikku Krisna. Sedang gosip apa sama Ekalaya?”

“Ngopi dulu kangmas Baladewa,” sela Ekalaya menenangkan, “ini sedang cerita-cerita ngalor ngidul menjelang geger Baratayudha dulu. Rakyat makin bingung, penguasa makin lihai bikin aturan. Semua katanya demi ketertiban. Tapi kok yang tertib justru cuma isi pidato, bukan isi perut.” (baca juga: Lelagon Sesaji Rajasuya: Jebakan Pajak Rakyat)

Baladewa mengangguk pendek. “Adikku Krisna sering bilang, kadang yang manis di mulut penguasa justru pahit di hati rakyat.”

Lelagon Sesaji Rajasuya: Jebakan Pajak Rakyat

 Dongeng Sibu Bayan #034 (Diceritakan oleh Ekalaya pada penulis di tepi Alas Gumitir")

(Ekalaya)

Curah Damar, gerbang sunyi di perbatasan Banyuwangi, di tepian Alas Gumitir. Kabut turun seperti tirai, menutupi jejak-jejak kisah lama yang bercampur antara sejarah dan mitologi. Tapi tulisan ini  tidak mengisahkan legenda Alas Gumitir. Kisah ini lahir dari bibir seorang lelaki sederhana yang dijumpai penulis di warung kopi: Ekalaya. Bukan bangsawan, bukan Pandawa, bukan pula Kurawa. Lahir di hutan Nishada, jauh dari hiruk pikuk istana, kejujuran, kecerdasan dan kesaktiannya pernah membuat para ksatria biru Pandawa dan Kurawa pucat pasi. Dari hutan ia datang, ke hutan ia kembali, dan kini ia berdiam di tepian Gumitir, menyeruput kopi pekat Curah Damar.

Di sela embusan asap kopi dan aroma kretek, ia menuturkan sebuah cerita, kisah getir ketika para elit memelintir kepercayaan rakyat, menunggu krisis meledak demi agenda mereka sendiri. “Rajasuya,” kata Ekalaya pelan, “bukan sekadar upacara suci. Ia pernah menjadi jebakan pajak rakyat.”

Srikandi Mbarang Jantur: Antara Cinta dan Asuransi Iklim Tani

 Dongeng Sibu Bayan #033

(Srikandi dan Arjuna)

Di bawah teduh pohon asam di jalan antara Tanggul–Semboro, penulis masih terdiam merenungkan cerita absurd Srikandi tentang penyamaran Pandawa. “Kok bisa ya… terbongkar cuma gara-gara pupuk palsu,” batin penulis. Memang nasib petani selalu jadi barang taruhan, bahkan di jagad pewayangan. (baca: Pandawa Tepa Kutha: Pupuk Palsu dan Panen Pupus di Negeri Wiratha)

“Mbok… katanya tadi mau cerita kisah cinta dengan Arjuna,” tiba-tiba Bagong memecah kebekuan obrolan.

Srikandi menarik napas, senyumnya tipis, seolah menertawakan luka sendiri. “Iya, Gong… cinta juga kadang seabsurd panen yang gagal gara-gara data palsu. Dengar saja…”

Pagi itu, di negerinya Srikandi, Campala, langit masih malu-malu, dan kabut tipis menyembunyikan retak lumpur di tepi jantur, saluran air tradisional yang dulu mengalirkan harapan dari sumber ke petak sawah, kini hanya menyalurkan endapan lumpur dan janji-janji tak sampai. Di sana, Arjuna datang bukan membawa panah sakti, melainkan map tebal berlogo program perlindungan petani berbasis iklim: asuransi yang katanya sakti mandraguna, cukup ditebus premi murah, sawah konon jadi kebal bencana. Rombongan Arjuna tampak konyol dan meriah: Bagong menyeret tripod, Bilung sibuk siaran live dengan ponsel retak, dan Togog bergumam menghafal jargon subsidi. “Dik Srikandi,” kata Arjuna, suaranya serak tapi tetap merdu, “sekarang petani tak perlu takut gagal panen. Premi murah, klaim cepat. Kalau sawahmu kena banjir, kering, atau wereng, langsung cair enam juta per hektar!”

Pandawa Tepa Kutha: Pupuk Palsu dan Panen Pupus di Negeri Wiratha

 Dongeng Sibu Bayan #032

(mbok Srikandi)

Sampailah penulis di Tanggul, nama kota kecil di sebelah Barat Jember. Kota ini mengingatkan penulis pada kuliah sosiologi pedesaan saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi pertanian terbesar di negeri +62. Kisah Tanggul - Semboro bukan hanya penting dalam sejarah irigasi dan pertanian Jember, tapi juga jadi cermin bagaimana kolonialisme memanfaatkan tanah subur dan keringat rakyat untuk menciptakan mesin pangan yang mengubah struktur sosial, jejaknya masih membekas hingga kini, meski jarang masuk buku pelajaran. Namun tulisan ini bukan hendak bercerita tentang masa lalu itu, melainkan tentang sebuah siang yang terik, di tepi jalan raya yang membelah persawahan yang sedang musim panen, ketika penulis tak sengaja bertemu dengan seorang emak-emak hebat operator combine harvester, yang ternyata bukan orang sembarangan, Srikandi, istri Arjuna.

Bambang Irawan, Footnote Jurnal Scopus Prof. Arjuna

 Dongeng Sibu Bayan (#031)

(ditulis atas ide sahabat penulis, Choirul Muna yang sehari-hari menjadi tempat curhat petani)

(Bambang Irawan)

Setelah ngobrol semalaman dengan Togog dan Bilung tentang Pandawa Dadu hingga Kresna yang ditolak Hastina, penulis disarankan untuk mengunjungi desa Tancak di lereng Gunung Argopuro. “Kalau mau tahu kenapa Pandawa sekarang sibuk bikin webinar dan bukan menanam padi, ke sanalah,” kata Bilung sambil menghembuskan asap rokok. Togog hanya mengangguk dengan senyum penuh misteri. “Kamu akan menemui realita Pandawa yang selama ini dianggap golongan putih,” katanya, seolah Pandawa adalah spesies langka yang butuh klarifikasi. (baca: Dadu Pangan, Werkudoro Muntab dan Petani Ter'Nerf' dan Food Estate Hastina Menolak Kresna dan Rakyat)

“Kalau kamu beruntung,” kata Togog sambil ngupil, “kamu bisa melihat petani yang lahir dari footnote jurnal scopus.”

“Kalau kamu apes,” timpal Bilung, “dia bisa nyangka kamu mau wawancara buat akreditasi kampus.”

Food Estate Hastina Menolak Kresna dan Rakyat

Dongeng Sibu Bayan #030

(Di ceritakan oleh Togog, mantan content creator Istana Hastina dengan ide dari sahabat penulis dan petani, Mas Nanta)

(Duryudana dan Kresna)

Setelah kejadian Pandawa Dadu yang viral itu, Amarta kacau balau. Negeri yang dulunya penuh prestasi, dari sawah subur sampai konten panen beras di TikTok, mendadak sepi, seperti akun medsos abis diblacklist. Gosipnya, Pandawa cerai-berai, mirip boyband bubar kontrak. Puntodewo katanya kabur ke gunung, Bima mencari air suci, Arjuna? Nggak jelas, terakhir kelihatan endorse pestisida di reels. Nakula dan Sadewa juga entah kemana. (baca: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62)

Para dewa di Kahyangan juga panik. Batara Guru yang dulu yakin banget skenario bakal sukses besar, sekarang cuma bisa ndelosor sambil ngopi, nyalahin skrip. “Salahnya Puntodewo ini lho, disuruh akal sehat malah milih harga diri,” gumamnya.

Kresna? Dewa satu itu sekarang pengangguran. Versi Togog sih, dia udah apply ke banyak tempat dan buka jasa konsultan spiritual untuk proyek-proyek yang katanya “berbasis ketahanan.” Terakhir, dia nekat daftar ke Hastina. “Kalau aku bisa bikin Amarta maju, masa Hastina nggak bisa? Tinggal upgrade dikit, seperti update software,” kata Kresna dengan pede.

Dadu Pangan, Werkudoro Muntab dan Petani Ter'Nerf'

(Diceritakan oleh Togog dan Bilung, berdasarkan kisah yang dituturkan kepada Penulis)
Dongeng Sibu Bayan (#029)

(Werkudoro, Togog dan Bilung)

Pagi itu, sebelum menuju Jember, penulis singgah sebentar di warung kopi dekat Jembatan Bondoyudo, Lumajang. Warung tua beratap seng, bau seduhan robusta, dan suara gemeretak truk pasir di kejauhan. Di sanalah aku bertemu dua sosok yang tampaknya bukan orang biasa, seorang tua bertubuh tambun, botak dan bermulut lebar, yang sibuk meniup kopi dan seorang lelaki kerempeng yang memakai jaket bertuliskan "Tim Kreatif Pangan Berkelanjutan". Mereka memperkenalkan diri sebagai Togog dan Bilung.

"Kami baru saja diusir dari Gedung Lumbung," kata Togog sambil menatap kosong ke arah aliran sungai. "Duryudana bilang kami tidak netral. Padahal yang kami lakukan cuma siaran langsung dari sisi petani."

"Kami bukan provokator, Mas," tambah Bilung. "Cuma kebetulan tahu cara pakai aplikasi editing data."

Mereka menawarkanku cerita, bukan sekadar kelakar dua tokoh Punokawan, tapi kesaksian dari pinggiran rapat dan luar layar proyektor. Dari sudut pandang Togog dan Bilung, inilah kisah Pandawa Dadu versi rakyat biasa, bagaimana ladang diubah jadi layar data, dan petani dijadikan latar panggung kekuasaan. (baca juga: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62)

Memoar Penyesalan Puntodewo, Jalan Tol Menuju Karma

 Dongeng Sibu Bayan (#028)

(Puntodewo/Yudhistira)

“Puntodewo datang kemari seorang diri, matanya sembab, namun tak ada lagi air mata,” kata Cak Sigit. “Penyesalan sangat terlihat dari wajah dan seluruh gestur tubuhnya, bahkan kopi yang aku hidangkan sama sekali tidak disentuh, dia sama sekali tidak berbicara semenjak datang,” lanjut Cak Sigit, lelaki tambun asal Madura, sahabat Penulis yang tinggal di Lumajang. “Dari pagi sampai menjelang malam, dia hanya duduk termenung di kursi jati tua itu, sebelum akhirnya sedikit curhat sebelum pamit entah kemana.” (baca: Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62

Penulis cukup terkejut dengan fakta yang disampaikan Cak Sigit. Rupanya yang bisa terjebak di dunia pewayangan bukan hanya penulis. Namun keterkejutan ini belum seberapa dibanding saat mendengar Gareng tiba-tiba muncul dari balik dapur membawa ketela goreng dan seikat daun kelor.

Pandawa Dadu, Panggung Negeri +62

 Dongeng Sibu Bayan (#027)

(Pandawa)

Setelah bertemu dengan Wisanggeni, kini penulis sedikit dapat mengerti mengapa Pandawa sampai terjebak pada peristiwa dadu yang mempermalukan seluruh generasi Pandawa. Pedalangan wayang versi Jawa menampilkan peristiwa ini dengan judul ‘Pandawa Dadu’. Lakon yang mengkisahkan kekalahan telak Pandawa dari Kurawa, sehingga mereka harus hidup dalam pengasingan selama 13 tahun. Pandawa kehilangan segalanya.

Versi India maupun versi Jawa sama-sama menceritakan Raja Amarta, Sulung Pendawa, yaitu Puntodewa yang diajak bermain dadu oleh putra mahkota Hastina, Duryudana, atas undangan Prabu Drestarastra raja Hastina sekaligus ayah Duryudana. Pandawa dijebak oleh Sengkuni, paman Duryudana yang licik, yang menggunakan dadu curang. Dengan segala kenaifannya, Puntodewo mempertaruhkan kerajaannya, saudara-saudaranya, dirinya sendiri, bahkan Dewi Drupadi, istrinya. Semua berakhir dengan tragis.

Apakah benar demikian? Cerita Wisanggeni dan kisah yang penulis dapatkan saat di Lumajang sedinkit banyak dapat menguak tabir-tabir lain dalam kisah itu.

Ya, Penulis tiba di Kota Lumajang, nama yang tercatat di Prasasti Mula Malurung (1255 M) sebagai wilayah penting Singhasari; markas Patih Nambi saat membangkang Majapahit (1316 M); dan kelak jadi ladang transmigrasi Madura‑Mataram era kolonial. Sejarahnya tebal, jalan rayanya tipis.

Baru melintasi gerbang barat, ponsel bergetar, “Sy tgu di wrg pecel telo Mbok Waginah, ada yg blm kami ceritakan (Sengkuni dan rekan).” Pesan WA dari nomor +62xxx, aneh.

Wisanggeni Gugat, Pandawa Kecanduan Judol

 Dongeng Sibu Bayan (#026)

catatan penulis: Kisah ini adalah pengantar ke permainan dadu legendaris Pandawa vs Kurawa

(Wisanggeni bin Arjuna)

Penulis akhirnya sampai di Pronojiwo, tempat yang oleh Google Maps disebut “perbatasan Kabupaten Malang dan Lumajang”, tapi oleh warga disebut “ya situ-situ aja, mas.” Lereng Selatan Semeru menyambut dengan jalanan berkelok seperti logika pejabat saat debat publik: penuh belokan, kadang longsor.

Di sinilah lahar dari Semeru memilih jalannya, mulai dari Curah Kobokan, Sumberwuluh, hingga entah ke mana, mungkin langsung masuk ke kantor kementerian yang katanya peduli bencana tapi anggarannya lebih cocok untuk seminar di hotel. Tanah ini bukan sekadar geologi; ia adalah kisah cinta antara air dan api yang tidak pernah disetujui oleh mertua.

Pronojiwo yang berarti “penglihatan jiwa” adalah nama yang terlalu puitis untuk desa yang sinyal internetnya sekuat janji kampanye. Tapi di balik kabut tipis dan pohon kopi yang menggoda, tempat ini seolah menyimpan rahasia: bahwa di negeri ini, bahkan gunung lebih jujur daripada tokoh agama.

Antasena Berseru, Laut Tidak Butuh Pagar

 Dongeng Sibu Bayan (#025)

(Antasena bin Werkudoro)

Penulis sudah sampai lagi di Jalur Lintas Selatan. Jalanan ini menyusur bibir pantai dari Balekambang sampai entah di mana, mungkin sampai ujung mimpi kebijakan pesisir. Berkendara sendirian memberi waktu untuk merenung, mengapa sepanjang perjalanan ini, dunia nyata dan dunia pewayangan terus bertabrakan kayak dua kapal tanpa radar? Penulis sempat berharap tak akan berjumpa lagi dengan tokoh-tokoh absurd dari dunia wayang. Tapi harapan itu kandas.

Di tikungan yang begitu dekat dengan ombak, penulis dihentikan sosok setengah baya berbaju proyek, lengkap dengan rompi dan topi merah menyala. Ia tengah mengatur posisi teodolit, siap membidik garis pantai, mungkin untuk mengukur masa depan. “Mas Penulis! Ketemu lagi!” teriaknya ceria. “Aku Werkudoro. Sekarang jadi mandor pemetaan pantai.” Penulis menepuk jidat. “Wayang lagi…Werkudoro?” (baca juga: Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga)

“Betul,” jawab Werkudoro, kini dipercantik ID card bertuliskan Project Supervisor – Coastal Mapping Division. “Apa kabar Mas….kini aku surveyor garis pantai. Biar laut punya KTP, Mas!”

Sembodro, Kesetiaan pada Ladang Tebu dan Arjuna

Dongeng Sibu Bayan (#024)

(Sembodro)

Penulis memutuskan untuk meninggalkan kota Kepanjen, setelah Abimanyu membatalkan pergi ke Kahyangan. Ia tampak kecewa, setelah dipermalukan oleh perselingkuhan bapaknya sendiri, Arjuna dengan Banowati. Namun kekecewaan paling menyakitkan adalah pat‑gulipat urusan pangan rakyat: dari data surplus palsu sampai harga gula yang lebih manis dari janji kampanye. (baca: Cinta Terlarang Arjuna & Banowati, Skandal di Mega Food Estate)

Penulis berpamitan dengan Abimanyu di jembatan Kali Brantas, Desa Kedung Pedaringan, batas antara Kepanjen dan Gondanglegi, antara brang kulon dan brang wetan, antara nasi rawon dan es tebu. Dari tanaman padi ke tanaman tebu, dari sawah ke manis-manisan yang bisa bikin diabetes dan hutang luar negeri.

Abimanyu tahu bahwa penulis akan melewati Desa Clumprit, Pagelaran. Ia menitipkan sasmita dan uang buat ibunya, Sembodro, yang katanya kini tinggal bareng menantunya, Dewi Uttari, putri Prabu Matsyapati, raja Kerajaan Wirata. Mereka tinggal bersama menunggu harga gula naik, atau setidaknya, menunggu giliran dibohongi distributor.

Sepanjang perjalanan dari Gondanglegi ke Clumprit, penulis menyaksikan saksi bisu kejayaan tebu di wilayah ini. Tergambar jelas era Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada masa kolonial, saat Gubernur Jenderal Van den Bosch tahun 1830-an, mewajibkan petani harus menanam tebu di lahannya dan menyerahkan hasilnya ke pemerintah kolonial dengan harga murah.

Karna, Dendam yang Dipupuk di Ladang Ibu

 Dongeng SiBu Bayan (#023)

(Adipati Karna)

Peristiwa di lahan Mega Food Estate Hastina masih menyisakan luka yang tak bisa diobati bahkan oleh pupuk subsidi sekalipun. Abimanyu, ksatria muda jebolan Sekolah Tinggi Irigasi dan Cinta, memilih istirahat sejenak. Konon katanya, dia sempat mengundurkan diri dari Kahyangan sementara waktu, konon katanya karena “burnout” akibat kebijakan pangan yang berubah tiap musim tanam.

Di sisi lain, Raja Duryudana mengalami krisis eksistensial. Hatinya porak-poranda seperti gudang logistik pangan pasca audit. Program swasembada pangannya yang digadang-gadang sejak debat calon raja kini berantakan gara-gara satu nama: Arjuna, lelaki licin berambut klimis, anak Betara Indra dan Ibu Kunti. Arjuna telah merebut segalanya, ladang cinta dan ladang padi sekaligus. (Baca: Cinta Terlarang Arjuna & Banowati, Skandal di Mega Food Estate)

Lebih menyakitkan lagi, bukan Arjuna yang datang menyerang. Tapi Banowati, istri sah Duryudana, yang tiba-tiba viral karena video mesranya dengan si pemanah itu tersebar lewat akun @BanowatiDaily. Begitupun dengan anaknya, Lesmana yang setengah ksatria.

Duryudana tetap lelaki normal. Meski di Mahabharata ia dicitrakan sebagai epicentrum kejahatan dan diktator manipulatif, ia tetap punya perasaan. Dendam? Sudah pasti. Sakit hati? Lebih perih dari disubsidi separuh tapi tetap rugi. Maka, setelah tiga hari tiga malam mengurung diri di kamar berlapis marmer dan spanduk “Menuju Hastina Mandiri Pangan 2030”, ia mengirim telegram rahasia ke tiga tokoh penting. Patih Sengkuni (ahli strategi & lulusan kursus singkat Deep State), Pandita Durna (guru spiritual sekaligus konsultan survei elektabilitas) dan Dursasana (kepala bidang keamanan, lingkungan, dan pengamanan atau Kapolhas).

Cinta Terlarang Arjuna & Banowati, Skandal di Mega Food Estate

 Dongeng Sibu Bayan (#022)

(Arjuna dan Banowati)

Malam ini, penulis memutuskan untuk menginap di Kepanjen. Penulis masih ditemani Bagong dan Abimanyu. Aroma kopi khas Wonosari Gunung Kawi dan tembakau srintil memenuhi kedai ‘Kopi Rakyat’ di pinggir jalan utama Kepanjen-Malang.

“Mas Penulis, besok kita ikut ngantar Den Abimanyu ke kahyangan. Sekalian nanti kita ke sawah percobaan milik ‘Mega Food Estate Hastina’. Ada Grand Launching Lumbung Pangan Negeri, proyek kebanggaan Raja Duryudana untuk membuat negeri ini swasembada sekaligus swasemawa,” ujar Bagong sambil mengunyah tempe krispi khas Kepanjen. (baca cerita sebelumnya: Abimanyu Bukan Pemimpin Muda +62)

Setengah berbisik Bagong menambahkan, “Di sana ada skandal yang lebih gurih dari rendang—kisah Arjuna, bapaknya Den Abi, dengan Raden Ayu Banowati, permaisuri Duryudana, raja Hastina.”

Abimanyu yang terlanjur mendengar bisikan Bagong hanya terkekeh. “Jangan harap objektivitas penuh. Kisah itu masih membuat hatiku uring-uringan. Bayangkan, ayahku sang kesatria idola justru dicurigai menjalin romansa terlarang dengan Banowati, permaisuri Kurawa”.

Abimanyu Bukan Pemimpin Muda +62

 Dongeng Sibu Bayan (#021)

(Abimanyu)

Mengapa Kepanjen? Pertanyaan ini masih terngiang-terngiang sejak keluar dari dunia pewayangan Wanamarta atau di dunia realitas adalah Kondang Merak. Alih-alih terus menyusuri jalus Selatan, penulis diminta Kyai Semar untuk menuju Kepanjen dulu, diantar Krisna dan Gatotkaca. Apakah pertemuan dengan Nakula, Sadewa, Betara Narada, Dewi Sri dan Bagong adalah jawabannya? (baca: Nakula dan Sadewa, Ahli Pertanian Magangdi Proyek Narasi)

Setelah kepergian para ksatria dan dewa kahyangan, penulis dengan ditemani Bagong menuju bengkel mobil untuk memeriksa kendaraan penulis setelah menempuh perjalanan jauh semenjak dari Bogor hingga Kepanjen. Di bengkel ini ada beberapa anak muda yang sibuk bekerja. Rupanya Bagong sangat mengenal bengkel mobil ini, “Apa kabar…Den Abi…, makin ramai saja bengkelnya. Bagaimana pesanan drone penyemprot sawah…?”, kata Bagong dengan lantang. Penulis merasa kikuk dan dalam hati bertanya, "Ini bengkel mobil atau…..?"

Nakula dan Sadewa, Ahli Pertanian Magang di Proyek Narasi

 Dongeng Sibu Bayan (#020)

(Nakula dan Sadewa)

Sampailah penulis di Kepanjen. Di dunia realitas, perjalanan dari Kondang Merak ke Kepanjen hanya sekitar 2 jam. Namun perjalanan ini melintasi dunia pewayangan: dari Kondang Merak yang jadi Wanamarta, hingga kisah Antareja di Sengguruh. Kepanjen saat ini adalah kota kecil yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Malang, berjarak sekitar 18 km dari kota Malang di sebelah Utara. Konon, Kepanjen dulunya tempat pendidikan para ksatria sejak era Mataram Kuno. Meski saat ini menjadi pusat pemerintahan kabupaten, namun keberadaan kota kecil ini tersamarkan oleh gemerlap kota Malang.

Setelah berpisah dengan Gatotkaca dan Kresna, penulis melanjutkan perjalanan memasuki kota Kepanjen dari selatan, mata langsung tertarik pada saluran irigasi yang dikenal dengan nama “Molek”. Airnya masih mengalir lancar, menyusuri jejak lumbung-lumbung padi dari Kepanjen ke Kromengan, terus ke Sumberpucung. Di tengah bayang-bayang kejayaan pertanian masa lalu itu, penulis kembali bertemu sosok yang sudah beberapa kali muncul di episode-episode sebelumnya, Bagong. Kali ini dia lagi ribut bukan main, dengan dua orang yang dulu penulis temui waktu masih muda di Wanamarta. Sekarang mereka sudah dewasa, Nakula dan Sadewa, kembar cerdas ahli pertanian dan irigasi, tapi hari itu tampangnya lebih mirip pegawai proyek.

Antareja Gugur, Ketika Surga Beraroma Nikel

 Dongeng Sibu Bayan (#019)

(Antareja)

Sampailah kami di Sengguruh, desa kecil berjarak 8 km dari kota Kepanjen. Setelah melewati jembatan Kali Brantas, kami berhenti sejenak di warung kecil yang menghadap ke Selatan. Nampak tebing-tebing bukit kapur telanjang di desa Gampingan yang baru kita lewati. Tiba-tiba Gatotkaca bergumam, “Aku jadi ingat adik tiriku, si Antaraja. Tadinya aku berpikir, kalau aku anak semata wayang bapak, rupanya bapak selain menikahi anak raksasa, ibuku, juga menikahi anak naga. Memang seleranya luar biasa, tidak kalah sama Paman Arjuna”.

Kemudian Gatotkaca berkisah tentang adik tirinya itu.

Gatotkaca, Dari Kawah Candradimuka ke Kampus Berdampak

 Dongeng SiBu Bayan (#018)

(Gatotkaca)

Penulis melirik kaca spion. Bayangan hutan Wanamarta semakin menjauh, tapi kelembutan desah angin dan aroma pepohonan masih terasa menguar di udara. Saat penulis masih asyik mengunyah cerita tentang pembangunan di Wanamarta, Krisna tiba-tiba berkata, “Mas Penulis, tahu nggak, kenapa Gatotkaca saya ajak ikut perjalanan ke Kepanjen? Supaya dia cerita tentang dirinya. Meski dia seperti atlet UFC yang siap bertarung kapan saja, dia sebenarnya sangat pemalu. Tapi ceritanya penting untuk epik Bharatayudha nanti.” Dengan senyum misterius yang bikin penasaran, Gatotkaca pun mulai membuka kisahnya.

“Dulu, setelah Pandawa membangun Amarta yang megah, lengkap dengan taman berkonsep smart farming dan jaringan irigasi otomatis, Bapakku Werkudoro merasa gelisah. Bukannya sombong, tapi rasanya hidupnya kok gitu-gitu aja. Maka dengan semangat yang lebih membara daripada sambal terasi di warung pinggir jalan, ia memutuskan berkelana ke negeri-negeri jauh untuk menegakkan keadilan dan belajar hal baru dan bonusnya..siapa tahu dapat istri seperti Paman Arjuna yang memang dari sononya sudah digemari para gadis dan emak-emak.

Wanamarta, Alegori Peradaban Pertanian +62

 Dongeng Sibu Bayan (#017)

(Krisna dan Gatotkaca)

Saat hendak berpamitan dari Wanamarta, Kyai Semar memanggil pria kurus setengah baya, hitam legam. Sekilas tampak biasa, bahkan lusuh. Namun saat berdiri di hadapan Kyai Semar, tubuhnya yang ringkih memancarkan keagungan yang sulit dijelaskan, seakan bumi sendiri mengakui kehadirannya. “Tolong antarkan Mas Penulis, ya,” kata Kyai Semar sambil ngelus perut buncitnya. Si Mas Hitam itu nggak ngomong sepatah kata pun. Langsung jalan. Penulis ikut saja, walau dalam hati nyeletuk, “Ini siapa, ya? Kok auranya kayak dosen filsafat yang abis puasa ngomong lima tahun.” (baca kisah sebelumnya: Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga)

Kami menyusuri hutan lewat jalur aneh yang kayaknya nggak ada di Google Maps. Penulis mulai mikir, ini jalan menuju mobil yang entah bagaimana kondisinya, karena parkir di tepi jalan lintas selatan yang membelah hutan lindung Kondang Merak. Tiba-tiba si Mas Hitam ngomong datar tapi nancep, “Santuy aja. Udah dikondisikan.” Lah?! Ini orang bisa baca pikiran?

Sampai di mobil, penulis deg-degan, tapi mobilnya masih utuh, bahkan jam di dashboard masih nunjukin waktu yang sama seperti saat ditinggal. Lebih absurd lagi, di sebelah mobil berdiri anak muda gagah, tegap, kumis tebal kayak iklan minyak cem-ceman.

“Nggih, Paman Krisna, mobilnya aman saya jagain,” katanya sambil senyum.
“Maturnuwun, Nak Gatot… Mas Penulis ini kudu lanjut perjalanan,” jawab si Mas Hitam.

Drupadi Terjebak Cinta dan Politik Keluarga

 Dongeng Sibu Bayan (#016)

(Drupadi)
Jam tangan penulis menunjukkan pukul 10 pagi, walau baterainya tinggal satu bar, jadi mari kita percaya saja. Penulis duduk bersila di pojok gubuk sederhana di tengah hutan Wanamarta, tempat yang katanya sudah di-booking sejak semalam oleh Gareng dan Bagong lewat aplikasi NginepHutan.com. Ajakan mereka untuk ikut menyertai Pandawa ke hutan ini benar-benar susah ditolak, apalagi katanya bakal ada makan siang gratis dan konflik keluarga yang bisa dijadikan bahan tulisan. Siapa bisa nolak?

Di depan gubuk sudah ada Kyai Semar yang nampak sedang menghangatkan wedang jahe, dan Petruk yang sibuk nyari sinyal. Tapi yang membuat hati penulis terusik adalah absennya sosok Ibu Kunti. Pemimpin keluarga Pandawa, sekaligus CEO Rumah Tangga Dharma Inc., yang biasanya jadi pusat segala keputusan. Beliau biasanya hadir dengan aura karisma dan kemampuan multitasking luar biasa, bisa masak sambil menetapkan nasib anak-anaknya.

Tak lama kemudian, kelima Pandawa masuk sambil membawa kabar kemenangan mereka di sayembara Prabu Drupada. Mereka ceria, membawa bunga dan harapan. Tapi, ya begitulah… ceria itu cuma bertahan seumur jagung rebus. Karena saat mereka serahkan “hadiah” ke ibunya, Ibu Kunti langsung ambil alih acara. Tanpa basa-basi, tanpa musyawarah mufakat, ia berkata dengan tenang, “Drupadi akan menjadi istri kalian bersama.” (baca juga: Sayembara Prabu Drupada dan Jobfair)

Sayembara Prabu Drupada dan Jobfair

 Dongeng Sibu Bayan (#015)

(Lima Pandawa)

Sampailah penulis di hutan lindung Kondang Merak yang dibelah jalur lintas Malang Selatan. Kawasan seluas sekitar 1.989 hektar ini jadi salah satu hutan pesisir alami tersisa di Malang Selatan. Ekosistemnya tempat tinggal berbagai satwa liar termasuk si Lutung Jawa yang dilindungi. Di sinilah, konon Merak bukan sekadar burung, tapi "admin alam semesta" yang tugasnya menjaga perbatasan dua dunia: realita dan dongeng, atau dalam istilah kekinian: multiverse antara hidup ideal dan hidup ngutang. Burung merak itu konon punya kekuatan magis, bisa bawa hoki atau malah bikin sial, tergantung niat manusia.

Hari sudah mulai gelap, sekitar jam enam sore, saat angin laut mulai mendinginkan udara dan suara jangkrik bergema di antara dedaunan. Dari balik pepohonan yang rimbun dan daun-daun yang lagi asik ditiup angin, terdengar langkah kaki mantap tapi nyempil kayak ninja. Ada tujuh lelaki dan satu cewek. Penulis langsung ngeh dua di antaranya, itu Gareng sama Bagong. Sisanya? Misteri bro!

Jalan Pulang dari Karangdempel (Rahasia Pandawa)

 Dongen Sibu Bayan (#012)

(Kyai Semar)

Kokok ayam jantan membangunkan penulis dari tidurnya. Dari jalanan di depan joglo Kyai Semar, terdengar senda gurau petani Karangdempel yang bersiap ke ladang dan sawah.

"Hari ini pupuk subsidi nggak jadi datang lagi… ban pick-up-nya meletus di tengah jalan, nunggu ban dari kota butuh waktu seharian." "Ala... alasan lagi... besok sopirnya kawin dulu... wkwkwk."
"Yo win ben..."

Percakapan itu mengiringi langkah penulis menuju pojok luar joglo untuk mandi padusan. Hari ini penulis berniat melanjutkan perjalanan, berharap mendapat petunjuk jalan yang benar.

Setelah mandi dan berkemas, Bagong memanggil penulis untuk sarapan di tengah joglo. Kyai Semar telah duduk di ruang tengah, namun Gareng dan Petruk belum tampak.

"Gareng pagi-pagi sudah ke sawah," jelas Kyai Semar, "antrian air irigasi panjang."
Bagong menimpali, "Petruk? Jangan diharap bangun pagi… dia itu pekerja malam, menjaga kelelawar agar durian Karangdempel tetap berbuah lebat."

Kyai Semar menatap penulis, suaranya lembut namun dalam,

Kuliah Kerja Nyata: Epos Kampus Karangdempel (bagian #2)

 Dongeng Sibu Bayan (#014)

(Gunungan)

baca dulu (Kuliah Kerja Nyata: Epos Kampus Karangdempel (bagian #1))

Pandawa dan Kurawa kini turun ke desa. Dengan membawa proposal-program-berbau-powerpoint dan semangat penuh nafsu penyelamatan. Mereka disambut oleh warga desa dengan senyum ramah dan kopi pahit.

“Selamat datang, Nak. Semoga betah di sini?”

Di Desa Sindangprau, Pandawa tiba dengan program-program sakti, workshop pemasaran digital, pelatihan Excel untuk petani, hingga seminar bertema “Transformasi Komunal di Era Post-truth”.

Kuliah Kerja Nyata: Epos Kampus Karangdempel (bagian #1)

 Dongen Sibu Bayan (#013)

(Gunungan)

Setelah meninggalkan padukuhan Karangdempel, penulis kembali kedunia  realitas menyusuri jalur Selatan Jawa Timur. Saat melewati desa perbatasan Blitar-Malang, penulis dikejutkan dengan perjumpaan tugu Semar di perempatan jalan Dusun Gondangrejo, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang. Patung Semar diatas tugu nampak sederhana, khas sesuai dengan karakter Kyai Semar yang baru dijumpai di universe lain.

Di bawah tugu Semar penulis melihat anak-anak muda berjaket almamater biru dari kampus terkenal di negeri +62. Mereka sepertinya sedang sibuk berfoto dengan wajah-wajah yang sumringah dan penuh dengan canda tawa. Peristiwa ini membawa penulis berimajinasi tentang KKN Kampus Karangdempel. Meski padukuhan kecil,  oleh warganya sering disebut sebagai ‘kampus’

Revolusi Jam 8: Falsafah Koperasi Bagong

 Dongeng Sibu Bayan (#011)

(Petruk, Bagong, Gareng)
Jam tangan penulis menunjukkan pukul 22.00. Entah WIB, entah waktu Karangdempel, yang kadang disesuaikan dengan rasa lapar. Belum terlalu larut malam, meski Gareng sudah menguap lebih dari sinyal WiFi di balai desa. Padahal tadi dia yang paling semangat cerita. Keluhannya panjang, mulai dari pupuk subsidi yang lebih sulit dari move on, sampai sinetron kerajaan yang rajanya ganteng tapi kebijakannya nganu. (baca: Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel  dan Save the Earth but First… Let Me Take a Selfie by Petruk)

Kami terdiam. Bukan karena nalar—tapi karena otak kami sedang ngunyah omongan ngalor-ngidul tadi. Rasanya kayak makan sambal mentah: pedes, tapi nampol. Tiba-tiba terdengar suara, "Tong… tong… tong tong tong… tong tong tong tong." Delapan kali.

“Lho… kok cuma delapan?” gumam penulis. Padahal jam tangan sudah pukul sepuluh.

Bagong langsung nyeletuk, “Itu pasti Cungik yang mukul kentongan… anaknya Gareng. Buat dia, waktu itu fleksibel. Hari ini jam 8, besok juga jam 8. Dia nggak terikat konsep waktu. Bagi Cungik, waktu itu opsional… kayak centang syarat & ketentuan. Kalender hidupnya berbasis perasaan.”

Save the Earth but First… Let Me Take a Selfie by Petruk

 Dongeng Sibu Bayan (#010)

(Kyai Semar, Gareng, Petruk dan Bagong)

Hari ini penulis dengan tidak terpaksa menginap di Dukuh Karangdempel. Selain karena sudah malam, arah menuju jalur lintas selatan Blitar–Malang entah ke mana perginya. Mungkin GPS ikut moksa. Entah sekarang ini berada di universe mana…(baca: Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel)

Sebuah pondok kecil di samping joglo tua telah disediakan oleh Kyai Semar dan keluarganya. Selepas mandi dan rebahan sebentar, penulis kembali duduk di tengah joglo, menikmati pisang rebus dan kopi pahit yang nendangnya bisa menghidupkan ingatan masa kecil.

Lampu minyak jarak menyala redup. Terdengar langkah kaki menyentuh lantai joglo. Dua bayangan panjang seperti angka sepuluh muncul dari pintu, tanda khas pasangan abadi, Petruk dan Bagong.

Kyai Semar, Rektor Kampus Karangdempel

 Dongeng Sibu Bayan (#009)

(Kyai Semar)

Tidak terasa perjalanan sudah sampai di Kecamatan Kademangan, Blitar Selatan. Bersama kecamatan Kanigoro di sebelah timurnya, Kademangan pernah punya kisah kelam pada periode konflik horizontal antar anak bangsa berlatar belakang perbedaan ideologi. Penulis memperhatikan petunjuk tante Google Map saat tiba dipersimpangan Kademangan-Kanigoro. “Belok ke kanan lalu terus ke arah Selatan….”, mungkin menghindari kepadatan jalan arah Kanigoro. Jalanan yang dilalui semakin kecil dan semakin sepi. Setelah area persawahan yang kering setelah panen, jalan menuju hutan jati dan jalanan semakin sempit. Tak satu pun kendaraan dari depan dan di belakang kendaraan penulis. Hanya satu dua orang dari arah depan. Setelah diperhatikan secara seksama, penulis rasa...kok orang-orang ini berbeda dengan kebanyakan orang. Saat mobil melintasi gerbang bertuliskan huruf Kawi itu, angin berhembus pelan, seperti bisikan yang menyambut tamu tak diundang. Tangan reflek membuka Google Translator: “Sugeng Rawuh ten Padukuhan Karangdempel (jawa)” (Selamat datang di Padukuhan Karangdempel). Ada sesuatu yang berubah. Udara terasa lebih dingin, dan waktu seolah mengambang. Penulis mulai curiga, apakah ini hanya rute alternatif, atau pintu ke dunia lain?

Nasi Lodho Ibu Kunti di Negeri +62

 Dongeng Sibu Bayan (#008)

(Ibu Kunti)

Perjalanan penulis sudah sampai di Tulungagung yang siang itu panasnya menggigit. Penulis mampir di sebuah warung makan sederhana di pinggir jalan. Niatnya cuma pengin numpang kenyang, tapi malah jadi pengalaman spiritual. Di depan penulis terhidang sepiring nasi dengan kuah kuning keemasan, kental, harum, dan menggoda iman. "Lodho, Mas. Masakan khas sini. Gimana... maknyus, kan?" sapa ibu pemilik warung.

Penulis mendongak. Ibu ini anggun, tutur katanya lembut tapi mantap. Senyumnya adem. Dalam hati Penulis berkata, "Ibu ini lebih cocok jadi ibu negara daripada jualan di warung begini." Tapi hidup di negeri +62 memang suka bercanda. Yang layak memimpin malah ngulek sambal, yang doyan korup malah naik jabatan.

"Bu, ini Lodho enak banget. Rasanya kaya opor tapi lebih nyambung sama nasi."

"Iya, Mas. Dulu saya belajar masak waktu hidup di pengasingan. Nemenin anak-anak saya ngungsi, tidur di hutan, makan seadanya. Lodho ini resep warisan masa susah."

Dalam hati penulis membatin. “Ibu ini siapa sih sebenarnya?”

Seolah mengerti bahasa batin penulis, beliau tersenyum, lalu matanya menerawang jauh.

"Saya ini... Kunti. Ibu dari Pandawa."

Terowongan Tokoh Ormas (Empu Kanwa)

 Dongeng Sibu Bayan (#007)


(Empu Kanwa Jaman Now)
Jalanan Trenggalek-Tulungagung melalui Tanggunggunung berkelok-kelok melalui tebing dan jurang yang curam. Perjalanan penulis terhambat karena ada longsor yang menutup jalan. Warung kecil di pinggir jalan menjadi pilihan penulis untuk beristirahat sambil menunggu jalan dibersihkan dari longsoran, sekalian memesan es kelapa muda. Di warung inilah penulis ketemu sosok tua yang kekar dengan tato “Mata Elang” seperti diceritakan Resi Bhisma. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Empu Kanwa. Sekarang menjadi mandor tukang gali yang membersihkan longsoran, sebagai dharmanya. “Pas ini...dia bisa cerita pengalamannya bikin terowongan untuk menyelamatkan Pandawa dalam tragedi Bale Sigala-gala” (baca juga: http://banyuseger.blogspot.com/2025/05/tragedi-bale-sigala-gala.html)

Sosok Empu Kanwa ini seperti tokoh preman tua dari Ormas penguasa tanah sengketa yang telah tobat. Konon, sebagai pertobatannya, dia menjandi pertapa yang bijak, rendah hati, dan penuh wibawa spiritual. Ia bukan ksatria atau raja, tetapi kekuatannya berasal dari laku tapa, ilmu kasunyatan, dan hubungan erat dengan alam semesta. Namun ya begitu….karakter Ormas penjaga tanah sengketa sepertinya belum hilang.